Selasa, 21 Januari 2020

There Is No Need For Concern


            Selamat larut malam. Aku bilang demikian sebab saat menulis ini, tepat pukul 00.23. Terlalu larut bagi manusia yang tak suka begadang. Akan ku bocorkan sedikit bahwa tulisan ini nantinya akan berupa-rupa. Dan kau tak usah membayangkan bahwa akan ada berbagai font yang ku pakai. Maksudku, bahasan dalam tulisan ini akan beraneka rasa.
            Petama, akan ku lanjutkan soal tulisan sebelum ini. Betapa kemudian realita selalu berkata demikian. Bahwa, apa yang telah terjadi sisipkan sebagai pelajaran. Ku rasa ini omong kosong. Dan pada saat yang sama ketika aku mengetik kalimat sampai disini, aku merasa lemah dihadapan kenyataan. Maka, betapa mirisnya keadaan dimana rencana berakar api. Sudahlah, ku rasa tak usah kita risaukan itu lagi. karena kebencian kita terhadap sesuatu, bisa saja membuat kita benci terhadap diri kita sendiri.

Kebencian kita terhadap sesuatu, bisa saja membuat kita benci terhadap diri kita sendiri

            Malam ini, sesuai janji, aku menunggu kedatanganmu sejak usai kegiatan tadi. Singkatnya kau hadir, seperti biasa, membawa semangat yang luar biasa. Kau tahu? Inilah kenapa aku selalu suka. Maka kau hadir sebagai rekan paling hangat, membuatku lelap membaca buku “Ordinary People” Karya Andrea Hirata dengan lahap. Tamat. Ditengah keseriusanmu menjelajah materi pelajaran sekolah di laptop, kau tahu, fikiranku terus saja menerka kiranya apa yang akan kutuliskan malam ini.
            Dan baru kutemukan jawabannya sejak aku mulai mengetik ini. Bahwa menulisn itu bukan cuman ilusi, tapi menulis adalah aksi. Percuma kita rancang sampai macam-macam kalau pada akhirnya hanya terus berputar dengan rapihnya rencana itu. Sama juga dengan rindu. Rindu itu aksi. Bukan hanya ilusi yang berlarut membuat kita semakin layu. Kalau seperti itu, rindu seakan-akan sama seperti virus atau sejenis penyakit. Bukan! Aku tidak setuju. Harusnya rindu itu aksi. Apa kiranya yang dapat kita hasilkan dari rindu itu. Semangat, misalnya. Atau karya. Itu hak kita sebagai perindu.
            Dan aku, sekali lagi, merasa ribuan kali lebih semangat. Aku merasa kita terpojokkan suasana. Malam yang begitu lengang. Juga suara angin yang sesekali berdesir menyerobot ventilasi dan jendela yang sengaja dibuka. Udara sedikit panas, hingga kau buka jaket putih kesayanganmu itu. Aku, sejak tadi, setelah menyelesaikan buku kuning karya Bung Andrea, terlentang bebas disebelahmu. Sambil memejamkan mata, membayangkan kau menjambak rambutku yang gatal. Seringkali, hal-hal yang kau anggap lumrah, mungkin bagiku adalah mustahak.
            Kita berkelakar tentang banyak hal. Sungguh, ini yang aku suka. Pun tadi aku bertanya apakah kau pernah punya target di tahun ini?. Kau, seperti biasa, sambil tersenyum lalu berkata bahwa belum sampai situ. Yang kau fokuskan adalah apa yang ada didepan mata. Bagaimana agar segala tugas dan kewajiban tuntas. Aku mengiyakan. Tak ada salahnya memang. Karena target hanya milik orang-orang yang belum yakin dengan langkahnya hari ini. Tapi aku yakin, seiring waktu kau pasti akan memiliki itu. Satu target hebat dalam hidupmu.
            Okelah, kita sudahi perhelatan kita kali ini. Aku yakin perhelatan seperti ini bukan tak ada manfaatnya. Meskipun aku sempat ragu, apakah bertahun-tahun yang akan datan kita selalu rekat. Ku harap rindu kerap menimpas keraguan itu.


Selamat malam, 

0 komentar:

Posting Komentar