Minggu, 24 November 2019

Mencari Angin Ketenangan



Barusan, setelah kegiatan malam, aku sengaja pergi kedepan bilikmu. Berbincang dengan rekan-rekan belajar. Bergurau sana-sini sambil sesekali kupandangi kamarmu barangkali kau ada. “Madosi Kamil nopo, Pak?” tanya Tio. “Iya”. “Larene tasek medal wau, Pak”. Aku mengangguk-angguk.
 Tio ini, salah seorang rekan belajar di kelas Diniyyah yang sregep. Meski masih usia MTs, dia bisa diajak mikir. Aku sering bicara banyak hal padanya tanpa takut dia salah tangkap. Dan bagusnya, anak berkulit putih itu bisa menanggapi dengan baik.
Sudah beberapa cerita aku layangkan kepada mereka. Salah satunya menyangkut soal bagaimana gambaran mondokku dulu. Sambil sesekali aku melongok kesebelah kanan, ada bilik yang ditempati Ghiffari, kawan baikku. Tapi sepi, tidak ada orang sama sekali.
“Sampean barengane Pak Azzam nopo, Pak?”
Pertanyaan semacam itu yang sering mereka lemparkan. Aku menanggapi seadanya sambil menerka kira-kira angin dari mana yang bisa membuat fikiranku tenang.
“Lha niko Kamil, Pak”
Dulur. Kau punya daya tarik tersendiri. Kurasa sudah banyak tulisanku menengenai dirimu. termasuk rimbunan puisi yang tak ada jelasnya sama sekali itu. Langkamu diterpa angin yang kemudian menerpaku. Benar saja, angin barusan adalah angin yang bisa menenangkan fikiranku; angin dari arahmu.
Mungkin ini salah satu efek sampin berusia banyak. Kadang, tiba-tiba fikiran terasa penuh. Tapi tidak menahu apa yang membuat fikiran penuh. Aneh. Dan bersyukur, aku bisa mengenalmu, yang kemudian membawaku kedalam talu-taluan rindu. Bersyukur, aku bisa mengenal seseorang yang bisa membuatku bangkit dan bersemangat kembali.
“Ngapain ten mriki, Mas?”. Tanyamu sambil senyum.
“Nyari angin”
Dan kau bicara bahwa kau jadi beli sepatu, online, “Kulo titip nggeh”.
Kau tahu, seketika itu aku berharap, bahwa setiap hari ada barang yang kau titipkan. Sehingga kita bisa bertemu setiap hari, tatap muka setiap hari. Dan senyummu, bisa kurampas setiap hari, kita bicara setiap hari. Sehingga, aku selalu semangat. Hari-hariku adalah hari yang hebat. Dan aku selalu suka berbicara denganmu, meski seringkali aku tak tahu harus berbicara apa.
“Tak ringkes-ringkes rien, Mas”
Lalu kau masuk ke kamarmu. Dan aku melanjutkan perhelatan. Kesana-kemari. Membahas liburan, dan sebagainya. Ujian, dan lain sebagainya. Sampai akhirnya lampu masjid telah wafat. Pertanda jam malam sudah tiba. Aku mempersilahkan mereka istirahat.
“Eh, Zak, mampir kamar 13 ya. Panggilkan Kamil”. "Siap"
Senafas kemudian,

“Ada apa, Mas?”
“Ndak ikut ta, Mil?”
“Mboten, Mas. Krasan ngken malahan”.
Tentu aku mengalah. Dan kau tahu, soal ini, aku selalu kalah, Mil. Kau selalu manolak ketika kuajak berhelat. Dan itu sah-sah saja. Karena memang kau punya keseharian sendiri, kau punya teman sekamar, kau punya kesibukan sendiri. Dan soal ini, sekali lagi, aku tak boleh egois, aku tak boleh memaksa bahwa kau harus selalu bersamaku meskipun itu yang aku mau. Itu sebabnya, dalam hal ini, aku selalu kalah. 


Tapi, tidak bisakah kau beri satu saja kesempatan untuk mau berhelat bersamaku? Satu saja..

Asal kau selalu semangat, aku pasti juga. Terlebih ketika kau bercerita tentang pandanganmu setelah lulus nanti. Antara melanjutkan ke Malang, Jogja, atau ke Bogor. Dan menetap disini selalu kau akhirkan. Wkwkwk. Itu bukan masalah besar. Buatku, yang terbaik untukmu.
Semangat terus, Mil! kau tadi juga sedikit mengeluh tentang banyaknya ujian. Diniyyah, takror, belum lagi ujian sekolah selama 12 hari dengan berbagai mata pelajaran yang bertubi itu. Kau mengeluh. Dan kau tahu, aku selalu menanti saat seperti ini. Kau menanggungkan kesedihanmu kepadaku, kau mengadukan kekesalanmu padaku. Karena rindu mampu mencerna itu semua menjadi telaga yang jernih airnya. Nikmat sekali. Aku merasa berjuta kali lebih dekat ketimbang sentuhan kulit kita waktu salaman. Bayangkan!
Dan kau harus semangat! kau harus ingat dengan cita-cita yang pernah kau kabarkan itu. Usaha harus sebanding dengan impian. Dan aku yakin kau bisa. Kau selalu kuat melewati berbagai persoalan, aku yakin itu.
Buktikan bahwa kau adalah Kamil yang aku kenal. Seseorang, yang namanya selalu disisipkan dalam munajat oleh Orangtua, guru, juga yang menulis cerita ini. Buktikan.


Selamat malam, Mil!

0 komentar:

Posting Komentar