Minggu, 15 Desember 2019

I Wrote a Letter For Us



                        Aku sempat menyesalkan kenapa hidup melulu soal pertemuan dan perpisahan, datang dan pergi, ada lalu tiada. Hal-hal yang membuat kita tenang, dapat dipastikan hilang. Peristiwa yang membuat kita nyaman, dalam beberapa waktu akan lengang. Mengapa seperti itu?
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
            Ya beginilah dunia. Maka, demi kelestarian niatan baik, hati harus terus dilatih agar akhirat tujuannya. Melakukan apa-apa karena Allah. Tidak akan abadi bahagia kita jika masih bercampur perihal dunia. Tidak akan lama nikmat kenyamanan jika dunia masih bersemayam. Kalaupun kita paksakan, pasti sesak, resah, tidak tenang.
*****
            Hari ini pembagian raport diniyyah. Sehari lalu raport takror. Ada perasaan lega sebenarnya. Tentang kuatnya saya dan rekan-rekan satu kelas sampai tuntas satu semester ini. Namun disatu sisi, ada semacam kekhawatiran, rasa bersalah, atau apalah yang ujungnya kembali pada pemahaman bahwa saya yang kurang maksimal.
            “Yang pertama, saya mimnta maaf jika dalam satu semester ini banyak salah. Ucapan saya banyak menyakiti hati kalian. Tindakan saya membuat kalian resah. Saya minta maaf. Yang kedua, saya berterimakasih karena kalian sudah mau mengikuti pelajaran saya. Antusias, semangat, senyum, kadang juga ramai, semua tentang kalian membuat saya berfikir ribuan kali supaya besok lebih baik lagi”.
            Sebenarnya aku ingin berkata banyak. Lebih banyak lagi. Tapi mulutku lemah, sulit mengatakan apa yang telah otak cerna. Keringatku deras, merasakan betapa menguapnya harapan agar mereka semakin baik dan semakin baik.
            “Tetap jaga akhlaq. Kegiatan boleh libur, diniyyah boleh libur, tapi akhlaq tetap dihati. Ubudiyyah nomorkan satu. Jadikan liburan ini kesempatan kita untuk Birrul walidain”. Sebenarnya berat mengatakan kalimat semacam ini. Tapi harus dilakukan. Mereka harus tahu nilai-nilai itu. Jangan sampai mereka tidak tahu kalau mereka berbuat salah. Jangan sampai mereka tidak merasa kalau yang dilakukan keliru.
            “Salam kepada orangtua di rumah, assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh”
            Raport mulai diterima satu-persatu. Ku tandatangani bergantian, lalu sekedar menuliskan kata ‘semangat!’ pada kolom yang tersedia. Setelah itu bersalaman, dan pergi bergerilya. Setelah habis, tinggal aku sendirian yang ada di dalam ruangan kelas, ada sedikit harapan sebenarnya. Tentang kembalinya mereka, kemudian berhelat lama-lama menceritakan apapun yang telah mereka alami dan perencanaan yang akan terjadi waktu liburan nanti. Manusiawi.
            Aku keluar kelas, menuruni anak tangga sambil menjatuhkan perasaan-perasaan khawatir tadi. Juga harapan-harapan tadi. Aku sadar bahwa tugasku tidak lebih dari perantara menyampaikan materi. Tidak lebih dari menyebarkan informasi tentang kebaikan dan akhlaq. Aku hanyalah seseorang yang terus ditempa berbagai problema apik. Tidak pantas jika berharap lebih. Tidak pantas jika terlalu merasa memiliki.
            Bagaimanapun juga, adanya mereka sangat membantu perjalananku memehamai bagaimana seharusnya aku hidup. Melihat tingkah yang warna-warni, tentu memobilisasi daya cernaku. Tidak ada yang perlu disesalkan. Yang ada, adalah perlu diperbaiki dan ditingkatkan.
            Maka, ketika aku berjalan melewati halaman pesantren yang luas, angin mengingatkanku bahwa cara terbaik untuk menemani langkah mereka adalah dengan do’a. Semoga manfaat dan barokah. Toh, tidak ada harapan lain dari seorang pengajar selain melihat murid-muridnya bahagia dan sukses.

Selamat berlibur,

Salam hangat dariku, Jombang, 15 Desember 2019




0 komentar:

Posting Komentar