Jombang, 16 Oktober 2020 (23.43 WIB)
Selepas
takror, seperti yang pernah terjadi, Hengky bilang kepadaku kalau Kamil akan
menemuiku. Aku mengiyakan dan kutunggu sambil bincang-bincang sama rekan-rekan
soal banyak hal. Angin malam ini membekukan luka-luka lama dan menimbulkan luka
baru yang lebih parau. Dan barangkai, ini adalah isyarat tentang entah apa yang
bahkan aku sendiri belum bisa menerka dan menyadarinya.
“Ada
apa, Mil?”
“Hikam Nyating ta mboten?”
“Ndak ada kaya’e. Tapi mbuh maneh se.
Soal jarang mbukak hp hari-hari iki. Ada tugas ta?”
“Nggeh. Mat Pem”
“Oala, ya ayo, kesana”
Segera
kami menuju balkon paling nyaman dekat bilikku. Dan sekali lagi, angin sungguh
dingin. Menerjang omong dan harapan kosong yang selama ini mengambang dan
mengambing hitamkan keadaan. Singkatnya, Kamil mengerjakan tugas. Dan karena,
sekali lagi, anginnya dingin maka kuambilkan sejadah yang kemudian dibuatnya
alas dan berbaringlah dia. Dan Kamil, lanjut mengerjakan tugas sambil cerita
macam-macam. Oia, ada satu nama yang barangkali punya banyak andil dalam
hari-harinya selama di pesantren: Mas Luthfi. Begitu Kamil memanggilnya. Entah iya
atau tidak, yang jelas aku bisa manangkap itu. apa yang dari hati, pasti sampai
pada hati melalui hati. Entahlah. Dan obrolan kami terhela sebab Kamil
batuk-batuk kecil.
Kutanya
sejak kapan batu-batuk dan katanya baru tadi buyar kegiatan sebab belum minum
air putih sama sekali karena jatah galon kamarnya diangkut ke kamar atas semua.
Kakinya juga lecet sebab lomba voli dan futsal kemarin. Jari tangan kiri
kesleo. Lalu aku masuk untuk kemudian minum sekalian mengambil minum buat
Kamil.
Dan
angin, untuk yang kesekian kalinya aku katakan, begitu dingin. Menusuk
kepenatan dan kenyamanan. Meremukan kesadaran dan kealpaan. Maka, satu-satunya
yang kupeluk adalah tubuh cerita yang keluar dari mulutnya, juga dari hatinya
barangkali. Maka, selepas mengerjakan tugas, cerita kami semain menjadi.
Kesana-kemari, mencari sesuatu atau mempertahankan argumen tentang sesuatu.
Kamil
bilang kalau belakangan ini banyak ngeluh. Tidak masalah, pikirku. Sebab,
keluhan yang diceritakan dan dipahami adalah bibit semangat dan keberhasilan.
Yang kalau dipupuk, disiram, akan tumbuh segar. Yang kalau dipahami matang-matang,
dibicarakan, akan bisa membawa semangat besar dan ketabahan.
Juga
soal kuliah. Yang dulu begitu uwuw untuk masuk birokrasi, sekarang banting
setang sebab keadaan. Kamil bilang planning saat ini sementara adalah masuk
pertanian. Dan bingung. Tentu aku mendukung apapun yang menjadi keputusannya.
Dan aku bilang tentang apa yang pernah didawuhkan sang Guru bahwa bingung itu
tandanya kita berfikir, dan itu bagus. Maka, arah pembicaraan kami selalu ku
pantik agar ia bisa konsisten untuk mempertimbangkan matang-matang apa yang
akan menjadi masa depannya.
“Kulo
niki pripun nggeh. Sanjange: lakukan apa yang ada di depanmu. Dan kulo pun
melakukan niku, terus pripun? Nopo salah ketika kulo mikir tentang masa depan,
mempersiapkan apa yang akan kulo jalani nanti?”
Aku
tersenyum meski sebenarnya hati dan otakku berfikir keras tentang jawaban apa
yang tepat. Dan senyum, barangkali mampu menetralkan keaadaan, mendamaikan.
“Mangkane, redaksinya kan: Lakonono
disek opo seng ono ndek ngarepmu. Sampean diniyyah kan? Takror kan? Kegiatan
wajib lain sampean ikuti kan? Maka ya sudah. Selagi apa yang jadi kewajiban
kita sudah berusaha kita penuhi, maka sah sah saja ketika kita planningin
masa depan. Malah itu bagus”
Aku menghela nafas sambil berharap
Allah merestui ucapan itu.
Dan
banyak hal-hal kecil yang sejatinya telah tumbuh besar dalam ingatan. Beranak
pinak dan sebagian telah mati menjadi kenangan. Segala kekhawatiran, dukungan,
doa, dan segala entah yang kembang –kempis melampaui igauan dan realita. Kamil
bahkan kelepasan bilang bahwa dia barusan sakit. Sontak raut mukaku berubah
kecut. Dan terusterang saja aku berusaha mempertahankan senyum dan muka senangku,
tapi gagal. Kamil terus bercerita soal nggak enak makan dan lain sebagainnya.
Dan aku merasa gagal sebagai yang selalu ada. Aku merasa bodoh sebagai yang
selalu menggamang-gamangkan akan selalu mempertahankan kebahagiaannya. “Kenapa
ndak bilang?” Dan kurasa, pertanyaan itu ndak perlu kuucapkan sebab
jawabanya sudah bisa ditebak semua orang meskipun pada akhirnya pertanyaan itu
memang telah ku ucapkan.
Pada
puncak keresahan dan gebu do’a, angin seperti berpihak padaku kali ini. Aku
menghela nafas, dalam sekali, dan mulutku tiba-tiba bilang: SABAR. Ingin
rasanya aku bilang bahwa niatkan semua ini sebagai tirakat, bahwa segala yang
terjadi disini adalah cobaan dan bentuk ujian sampai mana kita bisa bertahan.
Tapi urung kulakukan sebab terlalu bertele-tele.
Angin, sekali lagi memang
berpihak padaku kali ini. Sepoinya menciptakan suasana bahwa sabar-lah
solusi paling tepat untuk sementara waktu ini. Untuk memperlambat pikiran
macam-macam.
“Rencana aku mau pulang desember,
Mas”
Aduh! Kenapa waktu kian sempit.
Kenapa bulan dan bintang kini berjatuhan menimpa bola mataku dan angin malam
kembali membekukan? Dadaku sesak tiba-tiba. Pikiranku kini kemana-mana. Bukankah
dulu kau bilang bahwa akan pulang Maret tahun depan? Kenapa malah maju? Aduh!
Tapi sekali lagi, aku akan berusaha
lega sebab kalimat yang belakangan membuat liar pikiranku tenang; memang
sudah waktunya.
Dan demi malam yang
paling setia, aku akan menunaikan puisiku atas dirimu. Akan ku selesaikan
rinduku sendiri, akan ku tunaikan resahku sendiri, akan ku buyarkan lamunanku
sendiri, akan ku kobarkan semangatku sendiri; semata untuk kebahagiaanmu.
Dirimu akan lama disini,
akan tetap ada sebagai sumber kalimat yang tak pernah tamat.
Kamil,