Senin, 27 Januari 2020

Tak Perlu Kau Baca (catatan kecil tentang perhelatan sebentar kami)

                Di shaf paling awal, ujung kiri, ternyata ada kau. Dua baris tepat di depanku. Wirid menggema bersahutan dengan pipit yang samar-samar mengikuti lantunannya. Khalayak, kita tahu, telah tergolek mesra. Angin silir-silir. Burung berkejaran. Daun-daun terlihat segar setelah menyesapi embun.
                Selepas kegiatan shubuh, aku berjalan melewati halaman luas dengan saluran air yang baru dibuat melintang dari timur ke barat. Telah parkir beberapa mobil ber-plat macam-macam. Sepertinya sejak semalam, terlihat dari kacanya yang ngembun. Sambil melangkah, ku sesap udara yang (anggap saja) sejuk. Membiarkanya masuk ke tubuh melalui hidung dan mulut. Alhamdulillah. Sejuk atau tidak, ini tetap anugerah yang hebat; kehidupan.
                Cinta adalah pasangan serasi antara duka dan bahagia. Betapapun pahit duka yang menyelimuti seseorang, akan tetap berakhir manis jika dilandaskan pada cinta. Tapi terkadang, cinta kerap dihadirkan sebagai tokoh yang semena-mena; antagonis. Sebuah konsep yang kaya akan kedamaian, ketenangan, kenyamanan, keindahan, keserasian, pengertian, tiba-tiba berulah magis karena empunya.
                Oh ya. Semalam kau mengajakku berhelat. Aku bingung sebenarnya. Ada apa? Kau tampak serius, tidak seperti biasanya. Singkatnya, kau membawa perbincangan kita pada polemik radikalisme. Kau bicara bahwa dalam waktu dekat ini, akan ada tugas membuat Paper sebagai syarat ujian akhir semester. Dan kau, ingin berusaha agar menjadi yang terbaik sebagai persembahan buat orangtuamu.
“Aku pengen memberikan yang terbaik buat orangtua, Mas. Dan tak fikir, ini kesempatan untuk mewujudkan itu".
                Sambil terus mendengarkan kau bicara, aku berdoa biar semua prosesnya lancar. Aku janji akan membantu sebaik mungkin untuk keberhasilanmu. Semangat!


*tak perlu kau baca, 

0 komentar:

Posting Komentar