“I want to rest and to think of you. But my head turned into your
bedroom long before i even knew your name”
(Aku ingin istirahat dari mengingatmu. Tapi kepalaku sudah menjadi
tempat tidurmu jauh sebelum aku mengenal namamu).
- M.
Aan Mansyur -
Kali ini aku akan bercerita tentang kemarin. Perhelatan panjang
yang membawaku pada fase pengertian. Kemarin itu, seusai perjalanan kita yang
menghabiskan – kurang lebih – tiga jam-an itu, aku benar-benar tidak bisa
menulisakan apapun. Fikiranku seakan sibuk merenungkan apa yang telah kita
perbincangkan.
Kita melawan arah
angin, menyelarasi jalan raya yang lengang. Menuju – pertama – loket pembayaran
listrik. Disitu, saat aku melakukan transaksi, kau membolak-balik koran serius,
sesekali tersenyum. “Mas, Mas! Nikilo konco dolenku! Aku menolah, menuju
kearahmu. Dan kau menunjukkan berita utama pada koran itu. Ada gambar Bupati
dikerubungi tim paskibra yang beberapa diantaranya adalah rekanmu. “Aku
sueneng ningali rencang-rencang bahagia ngeten”. Aku mengiyakan, lalu
menatapmu. Betapa aku juga senang melihatmu tersenyum begini, batinku.
Lalu – kedua –
kita beranjak. Meresapi angin dan bising knalpot. “Mau kemana lagi?”.
aku membuka pembicaraan. Dan kau menjawab dengan jawaban yang selalu bisa
kutebak. Memang itu jawaban yang kerap kau lontarkan saat kutanya soal tujuan.
“Sudah makan?” Tanyaku basa-basi, meskipun sebenarnya tadi aku sudah melihatmu
makan. Sudah, katamu. Sambil terus berjalan, aku bilang padamu bahwa kita akan
menuju bakso tegal. Bukan makan, nyemil. Dan kau tak berhak menolak. Haha.
Beberapa tahun terakhir, ku akui, ngobrol sambil naik motor adalah kegiatan
yang sangat menyenangkan. Tidak ada duanya. Tidak kalah dengan nongkrong di
kedai atau cafe mewah.
Sambil nyemil pentol, kita tukar cerita. Kau bicara
banyak soal hari-harimu, juga beberapa kepelikan yang kau rasakan sejak lama. “Kulo
suwumpek ten pondok eh”. Begitu katamu. Aku mencoba menerka, barangkali
karena padatnya kegiatan ya? Karena bagaimanapun juga, sekolahmu pulang jam
setengah tiga sore. Lalu setengah jamnya lagi sudah ashar, lalu kegiatan, lalu
maghrib, lalu kegiatan, lalu isya’ dan kegiatan, baru kau bisa rebahan.
kira-kira begitu terkaanku. Kau kecapaian.
Itu salah satunya,
katamu. Sambil menyeruput es cincau susu, kau melanjutkan. Bahwa ada hal lain
yang membuatmu kikuk. Yaitu semakin ketatnya peraturan. Dan yang menjadi
permasalah bukan soal ketatnya, tapi penegakan peraturannya yang seringkali
plin-plan. Kau bilang, memang, yang membuat peraturan jelas Guru Sepuh. Tapi
penegak peraturan nyatanya yang membuat keikhlasan menjalankan aturan menjadi
enggan. Ya itu tadi, seringkali plin-plan.
Soal ini, aku
lebih sering mendengarkan dan mengiyakan beberapa statementmu yang cocok. Aku sengaja
begitu agar kau tau dengan sendirinya, bahwa tidak ada yang benar atau salah
dalam perjalanan ini. Karena aku yakin. Bagaimanapun juga, kelak, kau akan
mengetahui hal itu dengan sendirinya.
Sambil mendengarmu
bercerita, juga sesekali kau kulum senyum dibibirmu itu, aku memantapkan dalam
hati bahwa aku tak akan berhenti mendoakanmu. Aku ingin yang terbaik untukmu. Maka,
aku akan terus mendoakanmu.
Sambil berkendara,
waktu perjalanan pulang, kau bercerita bahwa dulu kau pernah ditawari orang
permen berbahaya. Waktu itu, katamu, kau sudah kelas 6 Sd. Dan wajahmu masih
teramat imut untuk anak seumuran itu. “Lha sak niki, masio pun kelas 2
Aliyyah tapi wajah tasek imut-imut ngeten. Heheh”. Kira-kira kau tersenyum
saat mengucapkan hal ini. Maka kubalas senyum juga. Dalam batin, aku membalas,
bahwa meski perawakanmu manis tapi jiwamu besar. Tidak masalah dengan postur
tubuh, atau apapun yang nampaknya masih usia pisang. Yang kukenal, kau itu
besar jiwanya. Dan aku belajar banyak hal darimu.
Sebenarnya masih
panjang ceritanya. Tapi kukira itu yang inti. Disamping juga malam ini aku
benar-benar lelah. Entah kenapa, aku belum tahu pasti. Tidak seperti biasanya.
Selamat malam,
0 komentar:
Posting Komentar