Dan kau selalu hadir dalam setiap tatap dan pejam. Seakan, semua
tentangmu telah terekam dengan jelas dalam baris ingatan. Dan rindu, sebagai
bias perkenalan kita, memaksa rekaman itu terus berputar, menyala-nyala tanpa
jeda. Sehingga menggelayut dalam tatapanku yang kosong, menggema dalam lelapku
yang lama.
Sesekali aku mengobrak abrik rekaman itu. Mencari cari dimana dan bagaimana
awal mula kita bertemu lalu kau menikamku dengan entah yang membuatku terus
betah. Sampai lama, aku belum bisa menemukan. Sampai keadaan menjadi bimbang. Tentang
salah-bernar(kah?), tentang mau-tidak(kah?), dan segala kata kukira telah
binasa. Aku tak bisa merasai apa-apa dan tak berharap apa-apa kecuali menemukan
momen itu. Aku dan kau saling tanya nama (barangkali).
Dipersimpangan fikiran, aku menemukan petunjuk dimana masa itu berada.
Nyaman. Tempat itu berplat; nyaman. Dimana ketika sesuatu telah menemukan
kenyamanan sejak awal perjumpaan, maka tak ada satupun alasan untuk lengkap
kecuali tetap. Tidak ada. Maka, aku terus menelusurinya. Menggunakan pendekatan
fenomenologi, mungkin.
“Lha pripun loh?”
Beberapa kalimat telah berserah sebagai memorabilia. Ungkapan-ungkapan
biasa yang biasanya diungkapkan orang-orang dengan biasapun menjadi luar biasa.
Panggilan ‘Mas’, misalnya. Biasa bukan? Ketika remaja yang umurnya dibawahku
memanggil dengan panggilan ‘Mas’. Biasa kan? Tapi tidak ketika itu dirimu yang
mengucapkan. Menjadi berbeda ketika mulutmu yang mengusahakan sejak dalam
fikiran.
Tidak ada yang bisa menghentikan bayang-bayang ini. Bahkan jika terbit
matahari sempat terlambat sehingga hari sekian lama gelap. Atau lampu
dipastikan tak bisa lagi menyala karena listrik telah binasa. Keadaan semacam
ini tak lagi tabu. Bagi penikmat rindu (aku, dan barangkali juga kau)
kesempatan semacam ini selalu menjadi sesal. Pasti ada satu-dua alasan yang
disembunyikan. Misalnya;
“Aku sayang kau!”
“Aku, apalah.....”
Dan tak mungkin juga rasanya mengungkapkan itu secara gamblang. Maka,
yang tergaris hanyalah harapan-harapan. Kemudianmenjadi bayang-bayang. Dan
seterusnya, dan seterusnya. Dan sekali lagi, aku menyesalkan hal ini. Sebagai
(ini kuberanikan paksa) orang yang menyayangimu sejak dalam fikiran, aku tak
adil jika merusak kerukunan kita sejak dalam ingatan. Aku tak adil jika terus
saja menggantungkan namamu sebagai yang senantiasa ku elu-elu padahal belum
tentu kau mau. Dan aku memang tidak adil!
Kadang, rindu itu egois. Selalu ingin menang. Keinginannya seakan-akan
harus terealisasi, tuntas. Tanpa alasan apapun, harus terwujud. Kadang rindu
juga bijaksana. Mampu memperdalam (ini juga termasuk ungkapan yang kuberanikan
paksa) sayang karena telah lama rumpang;berjarak, atau apalah.
Dan semoga, esok, entah esok yang keberapa lagi, aku dan kau tetap akrab
dimanapun. Disini, puisi, cerita, status WA, instagram, blogspot, dan dimana
saja, tetap akrab. Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar