Writing about you, is an effort to hold back homesickness

Jumat, 04 Desember 2020

Novemberia

 Semakin dekat saja waktu pelepasan kita. Desember kau bakal pulang, katamu, akan kau bicarakan bagaimana kelanjutan pendidikanmu bersama orangtua dan keluarga. Semoga hal baik selalu menyertaimu.

Dan perkiraanmu, bulan april kau bakal lengang. Ya, tidak apa lah. Namanya juga laku masa. Segala yang ada di dunia tidak kekal, pasti selesai dan berganti lainnya.

Kau semakin membuatku semangat merampungkan tugas akhir kuliah. Semoga sesuai target dan dapat hasil yang terbaik. Kelak, namamu akan ku bubuhkan pada setiap karyaku sebagai satu diantara yang paling mengispirasiku.

Malam ini kau datang dengan sumringah. Aku ingat betul bagaimana senyummu sama seperti ingatku pada parfummu yang pertamakali kuambu. Ingat betul. Hehe. Dan malam ini kau banyak bercerita tentang segala sesuatu. Hari-harimu di kamar, takror yang seru itu, usaha melepas malas, keluarga, dan banyak hal. Aku selalu suka mendengar itu darimu.

Mendengarmu, aku jadi ingat ayah soal bagaimana sikap beliau menghadapi masyarakat yang serba serbi itu. Hwehehe

Baiklah, barangkali aku masih dalam tahap berdamai dengan segala kemungkinan yang akan terjadi antara kita nanti. Dan aku tak bisa menulis banyak hal dengan rapi sebab setiap huruf dan spasi adalah tarik-hembus nafasku saat ini.

 

November 2020


Aaaaa Uouo

 Sekalipun sudah tidak ada lagi huruf-huruf  yang perlu kita hafal,

Tidak ada lagi,

Frasa yang butuh kita cecar.

 

Hidup selalu meminjami kita peristiwa-peristiwa

Memaksa, merampas,

selera,

serela

Dan ketergantungan-ketergantungan yang bengis itu, kerap memakan niatan baik

Menekuk-manjakan kesenangan

Membasahkan suara

Mengkuyupkan realita

 

 

 


Sumber Kalimat Yang Tak Akan Pernah Tamat

Jombang, 16 Oktober 2020 (23.43 WIB)

 


            Selepas takror, seperti yang pernah terjadi, Hengky bilang kepadaku kalau Kamil akan menemuiku. Aku mengiyakan dan kutunggu sambil bincang-bincang sama rekan-rekan soal banyak hal. Angin malam ini membekukan luka-luka lama dan menimbulkan luka baru yang lebih parau. Dan barangkai, ini adalah isyarat tentang entah apa yang bahkan aku sendiri belum bisa menerka dan menyadarinya.

            “Ada apa, Mil?”

“Hikam Nyating ta mboten?”

“Ndak ada kaya’e. Tapi mbuh maneh se. Soal jarang mbukak hp hari-hari iki. Ada tugas ta?”

“Nggeh. Mat Pem”

“Oala, ya ayo, kesana”

            Segera kami menuju balkon paling nyaman dekat bilikku. Dan sekali lagi, angin sungguh dingin. Menerjang omong dan harapan kosong yang selama ini mengambang dan mengambing hitamkan keadaan. Singkatnya, Kamil mengerjakan tugas. Dan karena, sekali lagi, anginnya dingin maka kuambilkan sejadah yang kemudian dibuatnya alas dan berbaringlah dia. Dan Kamil, lanjut mengerjakan tugas sambil cerita macam-macam. Oia, ada satu nama yang barangkali punya banyak andil dalam hari-harinya selama di pesantren: Mas Luthfi. Begitu Kamil memanggilnya. Entah iya atau tidak, yang jelas aku bisa manangkap itu. apa yang dari hati, pasti sampai pada hati melalui hati. Entahlah. Dan obrolan kami terhela sebab Kamil batuk-batuk kecil.

            Kutanya sejak kapan batu-batuk dan katanya baru tadi buyar kegiatan sebab belum minum air putih sama sekali karena jatah galon kamarnya diangkut ke kamar atas semua. Kakinya juga lecet sebab lomba voli dan futsal kemarin. Jari tangan kiri kesleo. Lalu aku masuk untuk kemudian minum sekalian mengambil minum buat Kamil.

