Imam Abu Syuja’, ulama’ yang masyhur. Pengarang kitab Taqrib yang terkenal itu.
Abu
Syuja’ pernah menjadi budak. Asal
muasalnya, Abu Syuja’ punya seorang teman. Beliau dan temannya sama-sama memiliki
هِمّة(cita-cita) yang tinggi terhadap ilmu. Tapi
sayangnya, keduanya tidak punya biaya untuk belajar. Keduanya bingung.
“Gimana ini. Pengen ngaji tapi ndak punya sangu (bekal)” Ungkap karib Abu syuja' bimbang.
"Bagaimana kalau kita pergi menuju pasar budak?" Sahut Abu syuja'
“Untuk apa?” tanya karib Abu Syuja’.
“Gimana ini. Pengen ngaji tapi ndak punya sangu (bekal)” Ungkap karib Abu syuja' bimbang.
"Bagaimana kalau kita pergi menuju pasar budak?" Sahut Abu syuja'
“Untuk apa?” tanya karib Abu Syuja’.
“Salah satu
dari kita akan dijual untuk bekal mengaji”
“Baiklah”
Merekapun
pergi menuju pasar budak. Sampai disana, untuk menentukan siapa yang dijual dan
siapa yang pergi menuntut ilmu, Abu syuja’ mengajak temannya ber-suwit (cara mengundi untuk dua orang dengan
cara mengadu jari). Ternyata Abu Syuja’ kalah. Berarti beliaulah yang harus
dijual sebagai bekal temannya berangkat mengaji. Mengetahui hal itu, temannya
langsung bicara:
“Ndak,
Kang. Ndak, Kang. Kamu saja yang berangkat mengaji. Biar aku yang dijual
menjadi budak”. Desak teman Abu Syuja’.
“Lho.
Tidak. Aku saja. Nanti kamu yang berangkat mengaji”
“Jangan,
biar aku saja yang menjadi budak”.
Keduanya saling
berebut agar dirinya yang dijual sebagai bekal rekannya untuk mengaji.
Perhasabatan
sesungguhnya ya seperti ini. Rela berkorban. Padahal sudah jelas jelas Abu
Syuja’-lah yang harus dijual. Tapi temannya tidak mau hal itu terjadi. Begitupun
sebaliknya. Abu syuja’ juga tidak mau jika temannya menjadi budak.
“Sudahlah.
Sesuai kesepakatan, aku yang harus dijual. Dan kamu yang berangkat ngaji”.
Pungkas Abu Syuja.
Akhirnya Abu syuja’ dibeli oleh pedagang pasar. Dan temannya
berangkat mengaji berbekal hasil penjualan Abu Syuja’.
Selang beberapa waktu, Abu Syuja’ tak kunjung laku. Beliau itu badannya
kecil, kurus, kurang gizi, jarang makan. Memang beliau orang melarat. Ditambah lagi
beliau masih remaja. Umumnya, budak yang diperjual-belikan itu dewasa, kuat,
berbadan sehat. Karena pekerjaan yang akan dilakukannya adalah berat-berat.
Tapi tidak lama kemudian, ada seorang tua yang menawar Abu Syuja’.
“Berapa yang ini, Pak?”. Tanya orang tua itu kepada penjual.
“Kalo ini murah saja, Mbah. Balik modal. Dari pagi belum laku soalnya”
Abu Syuja’ pun dibeli oleh orang tua itu. Dan ternyata, yang
membeli Abu Syuja’ itu adalah seorang Syaikh, guru, dan menjadi rujukan
ummat dalam hal agama. Abu Syuja’ dibelinya bukan untuk disuruh
melakukan pekerjaan berat seperti pada umumnya budak. Abu Syuja’ ternyata hanya
diberi tugas untuk membersihkan perpustakaan milik Syaikh itu setiap
hari. Nyerbeti, membersihkan
kitab-kitab milik syaikh biar tidak berdebu dan ada sarang laba-labanya.
Sudah, itu saja. Ringan sekali.
Merupakan suatu anugrah. Lha wong Abu Syuja’, orang yang
haus ilmu, malah ditugaskan membersihkan perpustakaan, tentu bukan hanya
bersih-bersih. Beliau baca
kitab-kitab itu mulai atas sampai bawah. Tiap membersihkan satu buku, sekalian
dibaca. Perhalaman dibuka, dibersihkan sama dibaca. Khatam, ditata rapi.
Ganti kitab yang lain. Dibersihkan sambil dibaca. Dan itu dilakukannya
bertahun-tahun.
Dan, masya’Allah. Dengan pertolongan
Allah.
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
Apa yang menjadi cita-citanya tercapai
sekarang. Ternyata yang membeli Abu Syuja’ adalah Syaikh, mushonnif
(pengarang kitab), seorang ulama’. Seringkali, Syaikh itu didatangi oleh jama’ahnya,
ditamui masyarakat untuk bertanya seputar problema kehidupan.
Suatu
ketika syaikh pergi. Ada orang datang, bermaksud untuk menanyakan suatu
masalah. Dan Abu syuja’-lah yang menemui. Abu syuja’ berkata,
“Maaf,
begini. Syaikh masih pergi. Kalau boleh, biar saya yang menjawab dulu. Dalam
kitabnya syaikh yang pernah saya baca, masalah panjenengan itu
jawabannya begini, begini, dan begini. Itu jawaban sementara dari saya. Kalau belum
puas dengan jawaban itu, panjenengan bisa datang lagi kemari untuk
menemui syaikh ketika beliau sudah datang”.
