Senin, 06 Januari 2020

Setelah itu,



            Liburan semester telah usai. Dan sudah kuniatkan, bahwa harus ada pelajaran berharga yang bisa kudapatkan. Dari apa – siapa saja. Termasuk darimu. Hahaha. Sungguh, aku tidak berbohong soal ini.
Dalam kamus otakku, kau termasuk orang yang cuek sekali. Dan sikap itu, ku rasa sangat kental hingga mendarah daging. Dalam artian, mau bagaimanapun kondisinya, mau dengan siapapun kau bercengkrama, itulah dirimu. Tapi hebatnya, kau respondsive sekali. Secara sosial kau lebih jago dibandingkan diriku.
            Satu yang paling aku ingat, selepas aku mengirimkan pesan panjang sekali dan kau membalas singkat-singkat. Tentu aku sedikit kecewa, dan sengaja ku kirimkan emotikon yang bisa mewakili kekecewaanku itu. Tapi, sekali lagi, yang paling kuingat setelah aku mengirim emotikon itu adalah jawabanmu. Kira-kira begini: “Maaf ya, Mas. Gak enak ya chatingan sama aku?”.
            Aku bingung seketika. Mau tertawa itu takut dosa. Mau nangis itu juga ngapain. Akhirnya aku renungkan jawaban itu. Sampai akhirnya kesimpulanlah yang menyatakah bahwa aku yang salah. Akulah yang terlalu egois, menuntut agar pesan ghaib itu selalu dibalas. Setiap aku sapa, kau harus sapa balik. Setiap kuberi semangat, itu berarti kau harus beri semangat balik. Akhirnya aku berniat minta maaf.
            Sebelum kuputuskan untuk mengirim kata: maaf ya, aku berfikir lama tentang kemungkinan-kemungkinan yang pasti terjadi. Seperti; minta maaf untuk apa? dan lain sebagainya. Sesuatu yang tak ingin itu terulang lagi. Oh, ya. Ini sampai jadi puisi loh. Begini:
Aku ingin sesekali merasa bosan telah menjadikanmu segalanya. Aku ingin minta maaf tanpa kau tanyai kenapa.
            Akhirnya, fix, ku kirim kata maaf itu. Wow!! Dan benar saja, selang beberapa jam kaupun membalas: buat?
            Aku sempat heran untuk beberapa hari. Dan pesan itu belum juga kubalas. Aku berfikir ini salah siapa. Kok sampai bisa ditebak begini. Apakah saking bodohnya aku, tiba-tiba minta maaf tanpa sebab yang jelas. Atau memang kau yang kurang peka. Hahaha. Sudahlah, aku tak terlalu mempermasalahkan ini. Lagi pula, setelah kejadian ini, kau memposting foto dengan caption yang mak tes tes.
Kira-kira begini: “Bersikap bodo amat terhadap orang yang amat bodoh”
            Sejalan dengan ini, beberapa hari sebelum kembali (ini artinya liburan hampir habis). Aku mencoba mengambil sesuatu yang lebih darimu. Bahwa, tidak ada gunanya memikirkan sesuatu yang tak perlu dipikirkan. Berskaplah biasa saja, jangan berlebihan. Jangan juga terlalu berharap, biar tidak sakit kalau yang kita harapkan tidak kesampaian.
            Dan di akhir tulisan ini, berarti sudah hampir seminggu setelah kita kembali se-jagat, kita belum bertemu. Dan demi mengaminkan perkataanmu itu, juga janjiku agar tidak lagi rapuh, sengaja aku tidak mencari-carimu. Tidak menemuimu. Karena aku tahu, hari-harimu akan lebih padat ketika semua kegiatan sudah aktif seperti ini. Aku takut mengganggu jam istirahatmu. Aku takut mencampuri jam berhelatmu dengan rekan sebayamu.

            Bukan masalah, jika sampai sebulan, bahkan berbulan-bulan kita tak bertatap muka. Lagi pula, kau tak pernah lepas dari pelukan doaku. 

0 komentar:

Posting Komentar