            Dan angin, untuk yang kesekian kalinya aku katakan, begitu dingin. Menusuk kepenatan dan kenyamanan. Meremukan kesadaran dan kealpaan. Maka, satu-satunya yang kupeluk adalah tubuh cerita yang keluar dari mulutnya, juga dari hatinya barangkali. Maka, selepas mengerjakan tugas, cerita kami semain menjadi. Kesana-kemari, mencari sesuatu atau mempertahankan argumen tentang sesuatu.

            Kamil bilang kalau belakangan ini banyak ngeluh. Tidak masalah, pikirku. Sebab, keluhan yang diceritakan dan dipahami adalah bibit semangat dan keberhasilan. Yang kalau dipupuk, disiram, akan tumbuh segar. Yang kalau dipahami matang-matang, dibicarakan, akan bisa membawa semangat besar dan ketabahan.

            Juga soal kuliah. Yang dulu begitu uwuw untuk masuk birokrasi, sekarang banting setang sebab keadaan. Kamil bilang planning saat ini sementara adalah masuk pertanian. Dan bingung. Tentu aku mendukung apapun yang menjadi keputusannya. Dan aku bilang tentang apa yang pernah didawuhkan sang Guru bahwa bingung itu tandanya kita berfikir, dan itu bagus. Maka, arah pembicaraan kami selalu ku pantik agar ia bisa konsisten untuk mempertimbangkan matang-matang apa yang akan menjadi masa depannya.

            “Kulo niki pripun nggeh. Sanjange: lakukan apa yang ada di depanmu. Dan kulo pun melakukan niku, terus pripun? Nopo salah ketika kulo mikir tentang masa depan, mempersiapkan apa yang akan kulo jalani nanti?”

            Aku tersenyum meski sebenarnya hati dan otakku berfikir keras tentang jawaban apa yang tepat. Dan senyum, barangkali mampu menetralkan keaadaan, mendamaikan.

“Mangkane, redaksinya kan: Lakonono disek opo seng ono ndek ngarepmu. Sampean diniyyah kan? Takror kan? Kegiatan wajib lain sampean ikuti kan? Maka ya sudah. Selagi apa yang jadi kewajiban kita sudah berusaha kita penuhi, maka sah sah saja ketika kita planningin masa depan. Malah itu bagus”

Aku menghela nafas sambil berharap Allah merestui ucapan itu.

            Dan banyak hal-hal kecil yang sejatinya telah tumbuh besar dalam ingatan. Beranak pinak dan sebagian telah mati menjadi kenangan. Segala kekhawatiran, dukungan, doa, dan segala entah yang kembang –kempis melampaui igauan dan realita. Kamil bahkan kelepasan bilang bahwa dia barusan sakit. Sontak raut mukaku berubah kecut. Dan terusterang saja aku berusaha mempertahankan senyum dan muka senangku, tapi gagal. Kamil terus bercerita soal nggak enak makan dan lain sebagainnya. Dan aku merasa gagal sebagai yang selalu ada. Aku merasa bodoh sebagai yang selalu menggamang-gamangkan akan selalu mempertahankan kebahagiaannya. “Kenapa ndak bilang?” Dan kurasa, pertanyaan itu ndak perlu kuucapkan sebab jawabanya sudah bisa ditebak semua orang meskipun pada akhirnya pertanyaan itu memang telah ku ucapkan.

            Pada puncak keresahan dan gebu do’a, angin seperti berpihak padaku kali ini. Aku menghela nafas, dalam sekali, dan mulutku tiba-tiba bilang: SABAR. Ingin rasanya aku bilang bahwa niatkan semua ini sebagai tirakat, bahwa segala yang terjadi disini adalah cobaan dan bentuk ujian sampai mana kita bisa bertahan. Tapi urung kulakukan sebab terlalu bertele-tele.

Angin, sekali lagi memang berpihak padaku kali ini. Sepoinya menciptakan suasana bahwa sabar-lah solusi paling tepat untuk sementara waktu ini. Untuk memperlambat pikiran macam-macam.

