Gagal
total. Berulang kali aku mencoba agar mendapat perhatian beberapa fihak,
termasuk dirimu soal lelah, atau flu yang menyerang belakangan ini. Tapi tak
ada gunanya pula aku menceritakan keluhan-keluhan itu. Bahkan, malah ada yang
menimpali kembali dengan keluhan. Mengeluh dibalas mengeluh. Bisa kau bayangkan
sendiri bagaimana rasanya.
Pada suatau
kesempatan, harusnya kita sadar bahwa setiap manusia pasti punya masalahnya
masing-masing. Kesulitan yang kita anggap hanya menimpa kita sendiri, ternyata tidak
benar. Orang lain pasti merasakan juga. Bahkan bisa jadi lebih parah dari kita,
lebih rumit masalahnya. Maka, akan sangat egois jika kita hanya ingin
di dengarkan tanpa mau mendengarkan.
Akan sangat egois jika kita hanya ingin di dengarkan tanpa mau mendengarkan.
Ironinya lagi,
bersamaan dengan didengarnya keluhan kita, seringkali kita ini maunya sepaket
dengan solusi, atau elu-eluan yang mendamaikan itu. Padahal, jika keluhan kita
sudah ada yang mau mendengarpun itu sudah bagus. Orang sudah mau meluangkan
waktu dan menyisihkan sedikit memorinya untuk cerita-cerita kitapun, itu sedah
luar biasa. Tidak layak sebenarnya, jika kita terlalu berharap kepada orang,
agar mau memberi masukan atau kata-kata bijak atas kepelikan yang kita
bicarakan.
Aku jadi ingat
kata Salud dalam buku Ordinary People karya Andrea Hirata: Lebih baik
dipukuli berdua dari pada dipukuli sendiri. Setidaknya, hal ini
menggambarkan bahwa tidak ada manusia yang ingin sendirian dalam kesulitan.
Apapun bentuknya. Selalu ingin teman. Setidaknya ‘mereka’ yang mau menjadi
pelukan, sandaran, atau tempat berpulang bagi segala urusan-urusan yang
meriuhkan. Beruntunglah, jika kau punya teman yang seperti itu. Berterimakasihlah,
karena dia sudah rela turut menelan dukamu. Jika belum, jangan khawatir. Mari
kita berusaha menjadi yang seperti itu. Yang mau menjadi pendengar baik bagi
teman-teman kita, menjadi tempat mereka berbagi cerita.
Ini bisa jadi
langkah untuk menguatkan jiwa. Dari kisah macam-macam yang kita dengar, kita
akan tahu bahwa hidup tidak hanya satu warna, tidak cuman tunggal rasa. Maka,
sudah barang tentu, secara bertahap barangkali, kita akan memiliki automatically
comprehension yang mampu menjadi benteng pertama kita. Bukankah kunci dari
segala sesuatu adalah pemahaman?
Dan kita, ini yang
mulai ku sadari, akan naik turun secara bergantian. Sekarang aku merindukanmu,
mungkin kau biasa-biasa saja. Siapa tahu, besok, balik kau yang merindukanku
dan aku biasa-biasa saja. Tapi tenang, ini hanya spekulasi. Minimal, aku sudah
sadar sejak awal bahwa inilah kehidupan, beginilah hubungan. Kelak, jika itu
terjadi, aku akan berusaha terus mengimbangi. Membawamu pada situasi paling
cerah bersama semangat yang kerap ku resap darimu.
Oh, ya. Sebelum ku
akhiri. Tulisan ini selesai siang ini, dan seharusnya tuntas tadi malam. Mungkin
karena gejala rindu, belum sempat menulis aku sudah terpejam; kecapaian. Sudahlah.
Selamat Siang,
0 komentar:
Posting Komentar