Writing about you, is an effort to hold back homesickness

Minggu, 15 Desember 2019

I Wrote a Letter For Us



                        Aku sempat menyesalkan kenapa hidup melulu soal pertemuan dan perpisahan, datang dan pergi, ada lalu tiada. Hal-hal yang membuat kita tenang, dapat dipastikan hilang. Peristiwa yang membuat kita nyaman, dalam beberapa waktu akan lengang. Mengapa seperti itu?
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
            Ya beginilah dunia. Maka, demi kelestarian niatan baik, hati harus terus dilatih agar akhirat tujuannya. Melakukan apa-apa karena Allah. Tidak akan abadi bahagia kita jika masih bercampur perihal dunia. Tidak akan lama nikmat kenyamanan jika dunia masih bersemayam. Kalaupun kita paksakan, pasti sesak, resah, tidak tenang.
*****
            Hari ini pembagian raport diniyyah. Sehari lalu raport takror. Ada perasaan lega sebenarnya. Tentang kuatnya saya dan rekan-rekan satu kelas sampai tuntas satu semester ini. Namun disatu sisi, ada semacam kekhawatiran, rasa bersalah, atau apalah yang ujungnya kembali pada pemahaman bahwa saya yang kurang maksimal.
            “Yang pertama, saya mimnta maaf jika dalam satu semester ini banyak salah. Ucapan saya banyak menyakiti hati kalian. Tindakan saya membuat kalian resah. Saya minta maaf. Yang kedua, saya berterimakasih karena kalian sudah mau mengikuti pelajaran saya. Antusias, semangat, senyum, kadang juga ramai, semua tentang kalian membuat saya berfikir ribuan kali supaya besok lebih baik lagi”.
            Sebenarnya aku ingin berkata banyak. Lebih banyak lagi. Tapi mulutku lemah, sulit mengatakan apa yang telah otak cerna. Keringatku deras, merasakan betapa menguapnya harapan agar mereka semakin baik dan semakin baik.
            “Tetap jaga akhlaq. Kegiatan boleh libur, diniyyah boleh libur, tapi akhlaq tetap dihati. Ubudiyyah nomorkan satu. Jadikan liburan ini kesempatan kita untuk Birrul walidain”. Sebenarnya berat mengatakan kalimat semacam ini. Tapi harus dilakukan. Mereka harus tahu nilai-nilai itu. Jangan sampai mereka tidak tahu kalau mereka berbuat salah. Jangan sampai mereka tidak merasa kalau yang dilakukan keliru.
            “Salam kepada orangtua di rumah, assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh”
            Raport mulai diterima satu-persatu. Ku tandatangani bergantian, lalu sekedar menuliskan kata ‘semangat!’ pada kolom yang tersedia. Setelah itu bersalaman, dan pergi bergerilya. Setelah habis, tinggal aku sendirian yang ada di dalam ruangan kelas, ada sedikit harapan sebenarnya. Tentang kembalinya mereka, kemudian berhelat lama-lama menceritakan apapun yang telah mereka alami dan perencanaan yang akan terjadi waktu liburan nanti. Manusiawi.
            Aku keluar kelas, menuruni anak tangga sambil menjatuhkan perasaan-perasaan khawatir tadi. Juga harapan-harapan tadi. Aku sadar bahwa tugasku tidak lebih dari perantara menyampaikan materi. Tidak lebih dari menyebarkan informasi tentang kebaikan dan akhlaq. Aku hanyalah seseorang yang terus ditempa berbagai problema apik. Tidak pantas jika berharap lebih. Tidak pantas jika terlalu merasa memiliki.
            Bagaimanapun juga, adanya mereka sangat membantu perjalananku memehamai bagaimana seharusnya aku hidup. Melihat tingkah yang warna-warni, tentu memobilisasi daya cernaku. Tidak ada yang perlu disesalkan. Yang ada, adalah perlu diperbaiki dan ditingkatkan.
            Maka, ketika aku berjalan melewati halaman pesantren yang luas, angin mengingatkanku bahwa cara terbaik untuk menemani langkah mereka adalah dengan do’a. Semoga manfaat dan barokah. Toh, tidak ada harapan lain dari seorang pengajar selain melihat murid-muridnya bahagia dan sukses.

Selamat berlibur,

Salam hangat dariku, Jombang, 15 Desember 2019




Sabtu, 07 Desember 2019

Kurasa, tulisan ini memang tak perlu foto dan judul

Aku selalu menyesalkan kenapa kau tak pernah mau kuajak berhelat. Padahal, kau tahu, tidak ada maksud apapun dalam hangat kita kecuali memastikanmu baik-baik saja. Kau bahkan tak akan pernah tahu kenapa aku begitu mengkhawatirkanmu. Setiap malam kepalaku pening, terlalu keras menerka bagaimana kau sekarang ini. Dadaku sesak, sibuk menahan degub rindu yang semakin malam kian mendebar. Dan mataku nanar, tak bisa tidur. Lantas, karena terlalu pilu, aku selalu sibuk mendoakan kebaikanmu.
Tapi keadaan membuatku berfikir puluhan kali soal ini. Benar aku menyayangimu, tapi ada yang lebih berhak kau tanggapi kasihnya. Betul, aku menghkawatirkanmu, tapi aku juga tidak boleh egois dengan memaksamu terus ada bersamaku. Nyaman memang menyusahkan. Tapi dia juga tidak pantas disalahkan.
Kadang aku juga heran dengan situasi seperti ini. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa aku mengenalmu? dan beribu pertanyaan paling mendasar yang mengorek tentang ;kenapa caraku mengenalimu seperti ini’.
Sudahlah, satu waktu, aku pernah melihat aku dan kau sebagai orang lain. Aku orang asing dan kau juga. Kita sama-sama punya mimpi. Sama-sama punya cinta-cita. Kau punya keadaan yang sangat kau suka atau tidak suka. Begitupun aku. Maka, aku bercermin lalu berdoa agar kau, selalu baik-baik saja.



Senyummu adalah lambang peristiwa
Aku bisa bangun setelah jatuh berdarah
Kemudian kau bergumam entah apa
Sambil mulai berdiri, aku berharap kau mendoakan keselamatanku
 Sentuhanmu adalah lambang peristiwa
Aku bisa tidur setelah lama insomnia
Sejak sentuhan pertama, aku berharap
Semoga kau betah berlama-lama
 Tatapanmu adalah lambang peristiwa
Aku bisa semangat setelah terpenjara
Namun, aku curiga
Bening matamu akan lenyap ditelan kata-kata
 