“Rencana aku mau pulang desember, Mas”

Aduh! Kenapa waktu kian sempit. Kenapa bulan dan bintang kini berjatuhan menimpa bola mataku dan angin malam kembali membekukan? Dadaku sesak tiba-tiba. Pikiranku kini kemana-mana. Bukankah dulu kau bilang bahwa akan pulang Maret tahun depan? Kenapa malah maju? Aduh!

Tapi sekali lagi, aku akan berusaha lega sebab kalimat yang belakangan membuat liar pikiranku tenang; memang sudah waktunya.

Dan demi malam yang paling setia, aku akan menunaikan puisiku atas dirimu. Akan ku selesaikan rinduku sendiri, akan ku tunaikan resahku sendiri, akan ku buyarkan lamunanku sendiri, akan ku kobarkan semangatku sendiri; semata untuk kebahagiaanmu.

Dirimu akan lama disini, akan tetap ada sebagai sumber kalimat yang tak pernah tamat.

Kamil, 


Seperti Halnya Kamu

 Puncak kesadaran manusia adalah ketika ia berkomunikasi dengan Tuhannya. Mengadukan segala hal, memohon pertolongan, perlindungan, bahkan keberkahan. Kadang kita memang egois. Memikirkan segalanya sendirian. Lupa bahwa lelaku kita aa yang selalu memperhatikan. Barangkali inilah manfaat jatuh-bangun. Dimana kita akan ingat Tuhan disitulah puncak kesadaran.

            Intinnya disini, seperti yang telah terjadi dan sering kali memang begitu. Barangkali yang paling menbedakan manusia kuat dengan lemah adalah hatinya. Seperti dua orang yang sama-sama merasakan badannya sakit, tapi yang satu diam saja tidak menceritakan kepada siapapun dan tetap melakukan aktifitas pun kewajibannya, yang satu malah klimbruk dan sedikit sedikit mengaduh, bagaimana bisa betah dengan sambatan? Setiap kita pasti punya masalahnya sendiri-sendiri. Ada yang kuat menampung masalah lain, ada yang belum. Ada yang satu waktu mampu menampung masalah lain, dan satu waktu sudah penuh. Maka, tidak ada tempat paling sakral untuk mengadukan masalah-masalah selain malam. Tuhan selalu membukakan pintu-Nya setiap malam. Menampung doa’doa dan pengharapan.

            Berjalan melewati jalan panjang dan gelap. Tidak ada pintu-pintu terbuka            . Lampu teras pun hanya beberapa yang menyala. Kau bisa bayangkan sendiri bagaimana cekamnya?. Lalu seperhela nafas, entah berapa langkah lagi, di bawah lampu nyala milik sebuah rumah mungil, ada selembar kertas tergeletak sembarangan di atas tanah. Meski antara iya atu tidak, tapi aku yakinkan bahwa itu memang kertas.

Betapa setelah bertahun-tahun aku rindu bacaan, Tuhan barangkali telah menyelipkan keberuntunganku pada rumah itu. Rumah yang –barangkali- didalamnya terdapat banyak buku sampai sesak dan pemiliknya melupakan selembar kertas yang bahkan orang lain perlu puluhan tahun bisa mendapatkannya.

            Aku mendekati kertas itu, ku ambli lalu kubaca. Begini isinya:

“Dan malam  ini, aku benar-benar merindukanmu. Aku mengkawatirkanmu sejak Tuhan meletakkan perasaan bahwa kau adalah aku yang lain. Aku mengkhawatirkan apakah malam ini kau tidur pakai alas? Apa kau tidur pulan? Apa kau baik-baik saja? Aku bahkan sempat bertanya mengapa seperti ini? Apakah pantas? Maka, segala pertanyaan itu selalu ku jawab dengan lantang bahwa apa ayang aku bisa maka akan ku lakukan. Tuhan selalu merestui perbuatan baik, bukan?

            Dan waktu yang kau remas sedemikian rupa telah merenggang belakangan ini. Sebab, saban waktu aku selalu mencari bahan sekiranya apa yang kudu ku persiapkan untuk merelakanmu. Dan bahkan aku sempat bertanya apaurusannya aku dengan dirimu? Atau barangkali kau juga bertanya-tanya seperti itu: siapa aku bagimu. Dan lagi-lagi aku selalu melantangkan jawaban yang sama bahwa selagi aku bisa maka akan ku lakukan. Dan merelakanmu adalah hal baru dan memang pasti terjadi. Maka wajar jika aku perlu mempersiapkannya.

