Berbohongnya
tindakan kita terhadap perasaan kita sendiri, dengan alasan apapun, ternyata
tetap saja merugikan. Malah lebih parah ketimbang resiko yang kita perkirakan
kalau saja kita turuti perasaan itu. Selain pada dasarnya berbohong memang
tidak baik, terkadang ego itu perlu dipertimbangkan. Tidak melulu kemauan kita
harus dituruti. Tidak selalu apa yang kita hindari musti kita musuhi. Kau mungkin
tahu, kemana arah perbincangan ini.
Mulanya aku keras
kepala. Aku bertekad tidak akan menemuimu dengan cara apapun. Mengunjungi bilikmu,
atau menyandarkan pertemuan kita pada keperluan-keperluan yang sebenarnya tidak
penting. Bakan ketika melihatmu, sudah kuyakinkan, tidak akan kusapa dirimu. Terkesan
seperti benar-benar membencimu memang. Tapi aku percaya, dengan semakin
membencimu, kelak, aku akan lebih menghargaimu.
Tapi aku salah
soal itu. Tidak ada baiknya segala sesuatu yang berbau kebencian. Terlebih yang
kulakukan adalah memaksa. Aku memaksa diriku agar membencimu. Aku memaksa
kakiku agar tidak melangkah menujumu. Aku juga memaksa mataku agar lekas
berpaling ketika melihatmu. Tapi segala usaha itu semakin membuatu sesat;
sesak.
Meskipun aku
berjalan dengan langkah kuat, tapi setiap tapak adalah tangisan. Akupun kerap
menyalahkan diriku sendiri kalau sudah mencari keburukanmu. Setelah
kupikir-pikir, bukan itu langkah yang tepat. Kau tahu, bagaimanapun juga, berhelat
denganmu baik-baik adalah cara terbaik. Dan kau perlu tahu, kuperoleh segudang
pemahaman ini darimu. Tentang bersikap sewajarnya. Jangan berlebihan dalam
berharap. Dan banyak hal.
Maka dalam beberapa
kesempatan, ketika waktuku luang dan aku ingin menemuimu, ku temui saja dirimu.
Tanpa perlu berbohong dan membuat bertele-tele alasan agar terliat kuat. Tidak perlu
seperti itu. Karena definisi rapuh adalah membohongi diri sendiri. Dan mengaku rapuh adalah bentuk nyata dari kebodohan.
Karena definisi rapuh adalah membohongi diri sendiri. Dan mengaku rapuh adalah bentuk nyata dari kebodohan.
Nyatanya, semua
baik-baik saja. Kau tetap tersenyum seperti sebelumnya. Bahkan lebih mekar dan
tentu sangat menyenangkan melihat kulum bibir itu. Juga tingkahmu, ucapanmu
yang singkat-singkat seperti dalam chatingan kita itu. Aku suka sekali. Aku bersyukur
telah merindukanmu. Aku bersyukur karena darimu, aku belajar dan menemukan
jawaban atas masalah-masalah yang menyerang perhelatan kita.
Intinya, selamat
berbahagia untuk diriku sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar