Jumat, 02 Agustus 2019

Kisah: "Kehebatan Imam Abu Syuja', Sang Pengarang Kitab تقريب "


Imam Abu Syuja’, ulama’ yang masyhur. Pengarang kitab Taqrib yang terkenal itu.
Abu Syuja’ pernah menjadi  budak. Asal muasalnya, Abu Syuja’ punya seorang teman. Beliau dan temannya sama-sama memiliki هِمّة(cita-cita) yang tinggi terhadap ilmu. Tapi sayangnya, keduanya tidak punya biaya untuk belajar. Keduanya bingung. 

“Gimana ini. Pengen ngaji tapi ndak punya sangu (bekal)” Ungkap karib Abu syuja' bimbang.
"Bagaimana kalau kita pergi menuju pasar budak?" Sahut Abu syuja'
“Untuk apa?” tanya karib Abu Syuja’.
“Salah satu dari kita akan dijual untuk bekal mengaji”
“Baiklah”
Merekapun pergi menuju pasar budak. Sampai disana, untuk menentukan siapa yang dijual dan siapa yang pergi menuntut ilmu, Abu syuja’ mengajak temannya ber-suwit (cara mengundi untuk dua orang dengan cara mengadu jari). Ternyata Abu Syuja’ kalah. Berarti beliaulah yang harus dijual sebagai bekal temannya berangkat mengaji. Mengetahui hal itu, temannya langsung bicara:
“Ndak, Kang. Ndak, Kang. Kamu saja yang berangkat mengaji. Biar aku yang dijual menjadi budak”. Desak teman Abu Syuja’.
“Lho. Tidak. Aku saja. Nanti kamu yang berangkat mengaji”
“Jangan, biar aku saja yang menjadi budak”.
Keduanya saling berebut agar dirinya yang dijual sebagai bekal rekannya untuk mengaji.

Perhasabatan sesungguhnya ya seperti ini. Rela berkorban. Padahal sudah jelas jelas Abu Syuja’-lah yang harus dijual. Tapi temannya tidak mau hal itu terjadi. Begitupun sebaliknya. Abu syuja’ juga tidak mau jika temannya menjadi budak.

“Sudahlah. Sesuai kesepakatan, aku yang harus dijual. Dan kamu yang berangkat ngaji”. Pungkas Abu Syuja.

Akhirnya Abu syuja’ dibeli oleh pedagang pasar. Dan temannya berangkat mengaji berbekal hasil penjualan Abu Syuja’.

Selang beberapa waktu, Abu Syuja’ tak kunjung laku. Beliau itu badannya kecil, kurus, kurang gizi, jarang makan. Memang beliau orang melarat. Ditambah lagi beliau masih remaja. Umumnya, budak yang diperjual-belikan itu dewasa, kuat, berbadan sehat. Karena pekerjaan yang akan dilakukannya adalah berat-berat. Tapi tidak lama kemudian, ada seorang tua yang menawar Abu Syuja’.

“Berapa yang ini, Pak?”. Tanya orang tua itu kepada penjual.

“Kalo ini murah saja, Mbah. Balik modal. Dari pagi belum laku soalnya”

Abu Syuja’ pun dibeli oleh orang tua itu. Dan ternyata, yang membeli Abu Syuja’ itu adalah seorang Syaikh, guru, dan menjadi rujukan ummat dalam hal agama. Abu Syuja’ dibelinya bukan untuk disuruh melakukan pekerjaan berat seperti pada umumnya budak. Abu Syuja’ ternyata hanya diberi tugas untuk membersihkan perpustakaan milik Syaikh itu setiap hari.  Nyerbeti, membersihkan kitab-kitab milik syaikh biar tidak berdebu dan ada sarang laba-labanya. Sudah, itu saja. Ringan sekali.

Merupakan suatu anugrah. Lha wong Abu Syuja’, orang yang haus ilmu, malah ditugaskan membersihkan perpustakaan, tentu bukan hanya bersih-bersih. Beliau baca kitab-kitab itu mulai atas sampai bawah. Tiap membersihkan satu buku, sekalian dibaca. Perhalaman dibuka, dibersihkan sama dibaca. Khatam, ditata rapi. Ganti kitab yang lain. Dibersihkan sambil dibaca. Dan itu dilakukannya bertahun-tahun.

            Dan, masya’Allah. Dengan pertolongan Allah.
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
 Apa yang menjadi cita-citanya tercapai sekarang. Ternyata yang membeli Abu Syuja’ adalah Syaikh, mushonnif (pengarang kitab), seorang ulama’. Seringkali, Syaikh itu didatangi oleh jama’ahnya, ditamui masyarakat untuk bertanya seputar problema kehidupan.

Suatu ketika syaikh pergi. Ada orang datang, bermaksud untuk menanyakan suatu masalah. Dan Abu syuja’-lah yang menemui. Abu syuja’ berkata,

“Maaf, begini. Syaikh masih pergi. Kalau boleh, biar saya yang menjawab dulu. Dalam kitabnya syaikh yang pernah saya baca, masalah panjenengan itu jawabannya begini, begini, dan begini. Itu jawaban sementara dari saya. Kalau belum puas dengan jawaban itu, panjenengan bisa datang lagi kemari untuk menemui syaikh ketika beliau sudah datang”.