Entahlah. Jika tulisan mengenai dirimu akan menjadi pengekal kita. Hingga esok nanti, saat kita sama-sama sibuk dan repot sendiri, dirimu akan hadir sebagai dongeng anak-anak. Atau tokoh utama dalam kisah panjang suatu masa. Atau kau akan kerap menodongkan senyum saat kesedihaku. Atau sebaliknya.

Entah jika suatu masa, saat kita sama-sama tua dan dipertemukan kata dengan tangis yang sama dengan ocehan yang sama dengan genangan yang sama dengan detak yang sama dengan aroma yang sama dengan ingatan yang sama bahwa kata dan kita tak pernah putus asa.

Barangkali,”


Hal Yang Selalu Terulang Berjuta Tahun Lamanya

                 Hidup tidak selalu seperti apa yang kita inginkan. Tidak serta merta apa yang kita harapkan akan kesampaian. Toh, terkadang sesuatu yang luarbiasa bisa terjadi tanpa kita harapkan sebelumnya.

Sudah sekuat tenaga kita membantu kebahagiaan orang, tapi untuk diri kita sendiri malah sebaliknya. Nyatanya memang tidak semua kebaikan akan dibalas kebaikan. Tidak semua kebahagiaan akan dibalas kebahagiaan. Bukankah lebih baik kita berusaha membahagiakan diri sendiri dulu, baru orang lain? Apa iya?

                Kehidupan ini memang penuh dengan misteri. Dan, kita dipersilahkan untuk memilih dan nyenyak dalam segala hal yang berbau kebaikan. Bagaimana jika puncak kebahagiaan kita tumbuh justru ketika kita melihat orang lain bahagia?

                Barangkali, seni menikmati hidup adalah jalan tengahnya. Kita lakukan apa yang ada  didepan mata. Kita lalui segala macam problema. Dan tunggu, betapa pemahaman kita atas segala sesuatu adalah yang paling berharga.

“Setiap kali kita mengeluh, kita akan kehilangan waktu untuk menikmati hidup”


Risalah Kenang

 Ini adalah malam kesekian setelah dua bulan lalu kita sama-sama mengaku kesepian

Sepasang mata kita seringkali tidak benar-benar mengatup meskipun kita sama-sama pamit akan tidur

Sementara tidur kita adalah petualangan menyusuri hutan belantara; kita kenali tetumbuhan baru dan cara melumpuhkan nafsu.

Pernah kita lewati satu-dua malam yang penuh rasa sepi sebab peristiwa lalu yang menggenang dalam ingatan. Dan kita kembali saling kenal sebab pengakuan bahwa kita adalah satu yang seharusnya lekas menyatu.

Kalaupun gerimis tak kunjung menyembunyikan tangis, atau sedikit saja mengelus masing-masing pelipis, biar perputaran peristiwa yang akan menebak: siapa diantara kita yang masih menyelam belantara kenang.

 

Dan kau tahu, Kasih

Ini adalah malam kesekian setelah dua bulan lalu kita sama-sama merasa kesepian.

 

RISALAH  KENANG

 

 

 

 

 

 


PUISI: Kita Berada Diantara Hujan Sore

 Kita berada diantara hujan so re

Mengikat makna-makna,

Memberi bekas pada semesta yang barusan kita dengar.

 

Sebelum kemudian aku memutuskan untuk ikut,

Kau (lagi-lagi dirimu)

yang selalu bisa membuat renyuk tulangku kembali utuh.

Dan hujan sore ini menyanyikan nada rindu.

Membalut lutut kita dengan air mata.

 

Apakah segala rapal doa hanya akan menjadi kosong?

 

Untuk pertama kalianya, aku berani melirik permu kaan wajahmu yang lembab

Bersamaan dengan itu, kantung mataku sembab.

Sebab kau telah rampung membuatku mengapung di samudra kenyamanan.

Tapi  kelekatanmu pada seseorang mambuatku tenggelam.

 

Bersama hujan sore ini, darimu, dan dari segala sesuatu yang belum aku mengerti,

aku telah mengakui bahwa, hal pertama yang harus dihilangkan adalah egoisme.