Minggu, 01 Desember 2019

Sengaja Tidak Kuberi Judul

Ini yang selalu aku suka. Dan aku tidak terlalu memikirkan kenapa ini kerap teradi. Sebuah ikatan yang entah. Sampai-sampai tak bisa aku membohongi diri kalau tidak ingin resah. Segala yang berawal dari ketulusan, akan sampai dan bertemu pada ketulusan pula. Keduanya akan berpadu sebagai alunan melodi yang merdu.
Malam ini, kerena kau sempat bertanya apakah aku akan pergi, aku menunggu kehadiranmu dengan hikmat. Beberapa kali aku diajak rekanku keluar cari makan. Tapi aku menolak. Sebab aku yakin kau akan datang. Meskipun kemungkinan kau tidak datang juga ada, tapi kalau aku sudah yakin kau bakalan datang, maka aku tidak bisa mendustai itu. Maka aku harus menunggu. Payah sebenarnya, tapi nikmat, karena yang kutunggu adalah kau.
Dan benar saja, pukul 22.35. kau mengetuk daun pintu kamarku. Dan aku segera tahu kalau itu dirimu. Dan memang benar. Kau memintaku segera keluar tanpa berpakaian. Saat itu aku memang sedang tidak pakai kaus. Tapi aku malu, aku menyegerakan pakai kaus. Lalu keluar. Kau mengulurkan sesuatu yang dibungkus kantung plastik. Dan kau segera pergi. “Sebentar, apa ini?”. Jajanan biasa, katamu. Kau minta maaf karena datang terlalu larut. Lalu kau segera pergi. Terimakasih, kataku. Dan kau benar-benar lenyap. Aku juga tidak sempat memastikan apa kau mendengar terimakasihku.
Ya, panjang juga paragraf di atas ini. Tapi inilah yang aku suka. Terimakasih. Aku yakin kau tahu. Aku yakin kau hebat. Kau berbeda dengan yang lain. Kau punya semangat yang bisa menular pada orang lain. Dan kurasa, aku juga terkena bias semangatmu.
Ya, terimakasih. Tidak ada pemberian yang tidak berharga. Karena segala darimu adalah luarbiasa.  

Jombang, 1 Desember 2019



Aku terlentang sambil membaca buku
Angin menertawakanku
Menertawakan kepura-puraanku yang jitu
 Aku keluar kamar; mematikan lampu
Gelap meneriakiku
Meneriaki keresahanku yang pilu
                 Teguh hati aku berkata kau bakalan datang
                Huruf A pada buku yang kubaca malah berlompatan
                Membuntuti huruf H dan menyusun dirinya sendiri
                Menjadi; Hahaha.
                Lagi-lagi aku ditertawakan.
                 Mereka belum tahu
ikatan kita jitu
mereka hanya melihat rautku yang pilu
apalagi soal doa yang sekian malam berlompatan
menyusun ekologi kerinduan
 jadi, kau datang
membawa sesuatu yang benar-benar aku suka
kau bilang bahwa ini jajanan sederhana
Terimakasih. Tidak ada pemberian yang tidak berharga.
Karena segala darimu adalah luarbiasa.
Istimewa,
Terimakasih,
 

                

Jumat, 29 November 2019

Tanpa Foto



                Entah suka atau tidak dengan tulisan ini. Aku hanya ingin mengakui kalau malam ini aku tidak lagi merasa kalah. Apalagi menang, tentu tidak mungkin. Tapi, biar ku pertegas lagi. Tidak ada menang atau kalah. Dalam kisah ini, perasaan harus bisa diikat dan dilumat dengan baik. Meskipun kadang perlu waktu yang lama, tapi nurani, aku yakin, akan selalu menunjukkan jalannya.
                Baru sadar aku, betapa tidak manusiawinya segala yang aku rasakan belakagan. Belakangan aku hanya menuruti ego. Ego yang menjadikan aku berfikir bahwa segalanya adalah tentangmu. Tentangmu yang selalu bisa membuatku semangat. Semangat yang setiap saat bisa lebur saat aku sedang rindu senyummu.
                Tidak wajar, bukan? Tapi untungnya kau selalu bisa mengerti (meski tak pernah bilang kepadaku, setidaknya aku tahu dari caramu bersikap). Kau selalu tahu posisi. Kau selalu bisa menempatkan sesuatu sesuai porsi. Kau selalu mengalah akalu aku tak enak diri.
                Tapi belakangan, kau tentu tahu, aku selalu mendramatisir segalanya. Ibarat memuji seorang putri yang jelita, aku mulai berpuisi. Dan itu yang mungkin saja tersingkap, aku mengindahkanmu terlalu kerap. Aku selalu mengait-kaitkanmu dengan semangat, nyaman, atau apalah. Seakan-akan kau harus bisa memahamiku. Seakan-akan, kau harus tahu perasaanku.
                Padahal, apa yang kita hadapi berbeda. Latar belakang kita berbeda. Pondasi kita berbeda. Dan aku, bahkan, seringkali menemukan hal-hal baru dan banyak alasan kenapa keu begitu teguh pendirian. Kau terlihat kuat dari segala umpat. Kau nampaknya bisa selalu tenang ketika desas-dasus menerjang. Tapi yang harus aku pastikan adalah, masa depan kita harus sama. Sama-sama bahagia. Sama-sama menikmati manis setelah berpahit-pahit.
                Dan umurmu sudah renta rupanya. Itu yang aku khawatirkan. Kalau-kalau kau jadi berjuang, pergi ke tempat lain. Dan usiaku memang sudah tua. Tetapi keegoisan itu nampaknya belum bisa hilang semuanya. Aku ingin kita tetap bersama. Seudara.
                Ah, sudahlah. Maafkan keegoisanku pada paragraf sebelum ini. Seharusnya tidak seperti ini caraku berteman denganmu. Seharusnya tidak setolol ini aku menyayangimu.
                Aku berharap. Dan kurasa, tulisanku memang selalu menyertakan harapan diparagraf paling akhirnya. Semoga kita selalu diberikan ketenagan hati dan fikiran. Kekuatan jasmani dan ruhani. Semoga, tak ada lagi penyakit-penyakit yang bisa merusak tujuan akhir sebuah pertemanan.

