Senin, 20 Januari 2020

Bagian-Bagian Lain: Masih Soal Jiwa Yang Kuat



Karena beberapa faktor, kiranya tulisanku malam ini akan berhubungan erat dengan apa yang sebelumnya sudah ku serat. Tentu kau masih ingat. Dan bagaimanapun juga, manusia adalah makhluk sosial. Banyak orang dengan keinginan yang bermacam-macam.
Dan beruntung, hingga malam ini aku masih bisa merasakan nafas segar udara pesantren. Perhelatan banyak orang dari berbagai latar belakang membuat kesan ‘bersosial’ menjadi lebih kentara. Resiko ketidak cocokan tentu akan banyak sekali. Seperti daya tahan tubuh terhadap dingin, misalnya. Tiap orang tentu berbeda. Kadang kita kedinginan, orang lain justru sumuk. Dan sebaliknya.
Sampai kelewat, bahwa pembahasan kita malam ini adalah soal apa yang telah ku tulis sebelumnya. Perihal bahwa betapa pentingnya memiliki jiwa yang kuat. Aku yakin tak akan ada yang mengelak ini. Semua pasti mengiyakan bahwa memiliki jiwa kuat sama pentingnya dengan memiliki cinta yang kuat. Eak!
Jadi, begini. Apa yang kerap aku bicarakan sering kali adalah apa yang akan, masih, atau terus ku usahakan. Melulu aku berkata soal jiwa yang kuat, karena memang ada beberapa temuan yang (menurutku) tersebab karena 'kurang kuat' jiwa yang dimilikinya. Seperti pada kasus hangat belakangan ini. Salah satu rekan belajarku di kelas dikeluarkan dari pesantren – yang infonya – sebab dia ngepunk. Kesan pertama yang bisa ku sampaikan adalah bahwa, kenapa aku baru tahu? Se-lelet inikah aku mengenai informasi rekan-rekan sekelasku sendiri?
Namun secara perinci, mungkin, nanti akan kusampaikan ketidak setujuanku pada beberapa pihak yang pada akhirnya membuatku menerka pertanyaan besar orang tuanya. Kira-kira begini: “Aku mondokne anakku ini kan biar bisa faham agama. Biar tekun agamanya bisa diawasi lagsung oleh ustadz-ustaadznya. Tapi bagaimana ceritanya? Kok anak saya bisa sampai menjadi begini? Apa tidak di awasi? Apa dibiarkan saja?”
Dan pertanyaan itu nampaknya selalu menjejali fikiran saya. Lalu begini. Menurut analisa asal-asalan (tapi jangan mentah-mentah kau tolak), satu dari beberapa faktor yang mengakibatkan melencengnya tindakan seorang anak adalah soal pem-buly-an. Aku yakin, tak ada yang suka diejek temannya. Apalagi sampai pada taraf, ada-tiadanya sama saja. Sungguh, hal ini akan menjadi pemicu utama seorang anak merasa asing dengan lingkungan ‘baik’ nya. Sehingga dia akan mencari lingkungan lain yang sesuai dengan apa yang ia inginkan, juga yang menerimaya. Nah, pada fase ini, kalau memang mujur, maka anak ini akan baik-baik saja. Kalau ajur, maka yang terjadi adalah kelewat batas.
Kita tahu, khususnya di pesantren, tentu bullying seakan telah menjadi hal yang lumrah saja. Tapi dalam beberapa konteks, tampaknya akan sangat tidak adil jika hal itu tidak diimbangi dengan dukungan-dukungan moral. Akan sangat timpang jika tidak ada yang berperan sebagai penguat jiwanya. Siapa? Siapa lagi kalau buka seniornya? Kalau bukan ustadznya? Kalau bukan rekan terdekatnya?
Ini menjadi semacam pembahasan menarik, sebab, kalau dibiarkan saja pasti akan merambah dan membudaya. Oh ya, sebelum aku lanjutkan. Sebenarnya bukan urusanku membahas perihal ini. Hanya saja, fikiranku tak bisa lelap. Maaf saja jika ada salah sana-sini. Atau argumen yang memang sengaja tak kuberi dasar.
Kita lanjutkan. Disinilah pentingnya peran pembimbing bagi mereka. Juga koordinasi hangat antar semua lini. Pembimbing kepada tenaga pengajar, senior kepada pembimbing, dan lain sebagainya yang barangtentu sangat menunjang kestabilan itu. Kita seringkali masih mengesampingkan usaha agar jiwa mereka kuat......

Aduh, besok kita lanjut ya. Kepalaku sudah pening sekali.

Taip tidak lengkap rasanya kalau aku menganggurkan rinduku ini. Kepadamu, yang selalu menjadi alasanku terus semangat.
Selamat Malam...

Sebentar, ini terakhir. Aku hanya perlu menjelaskan bahwa malam ini hidungku terasa ngilu. Ini berarti aku akan berdoa, agar kau tak mengalami hal yang sama sepertiku.

Oke, selamat malam



0 komentar:

Posting Komentar