Lagi-lagi, malam ini, aku
ingin berbicara tentang rindu. Sebenarnya,ingin kurenggut semua yang berporos
pada rindu, tapi tak bisa. Seakan rindu adalah sukma dalam ragaku, darah yang mengalir
dalam tubuhku. Akhirya ku biarkan saja, semaunya.
Tapi kadang, entah
sengaja ayau tidak, rindu mengelupas semangat yang telah kubangun
bertahun-tahun. Begitu saja. Meski sudah kuberikan dia segalanya, rindu kadang
tetaplah sebuah perasaan yang mirip manusia kelaparan. Apa saja dimakan.
Pada situasi seperti ini,
aku bicara pada diriku sendiri tentang bagaimana cara meneguhkan kembali
benteng itu. Apa yang kurang selama ini. Haus bagaimana lagi agar jiwa tak
mudah goyah. Dan kami kerap kali bertengkar tentang setuju-tidaknya kalau rindu
dimusnahkan. Aku bilang tak perlu lagi ada rindu, karena banyak sekali korban
olehnya. Tapi nuraniku berkata rindulah yang bisa mempertemukan kita dengan
segala sesuatu, termasuk Tuhan.
Aku mengaku kalah. Dalam hal
ini, rindu boleh bersejahtera mengemas kesilauanku pada cinta. Tapi jangan
sampai dia seenaknya menggibas kesempatanku mempertahankan cita. Dan untuk yang
kesekiankalinya, aku percaya pada nurani.
Aku sempat berfikir kapan
kiranya rindu ini membuatku terbiasa. Karena bagaimanapun, sehebat apa
seseorang, kalau rindu datang dengan ulahnya pasti kerepotan. Kalah dengan
sendirinya. Lemah.
Dan untuk yang kesekian
kalinya, aku berkata banyak soal rindu. Aku punya mimpi kalau suatu saat akan
meneliti kerinduan. Meng-kaji rindu dari segala sisi keilmuan. Dan kurasa, aku
pasti bisa. Rindu selalu terasa istimewa meski pernah menyanjungku dengan luka.
Dan malam ini, ada banyak
kerinduan yang ingin kusemai. Banyak sekali. Dirimu, kau, sampean, dikau, kamu,
engkau, koe, dan banyak lagi.
Entah siapapun dirimu,
aku merindukanmu.
0 komentar:
Posting Komentar