Malam ini, dan untuk
kesekian kalinya, aku ingin bercerita lewat tulisan. Meskipun sebelumnya aku
lebih sering merangkum kisahku lewat puisi, malam ini tidak. Aku ingin
berbicara banyak, bertele-tele, sampai jariku lelah, fikiranku pasrah. Aku
ingin lebih leluasa dengan apa yang kutuliskan. Aku ingin lebih mengalir dengan
apa yang sedang terfikirkan.
Dan malam ini, aku merasa
kedinginan, lagi. Dingin sekali. Apa-apa yang ada disekitarku, semakin kudekati
semakin dingin. Lantai, pintu, meja, kursi, cermin, sisir, pena, buku-buku,
bahkan manusia yang sejatinya menawarkan hawa panas malah terasa dingin.
Menggigil.
Beberapa hari ini aku
sering mondar-mandir. Seakan tidak puas dengan setiap keadaan. Terasa sendiri
meski dalam keramaian. Apakah ini yang dinamakan kekosongan? Melakukan apapun
terasa tak ada artinya, tidak bisa fokus. Dan aku berusaha menangkis pemahaman
bahwa pada akhirnya aku akan merasa pasrah, berserah pada angan-angan hampa.
Baru saja, dari balik
pagar besi lantai dua, aku melihat kau keluar. Sebenarnya aku tergerak untuk
memanggilmu, tapi aku mengurungkan itu karena kulihat kau tertawa lepas degan
teman-temanmu. Kau berjalan mantap mengenakan jaket putih kesukaanmu itu.
Untungnya angin menerpaku. Membuat aku bernafas panjang, dan samar-samar
kudengar kalimat ‘yang sabar, yang tegar’.
Sepertinya, malam memang
selalu punya cara membuat orang rindu. Meski tanpa bintang sekalipun. Bulan,
lampu, atau apalah, sepertinya tak bisa mempengaruhi bagaimana orang itu bisa
atau tidak bisa rindu.
Tapi sebentar,
ceritaku belum usai. Tadi, sekitar jam
setengah sebelas, aku tergerak mengikuti perhelatan yang ada di ndalem
kesepuhan. Sampaiku disana, aku dibuat heran dengan jama’ahnya. Rata-rata
rekan santri. Dan aku merasa malu sebenarnya. Selama ini belum bisa rutin
mengikuti perhelatan itu seperti mereka.
Dan sepertinya memang
benar, bahwa kalau kita berkumpul dengan orang-orang baik, maka secara tidak
langsung ‘nur’ kebaikan yang dipancarkan akan nmengenai kita. Dan itu benar
kurasakan. Keresahan hati sedikit terkelupas. Kepenatan jiwa lamat-lamat pudar.
Sampai akhir perhelatan
itu, aku baru sadar ternyata karibku pernah bilang, kalau dia juga berusaha
untuk rutin mengikuti perhelatan itu. Diantara kerumunan orang, aku mencoba
mencarinya, barangkali ada. Tapi hampir sepi, dia belum juga kelihatan. Aku
berusaha memantapkan lagi kalau dia pasti hadir. Aku yakin dia orang baik. Dan
benar saja, tak lama setelah aku duduk dan minum air minerale, aku melihatnya
baru bangkit dari dalam musholla.
Dan lagi-lagi aku
membiarkanya. Tidak menyapanya. Karena, seperti tadi, dia terawa-canda dengan
teman-temannya.
Mungkin akan ada tanya:
Kenapa aku bersikap seperti itu? Apa salahnya sekedar menyapa?
Begini, setiap orang tentu punya prinsip
sendiri-sendiri bagaimana dia bersikap pada karibnya. Begitupun aku. Aku
berasumsi bahwa kebahagiaan karibku, dngan siapapun, adalah kebahagiaanku juga.
Dan kurasa sudah cukup, jika dia terlihat senang dengan temannya. Tanpa akupun,
kurasa akan baik-baik saja.
Dan meski begitu, semakin
aku berusaha mendiamkan, semakin pula rinduku tertawan. Aku memang tega menawan
rindu dalam –dalam. Menjaganya sekuat aku bisa. Sampai pada akhirnya rindu itu
bicara: “Keluarkan aku!”maka aku akan mencoba membuatnya keluar. Entah dengan
tulisan, angan-angan, pertemuan. Entahlah.
Kurasa cukup untuk malam
ini.dan jangan salah, tulisan ini happy ending lho ya 😁
0 komentar:
Posting Komentar