                Ya, semoga

Senin, 25 November 2019

Sebuah Harapan Yang Tak Kunjung Usang


Dan kau selalu hadir dalam setiap tatap dan pejam. Seakan, semua tentangmu telah terekam dengan jelas dalam baris ingatan. Dan rindu, sebagai bias perkenalan kita, memaksa rekaman itu terus berputar, menyala-nyala tanpa jeda. Sehingga menggelayut dalam tatapanku yang kosong, menggema dalam lelapku yang lama.
Sesekali aku mengobrak abrik rekaman itu. Mencari cari dimana dan bagaimana awal mula kita bertemu lalu kau menikamku dengan entah yang membuatku terus betah. Sampai lama, aku belum bisa menemukan. Sampai keadaan menjadi bimbang. Tentang salah-bernar(kah?), tentang mau-tidak(kah?), dan segala kata kukira telah binasa. Aku tak bisa merasai apa-apa dan tak berharap apa-apa kecuali menemukan momen itu. Aku dan kau saling tanya nama (barangkali).
Dipersimpangan fikiran, aku menemukan petunjuk dimana masa itu berada. Nyaman. Tempat itu berplat; nyaman. Dimana ketika sesuatu telah menemukan kenyamanan sejak awal perjumpaan, maka tak ada satupun alasan untuk lengkap kecuali tetap. Tidak ada. Maka, aku terus menelusurinya. Menggunakan pendekatan fenomenologi, mungkin.
“Lha pripun loh?”
Beberapa kalimat telah berserah sebagai memorabilia. Ungkapan-ungkapan biasa yang biasanya diungkapkan orang-orang dengan biasapun menjadi luar biasa. Panggilan ‘Mas’, misalnya. Biasa bukan? Ketika remaja yang umurnya dibawahku memanggil dengan panggilan ‘Mas’. Biasa kan? Tapi tidak ketika itu dirimu yang mengucapkan. Menjadi berbeda ketika mulutmu yang mengusahakan sejak dalam fikiran.
Tidak ada yang bisa menghentikan bayang-bayang ini. Bahkan jika terbit matahari sempat terlambat sehingga hari sekian lama gelap. Atau lampu dipastikan tak bisa lagi menyala karena listrik telah binasa. Keadaan semacam ini tak lagi tabu. Bagi penikmat rindu (aku, dan barangkali juga kau) kesempatan semacam ini selalu menjadi sesal. Pasti ada satu-dua alasan yang disembunyikan. Misalnya;
“Aku sayang kau!”
“Aku, apalah.....”
Dan tak mungkin juga rasanya mengungkapkan itu secara gamblang. Maka, yang tergaris hanyalah harapan-harapan. Kemudianmenjadi bayang-bayang. Dan seterusnya, dan seterusnya. Dan sekali lagi, aku menyesalkan hal ini. Sebagai (ini kuberanikan paksa) orang yang menyayangimu sejak dalam fikiran, aku tak adil jika merusak kerukunan kita sejak dalam ingatan. Aku tak adil jika terus saja menggantungkan namamu sebagai yang senantiasa ku elu-elu padahal belum tentu kau mau. Dan aku memang tidak adil!
Kadang, rindu itu egois. Selalu ingin menang. Keinginannya seakan-akan harus terealisasi, tuntas. Tanpa alasan apapun, harus terwujud. Kadang rindu juga bijaksana. Mampu memperdalam (ini juga termasuk ungkapan yang kuberanikan paksa) sayang karena telah lama rumpang;berjarak, atau apalah.
Dan semoga, esok, entah esok yang keberapa lagi, aku dan kau tetap akrab dimanapun. Disini, puisi, cerita, status WA, instagram, blogspot, dan dimana saja, tetap akrab. Semoga!



Minggu, 24 November 2019

Mencari Angin Ketenangan



Barusan, setelah kegiatan malam, aku sengaja pergi kedepan bilikmu. Berbincang dengan rekan-rekan belajar. Bergurau sana-sini sambil sesekali kupandangi kamarmu barangkali kau ada. “Madosi Kamil nopo, Pak?” tanya Tio. “Iya”. “Larene tasek medal wau, Pak”. Aku mengangguk-angguk.
 Tio ini, salah seorang rekan belajar di kelas Diniyyah yang sregep. Meski masih usia MTs, dia bisa diajak mikir. Aku sering bicara banyak hal padanya tanpa takut dia salah tangkap. Dan bagusnya, anak berkulit putih itu bisa menanggapi dengan baik.
Sudah beberapa cerita aku layangkan kepada mereka. Salah satunya menyangkut soal bagaimana gambaran mondokku dulu. Sambil sesekali aku melongok kesebelah kanan, ada bilik yang ditempati Ghiffari, kawan baikku. Tapi sepi, tidak ada orang sama sekali.
“Sampean barengane Pak Azzam nopo, Pak?”
Pertanyaan semacam itu yang sering mereka lemparkan. Aku menanggapi seadanya sambil menerka kira-kira angin dari mana yang bisa membuat fikiranku tenang.
“Lha niko Kamil, Pak”
Dulur. Kau punya daya tarik tersendiri. Kurasa sudah banyak tulisanku menengenai dirimu. termasuk rimbunan puisi yang tak ada jelasnya sama sekali itu. Langkamu diterpa angin yang kemudian menerpaku. Benar saja, angin barusan adalah angin yang bisa menenangkan fikiranku; angin dari arahmu.
Mungkin ini salah satu efek sampin berusia banyak. Kadang, tiba-tiba fikiran terasa penuh. Tapi tidak menahu apa yang membuat fikiran penuh. Aneh. Dan bersyukur, aku bisa mengenalmu, yang kemudian membawaku kedalam talu-taluan rindu. Bersyukur, aku bisa mengenal seseorang yang bisa membuatku bangkit dan bersemangat kembali.
“Ngapain ten mriki, Mas?”. Tanyamu sambil senyum.
“Nyari angin”
Dan kau bicara bahwa kau jadi beli sepatu, online, “Kulo titip nggeh”.
Kau tahu, seketika itu aku berharap, bahwa setiap hari ada barang yang kau titipkan. Sehingga kita bisa bertemu setiap hari, tatap muka setiap hari. Dan senyummu, bisa kurampas setiap hari, kita bicara setiap hari. Sehingga, aku selalu semangat. Hari-hariku adalah hari yang hebat. Dan aku selalu suka berbicara denganmu, meski seringkali aku tak tahu harus berbicara apa.
“Tak ringkes-ringkes rien, Mas”
Lalu kau masuk ke kamarmu. Dan aku melanjutkan perhelatan. Kesana-kemari. Membahas liburan, dan sebagainya. Ujian, dan lain sebagainya. Sampai akhirnya lampu masjid telah wafat. Pertanda jam malam sudah tiba. Aku mempersilahkan mereka istirahat.
“Eh, Zak, mampir kamar 13 ya. Panggilkan Kamil”. "Siap"
Senafas kemudian,

“Ada apa, Mas?”
“Ndak ikut ta, Mil?”
“Mboten, Mas. Krasan ngken malahan”.
Tentu aku mengalah. Dan kau tahu, soal ini, aku selalu kalah, Mil. Kau selalu manolak ketika kuajak berhelat. Dan itu sah-sah saja. Karena memang kau punya keseharian sendiri, kau punya teman sekamar, kau punya kesibukan sendiri. Dan soal ini, sekali lagi, aku tak boleh egois, aku tak boleh memaksa bahwa kau harus selalu bersamaku meskipun itu yang aku mau. Itu sebabnya, dalam hal ini, aku selalu kalah. 


Tapi, tidak bisakah kau beri satu saja kesempatan untuk mau berhelat bersamaku? Satu saja..

Asal kau selalu semangat, aku pasti juga. Terlebih ketika kau bercerita tentang pandanganmu setelah lulus nanti. Antara melanjutkan ke Malang, Jogja, atau ke Bogor. Dan menetap disini selalu kau akhirkan. Wkwkwk. Itu bukan masalah besar. Buatku, yang terbaik untukmu.
Semangat terus, Mil! kau tadi juga sedikit mengeluh tentang banyaknya ujian. Diniyyah, takror, belum lagi ujian sekolah selama 12 hari dengan berbagai mata pelajaran yang bertubi itu. Kau mengeluh. Dan kau tahu, aku selalu menanti saat seperti ini. Kau menanggungkan kesedihanmu kepadaku, kau mengadukan kekesalanmu padaku. Karena rindu mampu mencerna itu semua menjadi telaga yang jernih airnya. Nikmat sekali. Aku merasa berjuta kali lebih dekat ketimbang sentuhan kulit kita waktu salaman. Bayangkan!
Dan kau harus semangat! kau harus ingat dengan cita-cita yang pernah kau kabarkan itu. Usaha harus sebanding dengan impian. Dan aku yakin kau bisa. Kau selalu kuat melewati berbagai persoalan, aku yakin itu.
Buktikan bahwa kau adalah Kamil yang aku kenal. Seseorang, yang namanya selalu disisipkan dalam munajat oleh Orangtua, guru, juga yang menulis cerita ini. Buktikan.