 

Bukankah harapan kebahagiaanmu telah menjadi ritus?

 

Jombang, 17 Maret 2020


 

We are in the middle of the afternoon rain

Binding the meanings,

Giving marks on the universe we just heard.

 

Before then I decided to join,

You (again yourself)

which can always make my bones crunchy again intact.

And the rain this afternoon sang longing tones.

Wrap everything with tears.

Are all prayer cards only going to be empty?

 

For the first time, I dared to look at the surface of your moist face

At the same time my eye bags are swollen.

Because you have finished making me float in an ocean of comfort.

And your attachment to someone makes me sink.

 

With the rain this afternoon, from you, and from everything that I don't yet understand,

I admit that, the first thing to be eliminated is selfishness.

 

Isn't your hope of happiness a rite?


Yang Sebenarnya Ingin Ku Lempar Padamu Saat Hari Ulang Tahunmu

                 Bahkan, aku belum bisa menaksir berapa harga sebuah keakraban. Kau tahu itu. Sejak dapat kabar kau tidak enak badan, aku selalu menyempatkan diri melihat keadaanmu, dengan alasan apapun. Seperti saat aku datang menemuimu, bertanya: dimana letak file laporan keuangan. Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.

                Hari-hari itu, aku juga jarang melihatmu saat pengajian di masjid. Tempat yang biasanya kau tempati kosong. Aku mulai curiga dengan kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali tidak akan pernah ku inginkan. Benar saja, aku dapat kabar kau sakit.

                Selepas maghrib, aku ke kamarmu. Disana ada Pak Amin dan Bagus. Aku bertanya soal dirimu. Katanya kau sudah di ruang isolasi. Segera aku pergi ke ruang itu, melihatmu tidur memakai jaket putih. Aku sedikit lega kau sudah di ruang isolasi. Setidaknya kau akan mendapat pelayanan terbaik.

                Dan aku minta maaf soal ini. Sebenarnya ingin sekali aku menemanimu di saat-saat seperti ini. Menjadi seseorang yang bisa membuatmu nyaman pada setiap keadaan. Tapi sekali lagi, aku sadar siapa aku. Siapa aku diantara orang-orang yang kau kenal. Siapa aku diantara teman-teman terdekatmu. Disamping itu, aku juga kurang enak badan.

Kau sudah menjadi bagian terlekat dalam hari-hariku. Dan ini anugrah. Aku bahkan tidak memiliki alasan apapun untuk menjelaskan. Sejak menyadari itu, aku selalu memastikan agar selalu bisa membuatmu tetap tersenyum, semangat. Aku tidak pernah berharap apapau darimu, Mil. Tidak ada.


Hanya aku selalu menyertakan namamu dalam setiap permohonanku kepada Allah. Yang terbaik, yang terbaik, yang terbaik.

Barang ini sebenarnya adalah satu dari beberapa hal yang ingin ku sampaikan di hari kelahiranmu nanti. Maaf jika aku terlalu mengawalinya.

Salam hangat,
AFWAN

 

Maret 2020


 

In fact, I haven't been able to estimate the price of intimacy. You know that. Since getting word that you aren’t feeling well, I always take the time to look at your situation, for any reason. Like when I came to see you, asking: where is the financial statement file located. Actually I already know. I just want to make sure you're okay.

Those days, I also rarely see you when reciting at the mosque. The place you usually occupy is empty. I began to be suspicious of possibilities I didn't want at all. Sure enough, I got word that you are sick.

After sunset, I went to your room. There are Amin and Bagus. I asked about you. He said you were in the isolation room. Immediately I went into the room, saw you sleeping in a white jacket. I'm a little relieved you're in the isolation room. At least you will get the best service.

And I'm sorry about this. Actually I really want to accompany you at times like this. Being someone who can make you comfortable in every circumstance. But once again, I realized who I was. Who am I among the people you know. Who am I among your closest friends. Besides, I'm also not feeling well.

You have become a part of my days. And this is a gift. I don't even have any reason to explain. Since realizing that, I always make sure that I can always keep you smiling, excited. I never expected anything from you, Mil. There is no.

 

Only I always include your name in my every request to God. The best, the best, the best.

 

This item is actually one of the few things I want to say on your birthday. Sorry if I started too much.

