Sudah
jam 23.50. Terlalu gelap untuk menunggu kehadiran yang kau janjikan beberapa
hari lalu. Terlepas dari rasa bersalah, aku ingin benar-benar jera dengan
segala yang kerap kau tempa. Karena, walau bagaimanapun, aku tetaplah manusia
yang selalu berharap tentang apa-apa yang pernah kau ucap.
Sengaja,
aku keluar dari kamar menyangking sandal, menuruni anak tangga. Berjalan
searah cahaya hasil sorotan satu-satunya lampu bilik yang menyala. Duduklah aku
diteras sambil menyalami angin dan desiran debu yang dibawanya, juga sepi. Dari
sini, aku bisa dengan jelas melihat bilikmu yang lampunya hidup-mati (terlihat
seperti bergurau). Nafasku berhembus kencang, berharap bisa terbang menerpa
lehermu. Dan untuk yang terakhir, tidak ada cahaya. Benar-benar dimatikan.
Tentu
aku khawatir. Tidak sudi aku kau dibinatangkan. Sungguh, walau aku tak ikut
punya tubuh, geram adalah saksi bahwa fikiranku gaduh. Dan kau, barangkali
menjadikan peritiwa itu sebagai bahan bercanda. Dan sialnya, walau
bagaimanapun, aku tak suka.
Atau
barangkali, fikirku, kau sengaja membuatku menunggu. Agar jejak jemariku segera
menengadahi huruf-huruf tua. Barangali. Tapi kau belum tahu rupanya, bahwa
semua itu telah memeras rasionalitas. Barang tentu, fikiranku terjerat bahkan
tenaga terserak. Baiklah, setidaknya berguna. Ada-tiadamu menjadikanku lebih
peka dengan peristiwa. Diam-bicaramu meluapkan kefasihan dalam menerka. Dan
kau, adalah sepilihan kisah yang selalu berakhir tega.
Pada
bait ke lima ini, pukul 00.10. Terlalu larut untuk memanjakan bayangmu yang kusut.
ini waktunya aku tidur. Seperti biasa, melemparimu rindu melalui doa. Semoga
kau juga. Agar setimpal dengan ulahmu, membuatku menungu.
0 komentar:
Posting Komentar