Senin, 25 November 2019

Sebuah Harapan Yang Tak Kunjung Usang


Dan kau selalu hadir dalam setiap tatap dan pejam. Seakan, semua tentangmu telah terekam dengan jelas dalam baris ingatan. Dan rindu, sebagai bias perkenalan kita, memaksa rekaman itu terus berputar, menyala-nyala tanpa jeda. Sehingga menggelayut dalam tatapanku yang kosong, menggema dalam lelapku yang lama.
Sesekali aku mengobrak abrik rekaman itu. Mencari cari dimana dan bagaimana awal mula kita bertemu lalu kau menikamku dengan entah yang membuatku terus betah. Sampai lama, aku belum bisa menemukan. Sampai keadaan menjadi bimbang. Tentang salah-bernar(kah?), tentang mau-tidak(kah?), dan segala kata kukira telah binasa. Aku tak bisa merasai apa-apa dan tak berharap apa-apa kecuali menemukan momen itu. Aku dan kau saling tanya nama (barangkali).
Dipersimpangan fikiran, aku menemukan petunjuk dimana masa itu berada. Nyaman. Tempat itu berplat; nyaman. Dimana ketika sesuatu telah menemukan kenyamanan sejak awal perjumpaan, maka tak ada satupun alasan untuk lengkap kecuali tetap. Tidak ada. Maka, aku terus menelusurinya. Menggunakan pendekatan fenomenologi, mungkin.
“Lha pripun loh?”
Beberapa kalimat telah berserah sebagai memorabilia. Ungkapan-ungkapan biasa yang biasanya diungkapkan orang-orang dengan biasapun menjadi luar biasa. Panggilan ‘Mas’, misalnya. Biasa bukan? Ketika remaja yang umurnya dibawahku memanggil dengan panggilan ‘Mas’. Biasa kan? Tapi tidak ketika itu dirimu yang mengucapkan. Menjadi berbeda ketika mulutmu yang mengusahakan sejak dalam fikiran.
Tidak ada yang bisa menghentikan bayang-bayang ini. Bahkan jika terbit matahari sempat terlambat sehingga hari sekian lama gelap. Atau lampu dipastikan tak bisa lagi menyala karena listrik telah binasa. Keadaan semacam ini tak lagi tabu. Bagi penikmat rindu (aku, dan barangkali juga kau) kesempatan semacam ini selalu menjadi sesal. Pasti ada satu-dua alasan yang disembunyikan. Misalnya;
“Aku sayang kau!”
“Aku, apalah.....”
Dan tak mungkin juga rasanya mengungkapkan itu secara gamblang. Maka, yang tergaris hanyalah harapan-harapan. Kemudianmenjadi bayang-bayang. Dan seterusnya, dan seterusnya. Dan sekali lagi, aku menyesalkan hal ini. Sebagai (ini kuberanikan paksa) orang yang menyayangimu sejak dalam fikiran, aku tak adil jika merusak kerukunan kita sejak dalam ingatan. Aku tak adil jika terus saja menggantungkan namamu sebagai yang senantiasa ku elu-elu padahal belum tentu kau mau. Dan aku memang tidak adil!
Kadang, rindu itu egois. Selalu ingin menang. Keinginannya seakan-akan harus terealisasi, tuntas. Tanpa alasan apapun, harus terwujud. Kadang rindu juga bijaksana. Mampu memperdalam (ini juga termasuk ungkapan yang kuberanikan paksa) sayang karena telah lama rumpang;berjarak, atau apalah.
Dan semoga, esok, entah esok yang keberapa lagi, aku dan kau tetap akrab dimanapun. Disini, puisi, cerita, status WA, instagram, blogspot, dan dimana saja, tetap akrab. Semoga!



0 komentar:

Posting Komentar