Senin, 07 Oktober 2019

Sebuah Usaha Menjelaskan




                Mungkin kau bertanya-tanya aku ini siapa, tiba-tiba kenal dan berusaha agar terus bersamamu. Belum lagi soal puisi-puisi itu. Bahkan aku lupa kenapa kita bisa (menurutku) seakrab ini. Tapi seingatku, senyummu candu. Juga ceritamu yang berpadu dengan pandanganku pada pelipismu yang sobek itu.
                Sejauh ini, aku belum bisa menerka bagaimana tanggapanmu soal diriku. Belajar memahamimu adalah usaha yang tak akan pernah luntur. Sampai kemudian aku pernah merasa khawatir, bahwa yang paling aku rindukan adalah yang paling menyakitiku nanti. Yang paling dekat, yang paling berpeluang mengingkari.
                Untungnya, manjamu membuatku mampu menolak itu. Cukup dengan jujurnya sikapmu, aku bisa yakin. Terlebih beberapa hari lalu kau memukulku dari belakang. Tentu saja aku kaget. Tapi menjadi nikmat setelah ku tahu itu adalah dirimu. Sambil berlari dan mengernyitkan muka, ceria.
                Bersamaan dengan aku menuliskan paragraf ini, tiga semut merayap mendekatiku. Aku maniupnya, tapi mereka kembali lagi dengan arah yang sama. Lalu aku berdoa, semoga kelak, saat kau tak lagi memandang wajahku, aku bisa merelakanmu. Dan dengan sendirinya, kau hadir kembali dengan kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah terbayangkan.
                Untuk ini, tak ada nego dan aku tak akan ego. Soal bahagia semua bebas memilih dengan siapa dan seperti apa. Tapi yang kutulis sepanjang ini adalah soal rasa. Apa yang benar-benar aku rasakan kepadamu. Maka tak ada cara terbaik menolak rasa kecuali dengan mengungkapkan yang sebenarnya.

                Akhirnya, tak ada lagi kata yang mampu ku cerna tentangmu. Karena dirimu adalah jutaan bait puisi yang utuh.  

0 komentar:

Posting Komentar