Selasa, 05 November 2019

Menunggu



                Sudah jam 23.50. Terlalu gelap untuk menunggu kehadiran yang kau janjikan beberapa hari lalu. Terlepas dari rasa bersalah, aku ingin benar-benar jera dengan segala yang kerap kau tempa. Karena, walau bagaimanapun, aku tetaplah manusia yang selalu berharap tentang apa-apa yang pernah kau ucap.

                Sengaja, aku keluar dari kamar menyangking sandal, menuruni anak tangga. Berjalan searah cahaya hasil sorotan satu-satunya lampu bilik yang menyala. Duduklah aku diteras sambil menyalami angin dan desiran debu yang dibawanya, juga sepi. Dari sini, aku bisa dengan jelas melihat bilikmu yang lampunya hidup-mati (terlihat seperti bergurau). Nafasku berhembus kencang, berharap bisa terbang menerpa lehermu. Dan untuk yang terakhir, tidak ada cahaya. Benar-benar dimatikan.

                Tentu aku khawatir. Tidak sudi aku kau dibinatangkan. Sungguh, walau aku tak ikut punya tubuh, geram adalah saksi bahwa fikiranku gaduh. Dan kau, barangkali menjadikan peritiwa itu sebagai bahan bercanda. Dan sialnya, walau bagaimanapun, aku tak suka.

                Atau barangkali, fikirku, kau sengaja membuatku menunggu. Agar jejak jemariku segera menengadahi huruf-huruf tua. Barangali. Tapi kau belum tahu rupanya, bahwa semua itu telah memeras rasionalitas. Barang tentu, fikiranku terjerat bahkan tenaga terserak. Baiklah, setidaknya berguna. Ada-tiadamu menjadikanku lebih peka dengan peristiwa. Diam-bicaramu meluapkan kefasihan dalam menerka. Dan kau, adalah sepilihan kisah yang selalu berakhir tega.

                Pada bait ke lima ini, pukul 00.10. Terlalu larut untuk memanjakan bayangmu yang kusut. ini waktunya aku tidur. Seperti biasa, melemparimu rindu melalui doa. Semoga kau juga. Agar setimpal dengan ulahmu, membuatku menungu. 




0 komentar:

Posting Komentar