Mungkin
kau bertanya-tanya aku ini siapa, tiba-tiba kenal dan berusaha agar terus
bersamamu. Belum lagi soal puisi-puisi itu. Bahkan aku lupa kenapa kita bisa
(menurutku) seakrab ini. Tapi seingatku, senyummu candu. Juga ceritamu yang
berpadu dengan pandanganku pada pelipismu yang sobek itu.
Sejauh
ini, aku belum bisa menerka bagaimana tanggapanmu soal diriku. Belajar memahamimu
adalah usaha yang tak akan pernah luntur. Sampai kemudian aku pernah merasa
khawatir, bahwa yang paling aku rindukan adalah yang paling menyakitiku nanti. Yang
paling dekat, yang paling berpeluang mengingkari.
Untungnya,
manjamu membuatku mampu menolak itu. Cukup dengan jujurnya sikapmu, aku bisa
yakin. Terlebih beberapa hari lalu kau memukulku dari belakang. Tentu saja aku
kaget. Tapi menjadi nikmat setelah ku tahu itu adalah dirimu. Sambil berlari
dan mengernyitkan muka, ceria.
Bersamaan
dengan aku menuliskan paragraf ini, tiga semut merayap mendekatiku. Aku maniupnya,
tapi mereka kembali lagi dengan arah yang sama. Lalu aku berdoa, semoga kelak,
saat kau tak lagi memandang wajahku, aku bisa merelakanmu. Dan dengan
sendirinya, kau hadir kembali dengan kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah
terbayangkan.
Untuk
ini, tak ada nego dan aku tak akan ego. Soal bahagia semua bebas memilih dengan
siapa dan seperti apa. Tapi yang kutulis sepanjang ini adalah soal rasa. Apa yang
benar-benar aku rasakan kepadamu. Maka tak ada cara terbaik menolak rasa
kecuali dengan mengungkapkan yang sebenarnya.
Akhirnya,
tak ada lagi kata yang mampu ku cerna tentangmu. Karena dirimu adalah jutaan
bait puisi yang utuh.
0 komentar:
Posting Komentar