Selamat malam, Mil!

Rabu, 06 November 2019

Datang


                Sampai bingung aku mau menuliskan bagian yang mana, atau sudut pandang seperti apa. Mau kubuat senang, bisa. Dibuat sedihpun sangat bisa. Wkwkwk. Karena memang malam ini aku kalut sekali. Selepas kegiatan, sengaja aku keluar rumah membeli permen dan jajanan kecil ditoko depan. Aku berniat menghabiskan bacaanku yang tinggal seperempat terakhir malam ini.

                Tidak ada sama sekali kerisauan tentang dirimu. Sungguh, aku merasa lebih lapang. Tidak hadirnya kau, kuanggap sebagai kesempatanmu untuk beristirahat. Toh, masih ada fotomu dengan berbagai ekspressi yang memang aku simpan dalam file khusus. Meskipun beda, antara denyutmu dan (sekedar) fotomu, tapi kiranya itulah yang bisa membantuku menerka: sedang apa kau sekarang.

                Aku sedang fokus menatap tulisanku sendiri. Tiba-tiba, ada suara ketukan pintu yang keras, cepat. Aku segera menandanginya. Dan alangkah terkejutnya aku ternyata dirimu. Tentu aku senang. Kau datang disaat yang tepat. Tidak sangat berharap, juga tidak sangat ingin melupakanmu. Maka, kedatanganmu adalah dalam keberuntungan, bagiku, entah kau.

                Soal dua tulisan sebelumnya, ini dan ini, aku juga tak terlalu berharap kau membaca. Pun aku sudah menjelaskan, perihal menunggu kedatanganmu tidak melulu menyesakkan. Kau mengiyakan. Betapa kemudian kau merasa aku berlebihan, itu milikmu. Juga, aku sudah mempersiapkan terkaan itu yang barang tentu akan kau luncurkan kepadaku sewaktu-waktu. Berlebihan.

                Kapan kita semalam?

                Kau mencari bahan bacaanmu, sejuk sekali. Dan aku, tetap melototi buku tebal karya Pramoedya. Sesekali kutatap wajahmu; matamu. Sama-sekali kau tidak menoleh sebelum kuputuskan sambil memanggilmu, Mil!.

                Selepas kita berhelat, sebenarnya, aku ingin mengajakmu larut. Kita rebahan. Menutup mata sambil mulut senantiasa berkata. Kemudian lelah. Sebenarnya bisa kulakukan sendiri, tapi tidak kali ini. Aku ingin mengajakmu (kalau mau). Aku ingin benar-benar melawan dingin bersamamu. Tapi urung. Aku belum berani menanggung akibatnya jika saja kau jawab untuk yang kesekian kalinya;"Tidak!"

Kenapa? Untuk apa?
Aku belum yakin bisa menjawabnya.
                Kau tentunya tahu tentang ‘nyaman’. Untukku, aku hanya bisa mengusahakannya. Bagimu, kau bebas seperti apa menanggapinya.

Selamat malam,
dan sebentar, diakhir tulisan ini, masih saja kurasai hangat tanganmu sejak salam tadi. Juga senyummu, semakin dekat. Memberikan beribu semangat untuk aku terus melangkah. Apa mungkin kau juga sama?

Dan, kau harus semangat! 


Selamat malam, 

Selasa, 05 November 2019

Menunggu



                Sudah jam 23.50. Terlalu gelap untuk menunggu kehadiran yang kau janjikan beberapa hari lalu. Terlepas dari rasa bersalah, aku ingin benar-benar jera dengan segala yang kerap kau tempa. Karena, walau bagaimanapun, aku tetaplah manusia yang selalu berharap tentang apa-apa yang pernah kau ucap.

                Sengaja, aku keluar dari kamar menyangking sandal, menuruni anak tangga. Berjalan searah cahaya hasil sorotan satu-satunya lampu bilik yang menyala. Duduklah aku diteras sambil menyalami angin dan desiran debu yang dibawanya, juga sepi. Dari sini, aku bisa dengan jelas melihat bilikmu yang lampunya hidup-mati (terlihat seperti bergurau). Nafasku berhembus kencang, berharap bisa terbang menerpa lehermu. Dan untuk yang terakhir, tidak ada cahaya. Benar-benar dimatikan.

                Tentu aku khawatir. Tidak sudi aku kau dibinatangkan. Sungguh, walau aku tak ikut punya tubuh, geram adalah saksi bahwa fikiranku gaduh. Dan kau, barangkali menjadikan peritiwa itu sebagai bahan bercanda. Dan sialnya, walau bagaimanapun, aku tak suka.

                Atau barangkali, fikirku, kau sengaja membuatku menunggu. Agar jejak jemariku segera menengadahi huruf-huruf tua. Barangali. Tapi kau belum tahu rupanya, bahwa semua itu telah memeras rasionalitas. Barang tentu, fikiranku terjerat bahkan tenaga terserak. Baiklah, setidaknya berguna. Ada-tiadamu menjadikanku lebih peka dengan peristiwa. Diam-bicaramu meluapkan kefasihan dalam menerka. Dan kau, adalah sepilihan kisah yang selalu berakhir tega.

                Pada bait ke lima ini, pukul 00.10. Terlalu larut untuk memanjakan bayangmu yang kusut. ini waktunya aku tidur. Seperti biasa, melemparimu rindu melalui doa. Semoga kau juga. Agar setimpal dengan ulahmu, membuatku menungu. 




Minggu, 03 November 2019

Ketika Sadar



Ternyata, belum cukup dengan talu-taluan rindu. Rasa bersalah kemudian memberiku satu pertanyaan; “Dengan apa kau akan membuktikan?”. Dan sudah barang tentu aku belum mampu menjawab itu. Sebagaimana tanah yang selalu berada dibawah, terinjak-injak, ia tak bisa mengelak kecuali hanya pasrah. Cara dia menolak adalah diam. Sampai dunia bena-benar tahu kalau tanah adalah salah satu elemen paling penting yang menopang kehidupan manusia. (apa pula hubungannya. Huft!)
Dan kini, aku ulangi lagi, aku merasa bersalah telah merindukanmu. Aku merasa bodoh telah berharap lebih pada perasaan yang absurd. Meskipun pada seluruh kata-kata yang pernah kususun (walau sedikit-banyak adalah saduran) masih saja mengandung permohonan agar kau sedia. Tetap menyimpan harapan terdalam agar waktu membawaku bersamamu pada titik jenuh, yang memaksaku berkata tentang segalanya dengan jelas. Intuisi.
             Setelah itu, mungkin, baru ku tahu bagaimana rasa rindu seutuhnya. Bagaimana rasa sayang sepenuhnya. Dan kalaupun tidak, maka aku akan mengerti seperti apa sakit yang melegakan. Seperti apa elegi yang nyenyak dan mendamaikan.