Dan itu terus terjadi. Setiap kali ada tamu, dan syaikh masih pergi, Abu Syuja’lah lebih dulu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sampai pada suatu ketika, syaikh bertemu dengan masyarakat yang bertanya tadi.

Alhamdulillah, syaikh. Kemarin saya datang ke ndalem panjenengan karena ada masalah yang harus segera dijawab, tapi syaikh tidak ada. Dan alhamdulillah sudah dijawab oleh santri panjenengan” Ungkap orang itu lega.

“Dijawab bagaimana? Pertanyaanmu apa?”

“Pertanyaan saya, begini. Dijawab oleh santri itu, begini, begini”

“Lho, benar”. Syaikh kaget, merasa heran.

Waktu syaikh bertemu dengan orang lain juga beitu. Sama. Syaikh semakin heran, lalu bertanya kepada jama’ahnya, “Santri yang mana, yang memberi jawaban itu? Aku nggak punya santri!”
“Begini syaikh. Anaknya ciri-cicinya begini, begini. Biasanya membersihkan perpustakaan”

“Lho, iku lak Abu Syuja’, budak ku”. Ungkap syaikh kaget.

Kemudian syaikh memanggil Abu Syuja’.

“He, Abu syuja’”

Dalem, Syaikh”

“Ada masyarakat bertanya kok kamu jawabi ngawur” Tegur syaikh kepada Abu syuja’

Nggeh, nyuwun agunge pangapunten, syaikh. Setelah kulo jawab, orangnya saya persilahkan datang lagi untuk sowan kepada syaikh”. Jelas Abu syuja’ menunduk.

“Sebentar. Kalau pertanyaannya begini, jawabannya apa?”

“Begini, syaikh”

“Kalo pertanyaannya begini, jawabannya apa?”

“Begini, syaikh”

“Lho. Benar itu. Kok bisa tau jawaban-jawaban itu bagaimana?”

“Kan saya diberi tugas bersih-bersih perpustakaan, syaikh”

“lha terus?” Tanya syaikh heran

Nggeh sekalian kitabe saya baca”

“Wes mari?” Sahut syaikh

“Sudah, syaikh. Buku di perpustakaan sudah Khatam semua”

Syaikh heran dengan Abu Syuja’. Karena zaman itu, budak identik dengan orang-orang yang bodoh. Tidak ada budak yang sampai mempunyai keinginan besar dalam ilmu. Karena yang diandalkan hanya ototnya saja. ‘ini aneh, kok ada budak seperti ini?’. Syaikh semakin heran. Lalu Abu syuja’ menceritakan kisah bagaimana dia bisa sampai menjadi budak.

Syaikh langsung terharu. “Subhaanallah. Kamu ini cukup untuk menjadi orang yang berfatwa. Dengan ilmu yang kau serap. Aku ijazahkan semua sanad keilmuan yang aku punya. Sudah, kamu aku merdekakan. Silahkan membuka majlis ilmu, kamu sudah pantas untuk itu”

Akhirnya Abu syuja’ bisa mengarang kitab Taqrib. Dan kamu tau bagaimana sejarah pengarangan dari kitab itu?
Abu syuja’ ketika selesai mengarang kitab Taqrib, saking ikhlasnya, beliau malah sama sekali tidak pernah mempromosikan kitabnya. Kitabnya di masukkan kedalam botol, botolnya ditutup lalu dibuang ke laut.
“Kalau memang kitab ini di ridhoi oleh Allah, pasti ditemukan oleh manusia dan akan dikembangkan” Begitu ungkap Abu syuja’ saat membuang botol berisi kitab karangannya itu.

Saking ikhlasnya. Tidak ingin pamer, tidak ingin ilmunya itu لجمع خُتم الدنيا , karena mengumpulkan kemulyaan dan sebutan nama baik. Dan nyatanya sekarang, hampir seluruh ma’had yang bermadzhab Syafi’i di Asia Tenggara menggunakan kitab Taqrib. Malahan, kitab yang digunakan untuk latihan belajar membaca kitab, pasti memakai Taqrib.

Itu berangkatnya, berawal dari وتعاونوا علي البرِّ والتّقوى . Saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Sampai rela menjual dirinya agar temannya bisa ngaji. Dibalas oleh Allah, diberi karunia membersihkan perpustakaan yang berisi banyak kitab.

الجزاء على جنس العمل
Balasan Allah, ya sesuai dengan jenis amalnya. Abu Syuja’ rela dijual agar temannya bisa belajar, dibalas oleh Allah dengan dipertemukannya Abu syuja’ kepada syaikh dan bisa membaca sekian banyak kitab yang ada diperpustakaan.  


*dicatat dari pengajian Romo KH. M. Idris Djamaluddin. Masjid Al-Muhibbin, Kamis, 4 Juli 2019
Klik DISINI untuk mendengarkan. 


0 komentar:

Posting Komentar