Karena beberapa faktor, kiranya tulisanku malam ini akan
berhubungan erat dengan apa yang sebelumnya sudah ku serat. Tentu kau masih
ingat. Dan bagaimanapun juga, manusia adalah makhluk sosial. Banyak orang
dengan keinginan yang bermacam-macam.
Dan beruntung, hingga malam ini aku masih bisa merasakan nafas
segar udara pesantren. Perhelatan banyak orang dari berbagai latar belakang
membuat kesan ‘bersosial’ menjadi lebih kentara. Resiko ketidak cocokan tentu
akan banyak sekali. Seperti daya tahan tubuh terhadap dingin, misalnya. Tiap orang
tentu berbeda. Kadang kita kedinginan, orang lain justru sumuk. Dan sebaliknya.
Sampai kelewat, bahwa pembahasan kita malam ini adalah soal apa
yang telah ku tulis sebelumnya. Perihal bahwa betapa pentingnya memiliki jiwa
yang kuat. Aku yakin tak akan ada yang mengelak ini. Semua pasti mengiyakan
bahwa memiliki jiwa kuat sama pentingnya dengan memiliki cinta yang kuat. Eak!
Jadi, begini. Apa yang kerap aku bicarakan sering kali adalah apa yang
akan, masih, atau terus ku usahakan. Melulu aku berkata soal jiwa yang kuat,
karena memang ada beberapa temuan yang (menurutku) tersebab karena 'kurang kuat' jiwa yang
dimilikinya. Seperti pada kasus hangat belakangan ini. Salah satu rekan
belajarku di kelas dikeluarkan dari pesantren – yang infonya – sebab dia ngepunk.
Kesan pertama yang bisa ku sampaikan adalah bahwa, kenapa aku baru tahu? Se-lelet
inikah aku mengenai informasi rekan-rekan sekelasku sendiri?
Namun secara perinci, mungkin, nanti akan kusampaikan ketidak
setujuanku pada beberapa pihak yang pada akhirnya membuatku menerka pertanyaan
besar orang tuanya. Kira-kira begini: “Aku mondokne anakku ini kan biar bisa
faham agama. Biar tekun agamanya bisa diawasi lagsung oleh ustadz-ustaadznya. Tapi
bagaimana ceritanya? Kok anak saya bisa sampai menjadi begini? Apa tidak di
awasi? Apa dibiarkan saja?”
Dan pertanyaan itu nampaknya selalu menjejali fikiran saya. Lalu begini.
Menurut analisa asal-asalan (tapi jangan mentah-mentah kau tolak), satu dari
beberapa faktor yang mengakibatkan melencengnya tindakan seorang anak adalah
soal pem-buly-an. Aku yakin, tak ada yang suka diejek temannya. Apalagi sampai
pada taraf, ada-tiadanya sama saja. Sungguh, hal ini akan menjadi pemicu utama
seorang anak merasa asing dengan lingkungan ‘baik’ nya. Sehingga dia akan
mencari lingkungan lain yang sesuai dengan apa yang ia inginkan, juga yang menerimaya. Nah, pada fase
ini, kalau memang mujur, maka anak ini akan baik-baik saja. Kalau ajur, maka
yang terjadi adalah kelewat batas.
Kita tahu, khususnya di pesantren, tentu bullying seakan telah
menjadi hal yang lumrah saja. Tapi dalam beberapa konteks, tampaknya akan
sangat tidak adil jika hal itu tidak diimbangi dengan dukungan-dukungan moral. Akan
sangat timpang jika tidak ada yang berperan sebagai penguat jiwanya. Siapa? Siapa
lagi kalau buka seniornya? Kalau bukan ustadznya? Kalau bukan rekan
terdekatnya?
Ini menjadi semacam pembahasan menarik, sebab, kalau dibiarkan saja
pasti akan merambah dan membudaya. Oh ya, sebelum aku lanjutkan. Sebenarnya bukan
urusanku membahas perihal ini. Hanya saja, fikiranku tak bisa lelap. Maaf saja
jika ada salah sana-sini. Atau argumen yang memang sengaja tak kuberi dasar.
Kita lanjutkan. Disinilah pentingnya peran pembimbing bagi mereka. Juga
koordinasi hangat antar semua lini. Pembimbing kepada tenaga pengajar, senior kepada pembimbing, dan lain sebagainya yang barangtentu sangat menunjang kestabilan itu. Kita seringkali
masih mengesampingkan usaha agar jiwa mereka kuat......
Aduh, besok kita lanjut ya. Kepalaku sudah pening sekali.
Taip tidak lengkap rasanya kalau aku menganggurkan rinduku ini. Kepadamu,
yang selalu menjadi alasanku terus semangat.
Selamat Malam...
Sebentar, ini terakhir. Aku hanya perlu menjelaskan bahwa malam ini
hidungku terasa ngilu. Ini berarti aku akan berdoa, agar kau tak mengalami hal
yang sama sepertiku.
Oke, selamat malam
0 komentar:
Posting Komentar