            Bukankah, hal paling indah adalah yang sebenarnya?

            Sampai detik ini pun, aku masih merasa kalah. Tapi bukan berarti aku menyerah. Kau tahu? dari sekian banyak tulisanku adalah buangan emosi agar aku tenang. Adalah luapan amarah agar kemudian aku bisa berdiri kembali menanyai segala tentangmu. Perihal kekalahan, adalah bagaimana agar bisa kembali menyusun rencana.

Selamat malam, 

Jombang, 01.55 / 04 November 2019
             

Rabu, 30 Oktober 2019

Surat dari kebohongan (1)




Padahal, aku sudah mengecam bahwa aku tidak akan menulis kegalauan. Membosankan sebenarnya. Ada banyak hal lain yang masih harus ku kejar. Tapi, aku merasa gagal. Tidak menuliskan perasaan, bagiku sama dengan bunuh diri. Membiarkan cinta mengambang-angan, bagiku adalah pembunuhan paling sadis.
Beberapa hari lalu, aku sengaja mengundangmu. Aku bilang akan ada banyak hal yang ingin kuceritakan. Sebenarnya aku berbohong soal itu. Aku hanya ingin sendirian melihatmu tersenyum. Aku hanya ingin menuai ucapanmu, ceritamu, dan pertanyaan-pertanyaanmu. Dan benar saja, hari ini, beberapa menit kita seruang, sama sekali aku tidak bercerita. Aku hanya lempar tanya sekedarnya. Menyapa, dan sedikit menggoda.
Saat kita seangin, aku sudah memikirkan beberapa ungkapan ringan. Seperti; “Kita kenal sudah berapa lama, ya?” atau “Aku ndak nyangka kita bisa seakrab ini”. Tapi urung. Aku merasa belum berhasil mengambil hatimu. Aku masih merasa kalah.
Dan untuk selanjutnya, aku hanya ingin menyampaikan bahwa energi positif yang dibutuhkan orang itu berbeda-beda. Kadang seseorang menemukan energi positifnya pada suatu benda; buku, misalnya. Juga ada manusia yang menemukan energi positifnya pada orang lain. Dan pelik jika disuruh menjelaskan bagaimana teorinya.
Begitupun kau. Sejak beberapa bulan lalu kita tertaut keriuhan soal KTS, aku menangkap jiwa yang berbeda. Ada aku dalam dirimu. (Sampai sini, aku bisa menerka kau bakalan merasa aneh dengan tulisan ini). Tapi inilah adanya. Maka jangan heran jika saat semangatku lepas, kau yang membuatnya lekat. Saat fikiranku penat, kaulah yang menjadikannya selaras. Dan kehadiranmu selalu istimewa. Sebenarnya aku ingin lebih. Lebih dari hadir. Kita bercerita sampai larut, tidur pulas sampai kusut. Bahkan seludah! Tapi aku selalu gagal. Sampai pada satu kesempatan, aku benar-benar merasa kalah dan membuat puisi tengah malam yang selaras dengan ini.
Aku minta maaf, untuk malam ini, cerita yang aku janjikan belum bisa terkabulkan. Dan sebenarnya, segala yang telah kau baca, itulah yang ingin kusampaikan. Aku ingin berkata semua ini kepadamu dengan hangat. Tapi nyaliku ciut. Aku minta maaf. Bahkan aku berharap suatu saat kau datang membawa segelas air dan menegukkannya kepadaku. Aku bilang “terimakasih” dan kau balas “sama-sama, Mas”.

Selamat malam. Lekas istirahat. Terus semangat!

Jombang, 00.00. 31 Oktober 2019

Senin, 07 Oktober 2019

Sebuah Usaha Menjelaskan




                Mungkin kau bertanya-tanya aku ini siapa, tiba-tiba kenal dan berusaha agar terus bersamamu. Belum lagi soal puisi-puisi itu. Bahkan aku lupa kenapa kita bisa (menurutku) seakrab ini. Tapi seingatku, senyummu candu. Juga ceritamu yang berpadu dengan pandanganku pada pelipismu yang sobek itu.
                Sejauh ini, aku belum bisa menerka bagaimana tanggapanmu soal diriku. Belajar memahamimu adalah usaha yang tak akan pernah luntur. Sampai kemudian aku pernah merasa khawatir, bahwa yang paling aku rindukan adalah yang paling menyakitiku nanti. Yang paling dekat, yang paling berpeluang mengingkari.
                Untungnya, manjamu membuatku mampu menolak itu. Cukup dengan jujurnya sikapmu, aku bisa yakin. Terlebih beberapa hari lalu kau memukulku dari belakang. Tentu saja aku kaget. Tapi menjadi nikmat setelah ku tahu itu adalah dirimu. Sambil berlari dan mengernyitkan muka, ceria.
                Bersamaan dengan aku menuliskan paragraf ini, tiga semut merayap mendekatiku. Aku maniupnya, tapi mereka kembali lagi dengan arah yang sama. Lalu aku berdoa, semoga kelak, saat kau tak lagi memandang wajahku, aku bisa merelakanmu. Dan dengan sendirinya, kau hadir kembali dengan kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah terbayangkan.
                Untuk ini, tak ada nego dan aku tak akan ego. Soal bahagia semua bebas memilih dengan siapa dan seperti apa. Tapi yang kutulis sepanjang ini adalah soal rasa. Apa yang benar-benar aku rasakan kepadamu. Maka tak ada cara terbaik menolak rasa kecuali dengan mengungkapkan yang sebenarnya.

                Akhirnya, tak ada lagi kata yang mampu ku cerna tentangmu. Karena dirimu adalah jutaan bait puisi yang utuh.  

Senin, 09 September 2019

Sebuah Usaha Menyesuaikan Diri


Ada solusi mengatasi masalah rindu dan perasaan pilu yang terus saja menghakimi setiap kali menatapmu. Kau tau, bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat indah yang bisa menutupi segala keburukan kita. Barangkali aku bisa berdo’a agar Tuhan menutup rasaku kepadamu – rasamu kepadaku. Agar aku berhenti berharap, agar kau tak melulu terjerat.

                Dan lagi-lagi, aku sedang lupa bahwa ada Dzat yang amat hebat. Mampu mengabulkan apapun, berbuat apapun segali berkehendak. Jangankan mengabulkan permintaan, tanpa dimintapun, Tuhan telah lama mencukupi kelangsungan hidup kita didunia. Sungguh, makhluk model apa kita ini.

                Tadi, selepas kegiatan rutin, aku melihatmu musoffahah kepada Guru Sepuh. Kau terlihat sejuk, wajahmu penuh penghormatan. Aku melihat dengan jelas bagaimana kau mencium asto beliau. Bolak-balik. Sungguh, air mataku sampai merembes. Aku menghela nafas lamat-lamat. Berusaha menguasai keadaan. Dan kau telah beranjak entah kemana.

                Hingga saat aku akan tidur, masih saja teringat bagaimana wajahmu itu. Kadang serius, manja, tertawa, merengut, terpingkal, senyum. Dan pastinya, bukan saja rautmu yang membuat aku terpesona. Tapi ada kisah dibalik supermu itu. Dan aku bersumpah, untuk mengenalmu lebih jauh lagi. Ada yang belum sempat kutanyakan. Menyoal keseharianmu. Meskipun agak privasi, tapi ini planningku. Entah bagaimana kau menanggapinya nanti.

                Sekian,


Selamat malam.

Sabtu, 31 Agustus 2019

Sebuah Usaha Mendikte Kerinduan


Lagi-lagi, malam ini, aku ingin berbicara tentang rindu. Sebenarnya,ingin kurenggut semua yang berporos pada rindu, tapi tak bisa. Seakan rindu adalah sukma dalam ragaku, darah yang mengalir dalam tubuhku. Akhirya ku biarkan saja, semaunya.

Tapi kadang, entah sengaja ayau tidak, rindu mengelupas semangat yang telah kubangun bertahun-tahun. Begitu saja. Meski sudah kuberikan dia segalanya, rindu kadang tetaplah sebuah perasaan yang mirip manusia kelaparan. Apa saja dimakan.

Pada situasi seperti ini, aku bicara pada diriku sendiri tentang bagaimana cara meneguhkan kembali benteng itu. Apa yang kurang selama ini. Haus bagaimana lagi agar jiwa tak mudah goyah. Dan kami kerap kali bertengkar tentang setuju-tidaknya kalau rindu dimusnahkan. Aku bilang tak perlu lagi ada rindu, karena banyak sekali korban olehnya. Tapi nuraniku berkata rindulah yang bisa mempertemukan kita dengan segala sesuatu, termasuk Tuhan.

Aku mengaku kalah. Dalam hal ini, rindu boleh bersejahtera mengemas kesilauanku pada cinta. Tapi jangan sampai dia seenaknya menggibas kesempatanku mempertahankan cita. Dan untuk yang kesekiankalinya, aku percaya pada nurani.

Aku sempat berfikir kapan kiranya rindu ini membuatku terbiasa. Karena bagaimanapun, sehebat apa seseorang, kalau rindu datang dengan ulahnya pasti kerepotan. Kalah dengan sendirinya. Lemah.
Dan untuk yang kesekian kalinya, aku berkata banyak soal rindu. Aku punya mimpi kalau suatu saat akan meneliti kerinduan. Meng-kaji rindu dari segala sisi keilmuan. Dan kurasa, aku pasti bisa. Rindu selalu terasa istimewa meski pernah menyanjungku dengan luka.

Dan malam ini, ada banyak kerinduan yang ingin kusemai. Banyak sekali. Dirimu, kau, sampean, dikau, kamu, engkau, koe, dan banyak lagi.
Entah siapapun dirimu, aku merindukanmu.



Jumat, 30 Agustus 2019

Sebuah Usaha Menjelaskan



Ini malam ke-sekian aku menulis soal rindu.  Dan kurasa, tak ada sela dan alasan untuk tidak bisa merasakan kerinduan. Tidak bisa mengelak, bagaimanapun rindu tetaplah rindu. Rasa yang muncul tiba-tiba, tanpa aba-aba. Meski kita belum siap pun, rindu tetap menyergap.

            Selaksa kisah yang menjadi hanyut dan bertalu-talu membuat kita semakin yakin, bahwa ada hal lain yang lebih bermanfaat ketimbang terus saja dirumpang rindu. Nyatanya, semua pasti punya kesibukan. Dan rindu, bukan secuil bagian dari kegiatan itu. Rindu hanyalah sebuah alasan kenapa seseorang tak ingin sendiri dan ditinggalkan. Rindu bukanlah dogma agar seseorang bisa mewujudkan segala yang ia inginkan.

            Lambat laun, seperti yang telah saya ucapkan tadi, bahwa akan ada saat dimana kita benar-benar dibuat hila oleh rindu. Selalu saja memikirkan apa dan siapa yang kita rindukan. Kegiatan inti selalu kalah. Padahal jelas-jelas tak ada manfaatnya bagi kita, malah menuat badan kurus dan pikiran mrupus.

            Dan pada akhirnya, rindu akan muncul sebagai spirit baru. Tranformasinya akan sangat cepat ketika benar penanganannya, penyikapanya. Rindu akan menjadi semacam pendongkrak dan pijakan kita meraih segalanya. Bahkan, rindu bisa serupa tuntutan agar kita berhasil menggapai sesuatu.

            Dari sekian banyak yang ingin saya katakan, ternyata intinya hanya satu. bahwa kunci keberhasilan dan penyikapan yang sebenarnya hanyalah ada pada hati. Selama kita mengizinkan hati kita tersakiti, maka kena juga. Kalau kita tak mengizinkan itu terjadi, maka ya terbebas.

            Begitupun rindu, selagi kita terus berusaha mendidik rindu dengan pergumulan yang baik, maka rindu akan muncul sebagai energi positif. Dan sebaliknya.

Sempai saat ini pun, bisa jadi tulisan ini tak akan pernah ada ujungnya. Aku berharap jika suatu saat kita bisa mengenang segala resa yang terasah menjadi kisah. Kita dapat menjiwai kembali larik-larik tawa yang berjalan apa adanya.


            Itu saja, untuk malam ini. Selamat Malam, Sayang...

Rabu, 28 Agustus 2019

Sebuah Usaha Melegakan



Di lain kesempatan, aku sempat merasa bahwa semua orang aneh. Perilakunya, ucapan, bahkan senyumpun terlihat aneh. Sebenarnya aku sudah berfikit matang-matang tentang ini. Benar atau tidak. Atau jangan-jangan hanya bayangan atau sekedsar alibi kerinduan? Belum tahu.
Sebelum tidur, untuk malam ini, agaknya aku perlu bicara banyak melalui tulisan. Tentang mimpiku kemarin, bersenggama dengan seseorang, berpindah-pindah tempat. Hingga aku bangun. Hanya mimpi. Tapi terasa nyata. Rasanya seperti sungguhan. Entahlah.
Juga beberapa beyang yang menyerupai rekanku lainnya. Tadi, aku dipertemukan oleh keadaan. Satu persatu. Yang mampu membangun daya puisiku. Yang bersedia menemani perjalanannku diujung kota itu. Aku tak berharap banyak sebenarnya. Hanya saja, semoga keakraban kami berbuah kebaikan, sekarang dan sampai kapanpun akan tetap bersama. Serasa.
ketika mendengar keluhan atau cerita-cerita manja darinya, aku malah merasa senang. Kedekatan itu benar-benar ada. Tapi kalau tak ada lagi keakraban itu, artinya keadaannya baik-baik saja, sepi selalu menerkam. Menberi kejutan yang tak sempat terfikirkan sebelumnya.
Bahkan aku sempat berharap agar aku menjadi seorang yang selalu kau butuhkan. Semata agar dirimu selalu kemari dan meminta bantuan. Mesra, bukan? Merampas kedekatan dengan cara memperkosa keadaan. Tentu mesra sekali ketimbang kisah cinta Dilan dan Milea yang diada-ada itu.
Dan sampai saat ini, lekuk senyum yang membuatku candu masih saja ada. Tidak bisa terhapuskan oleh apapun. Aku khawatir, saat aku tak berani mengucapkan apapun, lalu kau menjadi perihal rindu orang lain. Membuatku tak lagi bisa memandangmu leluasa. Tak lagi dapat memelukmu kisahmu dengan mesra. Aku khawatir, kau tak mengenal siapa aku dan siapa dirimu bagiku.
Wajar, jika aku meng-khawatirkanmu. Aku mencintaimu, sangat. Aku menyayangimu, lekat. Dan sampai saat ini, aku belum bisa berkata kepadamu tentang hal ini, bangsat!



