Di shaf paling awal, ujung kiri, ternyata
ada kau. Dua baris tepat di depanku. Wirid menggema bersahutan dengan pipit
yang samar-samar mengikuti lantunannya. Khalayak, kita tahu, telah tergolek
mesra. Angin silir-silir. Burung berkejaran. Daun-daun terlihat segar setelah
menyesapi embun.
Selepas
kegiatan shubuh, aku berjalan melewati halaman luas dengan saluran air yang
baru dibuat melintang dari timur ke barat. Telah parkir beberapa mobil ber-plat
macam-macam. Sepertinya sejak semalam, terlihat dari kacanya yang ngembun. Sambil
melangkah, ku sesap udara yang (anggap saja) sejuk. Membiarkanya masuk ke tubuh
melalui hidung dan mulut. Alhamdulillah. Sejuk atau tidak, ini tetap
anugerah yang hebat; kehidupan.
Cinta
adalah pasangan serasi antara duka dan bahagia. Betapapun pahit duka yang
menyelimuti seseorang, akan tetap berakhir manis jika dilandaskan pada cinta. Tapi
terkadang, cinta kerap dihadirkan sebagai tokoh yang semena-mena; antagonis. Sebuah
konsep yang kaya akan kedamaian, ketenangan, kenyamanan, keindahan, keserasian,
pengertian, tiba-tiba berulah magis karena empunya.
Oh
ya. Semalam kau mengajakku berhelat. Aku bingung sebenarnya. Ada apa? Kau
tampak serius, tidak seperti biasanya. Singkatnya, kau membawa perbincangan
kita pada polemik radikalisme. Kau bicara bahwa dalam waktu dekat ini, akan ada
tugas membuat Paper sebagai syarat ujian akhir semester. Dan kau, ingin
berusaha agar menjadi yang terbaik sebagai persembahan buat orangtuamu.
“Aku pengen memberikan yang
terbaik buat orangtua, Mas. Dan tak fikir, ini kesempatan untuk mewujudkan
itu".
Sambil
terus mendengarkan kau bicara, aku berdoa biar semua prosesnya lancar. Aku janji
akan membantu sebaik mungkin untuk keberhasilanmu. Semangat!
*tak perlu kau baca,
0 komentar:
Posting Komentar