Kamis, 01 Agustus 2019

Surat Untuk Diriku, Hari ini


Malam ini, dan untuk kesekian kalinya, aku ingin bercerita lewat tulisan. Meskipun sebelumnya aku lebih sering merangkum kisahku lewat puisi, malam ini tidak. Aku ingin berbicara banyak, bertele-tele, sampai jariku lelah, fikiranku pasrah. Aku ingin lebih leluasa dengan apa yang kutuliskan. Aku ingin lebih mengalir dengan apa yang sedang terfikirkan.
Dan malam ini, aku merasa kedinginan, lagi. Dingin sekali. Apa-apa yang ada disekitarku, semakin kudekati semakin dingin. Lantai, pintu, meja, kursi, cermin, sisir, pena, buku-buku, bahkan manusia yang sejatinya menawarkan hawa panas malah terasa dingin. Menggigil.
Beberapa hari ini aku sering mondar-mandir. Seakan tidak puas dengan setiap keadaan. Terasa sendiri meski dalam keramaian. Apakah ini yang dinamakan kekosongan? Melakukan apapun terasa tak ada artinya, tidak bisa fokus. Dan aku berusaha menangkis pemahaman bahwa pada akhirnya aku akan merasa pasrah, berserah pada angan-angan hampa.
Baru saja, dari balik pagar besi lantai dua, aku melihat kau keluar. Sebenarnya aku tergerak untuk memanggilmu, tapi aku mengurungkan itu karena kulihat kau tertawa lepas degan teman-temanmu. Kau berjalan mantap mengenakan jaket putih kesukaanmu itu. Untungnya angin menerpaku. Membuat aku bernafas panjang, dan samar-samar kudengar kalimat ‘yang sabar, yang tegar’.
Sepertinya, malam memang selalu punya cara membuat orang rindu. Meski tanpa bintang sekalipun. Bulan, lampu, atau apalah, sepertinya tak bisa mempengaruhi bagaimana orang itu bisa atau tidak bisa rindu.  
Tapi sebentar, ceritaku  belum usai. Tadi, sekitar jam setengah sebelas, aku tergerak mengikuti perhelatan yang ada di ndalem kesepuhan. Sampaiku disana, aku dibuat heran dengan jama’ahnya. Rata-rata rekan santri. Dan aku merasa malu sebenarnya. Selama ini belum bisa rutin mengikuti perhelatan itu seperti mereka.
Dan sepertinya memang benar, bahwa kalau kita berkumpul dengan orang-orang baik, maka secara tidak langsung ‘nur’ kebaikan yang dipancarkan akan nmengenai kita. Dan itu benar kurasakan. Keresahan hati sedikit terkelupas. Kepenatan jiwa lamat-lamat pudar.
Sampai akhir perhelatan itu, aku baru sadar ternyata karibku pernah bilang, kalau dia juga berusaha untuk rutin mengikuti perhelatan itu. Diantara kerumunan orang, aku mencoba mencarinya, barangkali ada. Tapi hampir sepi, dia belum juga kelihatan. Aku berusaha memantapkan lagi kalau dia pasti hadir. Aku yakin dia orang baik. Dan benar saja, tak lama setelah aku duduk dan minum air minerale, aku melihatnya baru bangkit dari dalam musholla.
Dan lagi-lagi aku membiarkanya. Tidak menyapanya. Karena, seperti tadi, dia terawa-canda dengan teman-temannya.
Mungkin akan ada tanya: Kenapa aku bersikap seperti itu? Apa salahnya sekedar menyapa?
Begini,  setiap orang tentu punya prinsip sendiri-sendiri bagaimana dia bersikap pada karibnya. Begitupun aku. Aku berasumsi bahwa kebahagiaan karibku, dngan siapapun, adalah kebahagiaanku juga. Dan kurasa sudah cukup, jika dia terlihat senang dengan temannya. Tanpa akupun, kurasa akan baik-baik saja.
Dan meski begitu, semakin aku berusaha mendiamkan, semakin pula rinduku tertawan. Aku memang tega menawan rindu dalam –dalam. Menjaganya sekuat aku bisa. Sampai pada akhirnya rindu itu bicara: “Keluarkan aku!”maka aku akan mencoba membuatnya keluar. Entah dengan tulisan, angan-angan, pertemuan. Entahlah.
Kurasa cukup untuk malam ini.dan jangan salah, tulisan ini happy ending lho ya 😁




0 komentar:

Posting Komentar