Selasa, 27 Agustus 2019

Sebuah Usaha Mengungkapkan



Selamat Malam, seorang wanita yang begitu baik.

Sekitar empat tahunan hubungan kita. Bercanda, bercerita. Bahkan pada suatu kesempatan, kita pernah berbagi sedih. Sebuah anugrah indah yang pernah kurasakan, dirimu.
Melalui tulisan ini, aku ingin menyapaikan kegundahan yang berlarut-larut. Barangkali kau bisa memahami, dan aku bisa mengerti sampai mana kedekatanmu kepadaku. Dan kurasa itu lebih dari cukup sebagai jawaban kenapa lempar kabar kita tak sesering dulu.
Seingatku, aku selalu berhati-hati ketika berkata kepadamu. Kata-kata yang sesungguhnya tak patut, seingatku, tidak pernah kuucapkan kepadamu secara langsung. Sayang, pacaran, atau apalah. Kalaupun itu pernah, mungkin lewat puisi. Entahlah, itu seingatku. Karena aku sudah punya prinsip sedari dulu bahwa, jangan sampai aku pacaran. Mungkin ini terkesan aneh. Atau alibi agar aku bisa mengelak keyataan. Tapi benar, ini seingatku. Dan kita baik-baik saja. Dan kurasa, ini yang lebih berharga daripada memaksakan sebuah status.
Belakangan, aku mendengar kabar bahwa kau sudah punya, tentu aku bahagia meski belum tahu benar atau salahnya. Bagiku, bahagiamu adalah bahagiaku. Dan do’aku, selalu yang terbaik untukmu. Ini benar. Bukan seperti kata orang kebanyakan, beda.
Selanjutnya, inilah yang sebenarnya ingin aku tegaskan. Tentang kedekatan kita yang tak lebih seperti Layla dan Majnun. Bukan juha serupa dengan Yusuf dan Zulaikho’. Apalagi Dilan dan Milea. Kita tak ubahnya adalah langit dan bumi yang saling mendukung. Kita semacam daun dan tangkai yang meneduhkan
Untuk selanjutnya, semoga kita bisa saling menerima.



Rabu, 21 Agustus 2019

Sebuah Usaha Menenangkan Diri



Malam ini aku ingin bercerita tentang seseorang. Kami baru kenal, baru akrab. Belakangan, kami sering berhelat dalam kerja sama pembuatan kartu tanda santri. Hanya satu pekan. Tapi bagiku, itu lebih dari cukup untuk membuat kami akrab.
Aneh sebenarnya. Tapi inilah hidup. Bahwa, tidak perduli dari siapa pelajaran kehidupan bisa kita dapat. Dari seseorang yang umurnya jauh dibawah kita sekalipun. Tidak perduli. Barangkali dari mereka, kita akan mendapat sesuatu yang belum pernah kita dapatkan. Kita bisa mendengar cerita-cerita yang belum sempat kita dengarkan. Dan banyak hal. Sangat berharga.
Jauh sebelum ini, aku jadi ingat bagaimana sikap diamku beberapa tahun lalu. Lebih suka sendiri, sering berdiam diri. Bagiku, dulu, berbincang dengan orang adalah pantangan. Aku lebih senang mendengar ketimbang menjawab pertanyaan-pertanyaan. Aku lebih nyaman memperhatikan ketimbang diajak bercengkama.
Sampai saat ini, aku belum menemukan raut malas pada wajahnya. Auranya selalu semangat. Ceria,menyenangkan. Kalau pas serius, lekuk wajahnya menggemaskan. Terkesan manja. Hehehe.
Akhirnya, disatu kesempatan, aku mencoba bertanya tentang apa yang membuat dia selalu semangat. Dia menghela nafas sejenak. Berhenti mengetik sesuatu di laptop. Lalu memandangku serius. Seakan bertanya: ngapain kepo? WKWKWK. Tapi matanya indah.
Dia bercerita sedikit tentang kehidupannya sebelum masuk pesantren. Dia bilang, dirinya termasuk anak yang banyak tingkah. Disekolahnya dulu, terkenalnya begitu. Akhirnya entah karena apa, dia ingin masuk pesantren. Tanpa paksaan siapapun. Begitu katanya. Namun hemat saya, karena mas-nya dulu juga mondok, barangkali dia punya keinginan itu sejak lama.
Belum cukup dengan cerita itu, aku mencoba bertanya tentang hal lain. Salah satunya adalah soal cita-cita. “Apa cita-citamu?”. Kali ini dia menatapku dengan tersenyum:
 “Cita-cita, Mas?”. Aku meng-iyakan. Kemudian dia menjawab dengan tegas: “AKPOL”. Kami saling menatap. Sama-sama tersenyum. Dalam batin, aku berdoa semoga yang terbaik.
            Sejak saat itu, aku tak perlu lagi megutarakan alasan kenapa kami akrab. Kadang,  karena kamarku di lantai dua, tepat sebelah gerbang, seringkali aku melihat kebawah waktu jam buka. Kadang, dudapati dia berjalan keluar bersama rekan-rekannya, atau sendiri. Bahkan, sering juga ku tengok kamarnya dari atas sini. Membayangkan kiranya apa yang sedang ia lakukan sekarang.

Dan entah, setiap saat aku ingin selalu bersamanya. Tapi semua itu terbendung berbagai kenyataan dan kemungkinan. Kami punya kesibukan masing-masing. Aku juga sangat tidak tega jika kuajak dia ngobrol malam-malam setelah kegiatan. Pasti lelah. Besok pagi sudah sekolah. Pulangnya hampir jam 3-an. Padat sekali.
            Dan entehlah, aku hanya ingin bercerita saja. Barangkali dengan menuliskan sebagian kisah ini, ada hal baik yang bisa kita ambil. Barangkali. Dan tentunya, dikesempatan lain, aku akan kembali menceritakan bagian kisah lainnya.

Semoga bermanfaat. Terus semangat!



Selasa, 13 Agustus 2019

Surat Untuk Karib


Baru pertama kali ini aku menulis dipagi hari. Memang, belakangan lebih sering nulis malam-malam. Pas teman sekamar sudah tidur, atau hanya beberapa saja yang terjaga dan sibuk dengan pekerjaannya sendiri.

Oh, hampir lupa. Selamat Pagi!

                Dan aku pun tidak pernah menerka kalau kerinduan akan muncul pagi-pagi begini. Untungnya kegiatan kampus libur. Aku jadi bisa berbuat apapun demi melepas rindu. Mungkin dengan jalan-jalan setelah ini, makan, lari, mbaca buku, atau apalah, tidur mungkin.

