Barusan, setelah kegiatan malam, aku sengaja pergi kedepan bilikmu.
Berbincang dengan rekan-rekan belajar. Bergurau sana-sini sambil sesekali
kupandangi kamarmu barangkali kau ada. “Madosi Kamil nopo, Pak?” tanya Tio.
“Iya”. “Larene tasek medal wau, Pak”. Aku mengangguk-angguk.
Tio ini, salah seorang rekan
belajar di kelas Diniyyah yang sregep. Meski masih usia MTs, dia
bisa diajak mikir. Aku sering bicara banyak hal padanya tanpa takut dia salah
tangkap. Dan bagusnya, anak berkulit putih itu bisa menanggapi dengan baik.
Sudah beberapa cerita aku layangkan kepada mereka. Salah satunya
menyangkut soal bagaimana gambaran mondokku dulu. Sambil sesekali aku melongok
kesebelah kanan, ada bilik yang ditempati Ghiffari, kawan baikku. Tapi sepi, tidak ada orang sama
sekali.
“Sampean barengane Pak Azzam nopo, Pak?”
Pertanyaan semacam itu yang sering mereka lemparkan. Aku menanggapi
seadanya sambil menerka kira-kira angin dari mana yang bisa membuat fikiranku
tenang.
“Lha niko Kamil, Pak”
Dulur. Kau punya
daya tarik tersendiri. Kurasa sudah banyak tulisanku menengenai dirimu. termasuk
rimbunan puisi yang tak ada jelasnya sama sekali itu. Langkamu diterpa angin
yang kemudian menerpaku. Benar saja, angin barusan adalah angin yang bisa
menenangkan fikiranku; angin dari arahmu.
Mungkin ini salah satu efek sampin berusia banyak. Kadang,
tiba-tiba fikiran terasa penuh. Tapi tidak menahu apa yang membuat fikiran
penuh. Aneh. Dan bersyukur, aku bisa mengenalmu, yang kemudian membawaku
kedalam talu-taluan rindu. Bersyukur, aku bisa mengenal seseorang yang bisa
membuatku bangkit dan bersemangat kembali.
“Ngapain ten mriki, Mas?”. Tanyamu
sambil senyum.
“Nyari angin”
Dan kau bicara bahwa kau jadi beli sepatu, online, “Kulo titip
nggeh”.
Kau tahu, seketika itu aku berharap, bahwa setiap hari ada barang
yang kau titipkan. Sehingga kita bisa bertemu setiap hari, tatap muka setiap
hari. Dan senyummu, bisa kurampas setiap hari, kita bicara setiap hari.
Sehingga, aku selalu semangat. Hari-hariku adalah hari yang hebat. Dan aku
selalu suka berbicara denganmu, meski seringkali aku tak tahu harus berbicara
apa.
“Tak ringkes-ringkes rien, Mas”
Lalu kau masuk ke kamarmu. Dan aku melanjutkan perhelatan.
Kesana-kemari. Membahas liburan, dan sebagainya. Ujian, dan lain sebagainya.
Sampai akhirnya lampu masjid telah wafat. Pertanda jam malam sudah tiba. Aku
mempersilahkan mereka istirahat.
“Eh, Zak, mampir kamar 13 ya. Panggilkan Kamil”. "Siap"
Senafas kemudian,
Senafas kemudian,
“Ada apa, Mas?”
“Ndak ikut ta, Mil?”
“Mboten, Mas. Krasan ngken malahan”.
Tentu aku mengalah. Dan kau tahu, soal ini, aku selalu kalah, Mil.
Kau selalu manolak ketika kuajak berhelat. Dan itu sah-sah saja. Karena memang
kau punya keseharian sendiri, kau punya teman sekamar, kau punya kesibukan
sendiri. Dan soal ini, sekali lagi, aku tak boleh egois, aku tak boleh memaksa bahwa kau
harus selalu bersamaku meskipun itu yang aku mau. Itu sebabnya, dalam hal ini,
aku selalu kalah.
Tapi, tidak bisakah kau beri satu saja kesempatan untuk mau berhelat bersamaku? Satu saja..
Asal kau selalu semangat, aku pasti juga. Terlebih ketika kau bercerita tentang pandanganmu setelah lulus nanti. Antara melanjutkan ke Malang, Jogja, atau ke Bogor. Dan menetap disini selalu kau akhirkan. Wkwkwk. Itu bukan masalah besar. Buatku, yang terbaik untukmu.
Semangat terus, Mil! kau tadi juga sedikit mengeluh tentang
banyaknya ujian. Diniyyah, takror, belum lagi ujian sekolah selama 12 hari
dengan berbagai mata pelajaran yang bertubi itu. Kau mengeluh. Dan kau tahu,
aku selalu menanti saat seperti ini. Kau menanggungkan kesedihanmu kepadaku,
kau mengadukan kekesalanmu padaku. Karena rindu mampu mencerna itu semua menjadi
telaga yang jernih airnya. Nikmat sekali. Aku merasa berjuta kali lebih dekat
ketimbang sentuhan kulit kita waktu salaman. Bayangkan!
Dan kau harus semangat! kau harus ingat dengan cita-cita yang
pernah kau kabarkan itu. Usaha harus sebanding dengan impian. Dan aku yakin kau
bisa. Kau selalu kuat melewati berbagai persoalan, aku yakin itu.
Buktikan bahwa kau adalah Kamil yang aku kenal. Seseorang, yang namanya
selalu disisipkan dalam munajat oleh Orangtua, guru, juga yang menulis cerita ini. Buktikan.
Selamat malam, Mil!
0 komentar:
Posting Komentar