Rabu, 21 Agustus 2019

Sebuah Usaha Menenangkan Diri



Malam ini aku ingin bercerita tentang seseorang. Kami baru kenal, baru akrab. Belakangan, kami sering berhelat dalam kerja sama pembuatan kartu tanda santri. Hanya satu pekan. Tapi bagiku, itu lebih dari cukup untuk membuat kami akrab.
Aneh sebenarnya. Tapi inilah hidup. Bahwa, tidak perduli dari siapa pelajaran kehidupan bisa kita dapat. Dari seseorang yang umurnya jauh dibawah kita sekalipun. Tidak perduli. Barangkali dari mereka, kita akan mendapat sesuatu yang belum pernah kita dapatkan. Kita bisa mendengar cerita-cerita yang belum sempat kita dengarkan. Dan banyak hal. Sangat berharga.
Jauh sebelum ini, aku jadi ingat bagaimana sikap diamku beberapa tahun lalu. Lebih suka sendiri, sering berdiam diri. Bagiku, dulu, berbincang dengan orang adalah pantangan. Aku lebih senang mendengar ketimbang menjawab pertanyaan-pertanyaan. Aku lebih nyaman memperhatikan ketimbang diajak bercengkama.
Sampai saat ini, aku belum menemukan raut malas pada wajahnya. Auranya selalu semangat. Ceria,menyenangkan. Kalau pas serius, lekuk wajahnya menggemaskan. Terkesan manja. Hehehe.
Akhirnya, disatu kesempatan, aku mencoba bertanya tentang apa yang membuat dia selalu semangat. Dia menghela nafas sejenak. Berhenti mengetik sesuatu di laptop. Lalu memandangku serius. Seakan bertanya: ngapain kepo? WKWKWK. Tapi matanya indah.
Dia bercerita sedikit tentang kehidupannya sebelum masuk pesantren. Dia bilang, dirinya termasuk anak yang banyak tingkah. Disekolahnya dulu, terkenalnya begitu. Akhirnya entah karena apa, dia ingin masuk pesantren. Tanpa paksaan siapapun. Begitu katanya. Namun hemat saya, karena mas-nya dulu juga mondok, barangkali dia punya keinginan itu sejak lama.
Belum cukup dengan cerita itu, aku mencoba bertanya tentang hal lain. Salah satunya adalah soal cita-cita. “Apa cita-citamu?”. Kali ini dia menatapku dengan tersenyum:
 “Cita-cita, Mas?”. Aku meng-iyakan. Kemudian dia menjawab dengan tegas: “AKPOL”. Kami saling menatap. Sama-sama tersenyum. Dalam batin, aku berdoa semoga yang terbaik.
            Sejak saat itu, aku tak perlu lagi megutarakan alasan kenapa kami akrab. Kadang,  karena kamarku di lantai dua, tepat sebelah gerbang, seringkali aku melihat kebawah waktu jam buka. Kadang, dudapati dia berjalan keluar bersama rekan-rekannya, atau sendiri. Bahkan, sering juga ku tengok kamarnya dari atas sini. Membayangkan kiranya apa yang sedang ia lakukan sekarang.

Dan entah, setiap saat aku ingin selalu bersamanya. Tapi semua itu terbendung berbagai kenyataan dan kemungkinan. Kami punya kesibukan masing-masing. Aku juga sangat tidak tega jika kuajak dia ngobrol malam-malam setelah kegiatan. Pasti lelah. Besok pagi sudah sekolah. Pulangnya hampir jam 3-an. Padat sekali.
            Dan entehlah, aku hanya ingin bercerita saja. Barangkali dengan menuliskan sebagian kisah ini, ada hal baik yang bisa kita ambil. Barangkali. Dan tentunya, dikesempatan lain, aku akan kembali menceritakan bagian kisah lainnya.

Semoga bermanfaat. Terus semangat!



0 komentar:

Posting Komentar