                Tapi aku percaya kau sudah bangun pagi ini. Mengenakan baju rapi. Bersisir, dan mempersiapkan diri berangkat sekolah. Dan aku tau benar bagaimana raut mantapmu. Mengalahkan kapal laut yang siap mengarungi samudera, bahkan kau lebih tangguh dari itu.

                Aku masih ingat soal cita-citamu itu, Akpol. Betapa kau mantap menjawabnya saat kutanya. Tentu aku mengamini itu. Karena cita-cita adalah hal pertama yang harus dimiliki pelajar agar semangat.

                Aku juga masih hapal, benar-benar hapal (karena memang sempat kucatat), tentang ceritamu sebelum disini. Ya, meskipun sekilas, tapi itu sangat menarik. Boleh, jika kau ingin menceritakan lebih. Hehehe.

                Seperti yang sudah pernah ku tulis, tentang Sebuah Usaha Merelakan. Maka rencanaku untuk menemuimu beberapa kali kubatalkan. Aku sengaja membiarkan waktu yang mempertemukan kita tiba-tiba, tanpa aba-aba. Karena kau punya rutinitasmu sendiri, dan sejatinya, aku juga.

                Kalaupun kupakasakan bertemu, berbincang, atau apalah, malah kasihan kau. Kegiatanmu padat. Terlebih sekolahmu pulang jam 3. Pasti kau sangat lelah. Penat.

                Tentangmu, aku tak bisa berkata banyak. Sebatas ini saja sudah cukup. Aku malah khawatir kalau kupaksa terus menulis, yang keluar hanya soal kerinduan. Tidak jelas.
Sudahlah,



Rabu, 07 Agustus 2019

Surat Untuk Zidan

  

                Selamat malam.
Bagaimana hari-harimu belakangan? Setelah pertemuan kita beberapa hari lalu, aku kembali merindukanmu. Sebenarnya bukan rindu, lebih kepada khawatir, atau apalah aku belum yakin. Biar mudah, kesebut saja rindu.

Kabarnya besok – libur hari besar – kau tidak pulang? Ikut temanmu ke Tuban, ya? Ah, aku tahu benar kedekatan kalian. Semacan dua jari yang bersebelahan. Tapi tetap, masing-masing dari kalian harus punya prinsip. Apalah terserah. Yang penting baik. Paling tidak, ada prinsip saling mengingatkan. Jangan salah dibiarkan saja. Kasihan. Kalau mau sukses, sukses bareng. Kalau mau bahagia, bahagia bareng. Kan akhirnya bisa seneng. Berteman karena Allah. Ya, kan?

Aku jadi ingat kisah Imam Abu Syuja’, pengarang kitab yang hebat itu. Bersama temannya, beliau punya niatan besar dalam mencari ilmu. Tapi karena kondisi biaya, keduanya tidak bisa. Akhirnya, dengan kecerdasan Imam Abu Syuja’, yang rela berkoran dijual sebagai budak agar rekannya bisa berangkat ngaji itu, beliau ditolong oleh Allah. Indah sekali persahabatan itu.

Bisa kamu baca ceritanya DISINI.

                Mau bagaimana lagi ya. Namanya juga baru kenal. Mau apa-apa juga kikuk. Tapi aku selalu terbuka, apapun yang sampean butuhkan, insyaAllah saya siap bantu. Yang penting semangat terus. Kalau ada masalahpun, sampen bilang. Anggap saya ini saudaramu.

                Oh, ya. Kalau ada waktu, ku ajak kau ziarah ke Surabaya. Sudah lama aku tidak kesana. Dulu, seusiamu, aku rutin pergi kesana. Lewat belakang, tempat penjual kitab-kitab itu. Minyak wangi, dan busana-busana. Seneng. Nuansanya enak, kayak di Arab. Hehehe. Kapan-kapan kita kesana ya.

                Dan, selamat malam. Aku harus segera menyelesaikan sesuatu yang perlu diselesaikan minggu ini. Tetap semangat, jangan lupa doakan kedua orang tuamu. Aku saksinya, mereka orang tua yang hebat!

Semangat!

                

Senin, 05 Agustus 2019

Sebuah Usaha Melepas Penat


"Kepada hari-hari yang dianugerahkan Tuhan..."

Hidup tidak sesulit yang kita bayangkan. Tapi juga tak sebercanda minion. Kita tahu bahwa, akan ada hari dimana segala permasalahan bisa kita hadapi dengan tenang dan lapang dada. Untuk mencapai itu, tentu ada banyak latihan-latihan pengolahan mental dan hati. Dan masing-masing persoalan dari berbagai masalah akan terjawab, diantara problema yang akan muncul nanti.

Musuh paling besar dan sangat berat adalah kemalasan. Bagaimana mungkin kita bisa mencapai target hidup kalau terus neburuti malas? Bahkan dikatakan bahwa, yang terhebat adalah yang paling bisa menahan hawa nafsunya, kemalasannya. Tentu berat. Lalu bagaimana? Cara terbaik adalah terus melawan malas itu. Menanamkan semangat dan keyakinan secara continu.

Dan, beberapa hari belakangan aku sering kalut. Suka tidur tapi sulit bangun. Tapi ada benarnya juga, tulisan-tulisanku sebelumnya yang membicarakan ridu itu. Kini tak perlu kupersoalkan lagi. Rindu kini datangnya tepat waktu, tidak sampai mengganggu aktivitas lain. Karena pada dasarnya, rindu hanya selingan. Semacam pendongkrak semangat, atau setidaknya pengisi kekosongan hati yang malang.

Kemudian, percaya atau tidak, hati memang perlu dibersihkan selalu. Setiap waktu. Dengan dzikir, tilawah, dan apapun itu yang berbau kebaikan. Karena pada dasarnya, baiknya fisik, jika tidak diimbangi dengan kejernihan hati akan oleng. Mudah ambruk.

Begitupun cinta dan kasih sayang. Tidak akan bisa akur kalau bukan dengan hati bening. Karena, seperti pada hadis, bahwa segala laku berpusat pada hati. Hati kita baik, maka segala yang kita lakukan, ucapkan, dengarkan, dan lain sebagainya juga akan baik. Begitupun sebaliknya.

Oh, ya. Soal melepas penat. Mungkin ini adalah salah satu yang saya lakukan. Berbicara dan terus mengkritik diri menggunakan tulisan. Semau saya, sepuasnya. Bagi saya, intropeksi itu penting sekali. Tentu untuk mengoreksi dan menakar seberapa diri kita hari ini. Kemudia tinggal lenjut dan terus meningkatkan kualitas diri.

Seperti yang kalian baca. Tulisan hari ini tidak melulu soal cinta ya. Karena daya cintaku berpindah di wattpad. Disamping itu, belakangan aku juga masih menggarap buku ke-2, Tuan Rumah. Dikeduanya, aku berusaha menjiwai soal cinta. Dan disini, kurasa tak perlu berlebihan. Jarang-jarang saja. Hehe.

Dan, apa yang aku tulisakan disini, berarti apa yang ingin aku tulis saat memegang laptop dan mulai mengetiknya. Seketika.

Semangat.