Rabu, 15 Januari 2020

Soal Keberanian Untuk Memulai


            Mendung tiba-tiba mengepung langit sore yang mekar. Menggiring lamunan pada rintik-rintik hujan. Aku mengendus kesal sebab tingkahku sendiri. Rindu yang kukira sudah lulut malah berperan sebagai sengkuni. Sebenarnya aku tahu bahwa kau tak akan mau tahu soal ini. Hanya saja keadaan membuatku mengalah, dan kuputuskan menemuimu selepas isya’.
            Beriringan dengan hujan, aku berbaur dengan genangan air. Melangkah sekenanya menuju bilik yang barangtentu kau ada disana. Aku sudah titip salam lewat Tio untukmu. Sekedar meyakinkan  bahwa aku akan kesana dan kau harus ada. Tio ini, sekali lagi, adalah rekan paling baik dikelas. Aku mengenalnya sebagai pribadi yang baik. Kelak, aku akan meberi sesuatu untuknya.
            “Hei”. Sapa-menyapa. Lempar tawa. Dan kau bahkan bercerita soal keresahanmu pada beberapa hal. Soal gambar yang kau buat story itu. Katamu, itu iseng-iseng saja. Dimintai tolong sama mbak (yang aku belum begitu tahu itu siapa). Juga soal kameramu yang lensanya error itu. Sampai pada masalah tugas kita dua bulan yang akan datang.
            “Asline aku pengen mengembangkan, Mas! Tapi aku takut eh!”. Aku menangkap arah pembicaraanmu. Itu sama seperti apa yang pernah kualami dulu. “Ndak papa! Apa yang kau takutkan?”. “Ya takut ae”. “Ndak papa. Ini justru kesempatan besar buat kamu untuk melatih keberanian. Aku dulu juga sama, takut. Tapi kalau setiap akan mencoba terus saja takut, kapan kita berani?”
            Kau memanggut-manggut dengan bumbu senyum khas milikmu itu. Ah! Lagi-lagi aku ingin menikmati itu sendiri!. Kubuang pandangan kearah tempias hujan yang membasahi lantai didepan kami. Sembari meyakinkan diri bahwa tantangan paling mendasar dari segala sesuatu adalah berani mencoba! Termasuk soal ini, mengenalmu. Andai saja dulu aku tak kunjung berani menanyakan alamat rumahmu, atau namamu, pasti yang kubisa hanya terus membayagkan kedekatan seperti ini. Dan untungnya aku berhasil. Setidaknya untuk membuat kita saling kenal. Selebihnya, biar tinggal.

            Entahlah, setidaknya, untuk beberapa hari terakhir aku merasa damai. Sambil mendalami pengertian bahwa, tidak semua harapan musti diperjuangkan. Tidak semua cinta musti dipertahankan. Besok, kita lanjutkan tulisan ini dengan dasar cerita-ceritamu, rautmu, senyummu. Juga dengan ketulusan yang selalu berusaha kuperbenah.

            Selamat tidur, 

0 komentar:

Posting Komentar