Dan itu
terus terjadi. Setiap kali ada tamu, dan syaikh masih pergi, Abu Syuja’lah
lebih dulu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sampai pada suatu ketika, syaikh
bertemu dengan masyarakat yang bertanya tadi.
“Alhamdulillah, syaikh. Kemarin saya datang ke ndalem panjenengan karena ada masalah yang harus segera dijawab, tapi syaikh tidak ada. Dan alhamdulillah sudah dijawab oleh santri panjenengan” Ungkap orang itu lega.
“Dijawab
bagaimana? Pertanyaanmu apa?”
“Pertanyaan
saya, begini. Dijawab oleh santri itu, begini, begini”
“Lho,
benar”. Syaikh kaget, merasa heran.
Waktu
syaikh bertemu dengan orang lain juga beitu. Sama. Syaikh semakin heran, lalu
bertanya kepada jama’ahnya, “Santri yang mana, yang memberi jawaban itu? Aku nggak
punya santri!”
“Begini syaikh. Anaknya ciri-cicinya begini, begini. Biasanya membersihkan perpustakaan”
“Begini syaikh. Anaknya ciri-cicinya begini, begini. Biasanya membersihkan perpustakaan”
“Lho,
iku lak Abu Syuja’, budak ku”. Ungkap syaikh kaget.
Kemudian
syaikh memanggil Abu Syuja’.
“He,
Abu syuja’”
“Dalem,
Syaikh”
“Ada
masyarakat bertanya kok kamu jawabi ngawur” Tegur syaikh kepada Abu syuja’
“Nggeh,
nyuwun agunge pangapunten, syaikh. Setelah kulo jawab, orangnya saya
persilahkan datang lagi untuk sowan kepada syaikh”. Jelas Abu syuja’
menunduk.
“Sebentar.
Kalau pertanyaannya begini, jawabannya apa?”
“Begini,
syaikh”
“Kalo
pertanyaannya begini, jawabannya apa?”
“Begini,
syaikh”
“Lho.
Benar itu. Kok bisa tau jawaban-jawaban itu bagaimana?”
“Kan
saya diberi tugas bersih-bersih perpustakaan, syaikh”
“lha
terus?” Tanya syaikh heran
“Nggeh
sekalian kitabe saya baca”
“Wes
mari?” Sahut syaikh
“Sudah,
syaikh. Buku di perpustakaan sudah Khatam semua”
Syaikh
heran dengan Abu Syuja’. Karena zaman itu, budak identik dengan orang-orang
yang bodoh. Tidak ada budak yang sampai mempunyai keinginan besar dalam ilmu. Karena
yang diandalkan hanya ototnya saja. ‘ini aneh, kok ada budak seperti ini?’.
Syaikh semakin heran. Lalu Abu syuja’ menceritakan kisah bagaimana dia bisa
sampai menjadi budak.
Syaikh
langsung terharu. “Subhaanallah. Kamu ini cukup untuk menjadi orang
yang berfatwa. Dengan ilmu yang kau serap. Aku ijazahkan semua sanad keilmuan yang aku punya. Sudah, kamu aku merdekakan. Silahkan membuka majlis ilmu, kamu sudah pantas untuk itu”
Akhirnya
Abu syuja’ bisa mengarang kitab Taqrib. Dan kamu tau bagaimana sejarah
pengarangan dari kitab itu?
Abu syuja’
ketika selesai mengarang kitab Taqrib, saking ikhlasnya, beliau malah
sama sekali tidak pernah mempromosikan kitabnya. Kitabnya di masukkan
kedalam botol, botolnya ditutup lalu dibuang ke laut.
“Kalau memang kitab ini di ridhoi oleh Allah, pasti ditemukan oleh manusia dan akan dikembangkan” Begitu ungkap Abu syuja’ saat membuang botol berisi kitab karangannya itu.
Saking
ikhlasnya. Tidak ingin pamer, tidak ingin ilmunya itu لجمع خُتم الدنيا , karena
mengumpulkan kemulyaan dan sebutan nama baik. Dan nyatanya sekarang, hampir
seluruh ma’had yang bermadzhab Syafi’i di Asia Tenggara menggunakan
kitab Taqrib. Malahan, kitab yang digunakan untuk latihan belajar membaca kitab, pasti memakai Taqrib.
Itu berangkatnya, berawal dari وتعاونوا علي البرِّ والتّقوى
. Saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Sampai rela menjual dirinya agar
temannya bisa ngaji. Dibalas oleh Allah, diberi karunia membersihkan perpustakaan
yang berisi banyak kitab.
الجزاء على جنس العمل
Balasan Allah, ya sesuai dengan jenis
amalnya. Abu Syuja’ rela dijual agar temannya bisa belajar, dibalas oleh Allah
dengan dipertemukannya Abu syuja’ kepada syaikh dan bisa membaca sekian banyak kitab yang ada diperpustakaan.
*dicatat dari pengajian Romo KH. M. Idris Djamaluddin. Masjid Al-Muhibbin, Kamis, 4 Juli 2019
Klik DISINI untuk mendengarkan.
0 komentar:
Posting Komentar