 

Kind regards,


 

March 2020         


Kelokan Tajam

 Aku selalu menyesalkan kenapa kau tak pernah mau kuajak berhelat. Padahal, kau tahu, tidak ada maksud apapun dalam hangat kita kecuali memastikanmu baik-baik saja. Kau bahkan tak akan pernah tahu kenapa aku begitu mengkhawatirkanmu. Setiap malam kepalaku pening, terlalu keras menerka bagaimana kau sekarang ini. Dadaku sesak, sibuk menahan degub rindu yang semakin malam kian mendebar. Dan mataku nanar, tak bisa tidur. Lantas, karena terlalu pilu, aku selalu sibuk mendoakan kebaikanmu.

Tapi keadaan membuatku berfikir puluhan kali soal ini. Benar aku menyayangimu, tapi ada yang lebih berhak kau tanggapi kasihnya. Betul, aku menghkawatirkanmu, tapi aku juga tidak boleh egois dengan memaksamu terus ada bersamaku. Nyaman memang menyusahkan. Tapi dia juga tidak pantas disalahkan.

Kadang aku juga heran dengan situasi seperti ini. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa aku mengenalmu? dan beribu pertanyaan paling mendasar yang mengorek tentang ;kenapa caraku mengenalimu seperti ini’.

Sudahlah, satu waktu, aku pernah melihat aku dan kau sebagai orang lain. Aku orang asing dan kau juga. Kita sama-sama punya mimpi. Sama-sama punya cinta-cita. Kau punya keadaan yang sangat kau suka atau tidak suka. Begitupun aku. Maka, aku bercermin lalu berdoa agar kau, selalu baik-baik saja.

 

 

 

Senyummu adalah lambang peristiwa

Aku bisa bangun setelah jatuh berdarah

Kemudian kau bergumam entah apa

Sambil mulai berdiri, aku berharap kau mendoakan keselamatanku

 

Sentuhanmu adalah lambang peristiwa

Aku bisa tidur setelah lama insomnia

Sejak sentuhan pertama, aku berharap

Semoga kau betah berlama-lama

 

Tatapanmu adalah lambang peristiwa

Aku bisa semangat setelah terpenjara

Namun, aku curiga

Barangkali, bening matamu akan lenyap tergilas masa atau masalah-masalah.

 


Semua Yang Ada Pasti Punya Ada-Ada Saja

             Betapa malam tadi istimewa. Aku ingin merekam segala yang kita bicarakan. Membawa dan memperdengarkannya pada seluruh manusia. Rintik hujan, riak-riak pada genangan air di taman dan halaman. Juga simpul senyummu yang tidak pernah tidak membakar kecemasan-kecemasan.

            Kita berkelakar tentang segala hal – segala arah. Cerita-cerita pelajaranmu bersama Pak Irfanu di kelas. Kehidupan rumahmu, bersama rekan-rekanmu, kakekmu yang hebat, daan orantuamu. Ah iya, perbincangan soal orangtuamu selalu membuatku tertarik untuk mendengarnya lagi. Aku ingin benar-benar memastikan bahwa tidak ada keburukan disana. Kau begitu menyayangi keduanya, begitupun mereka. Aku ingin memastikan, sebab, setiap kali kau bercerita seakan ada angin kesenduan yang turut ku hirup dari nafasmu. Soal keaktifanmu semasa kecil sampai kau merasa bahwa kau telah benyak membuat beliau malu. Ah, kau ini.

            Udara di halaman kamarmu memang selalu menggoda. Aku ingat beberapa tahun lalu, saat usiaku dua-tiga tahun dibawahmu. Halaman ini telah ternobatkan menjadi tempat favoritku untuk berjalan-jalan menyusuri segala yang ingin ku jelajahi. Angin yang segar, dedaunan yang menggelayut diujung ranting pohon, halaman luas. Kau tentu merasakan itu, dan harus bersyukur atas itu.  

            Cerita soal relasimu mendomnasi. Dan, rekan sekamarmu, yang kurasa harus kau syukuri. Kau bicara banyak tentang mereka. Soal laku yang kurang mengenakkan, dan lagi-lagi memang kita bersama dengan berbagai karakter. Kita dilatih untuk dinamis menghadapi mereka. Lebih-lebih jika kita mampu menjadikan segala hal sebagai cermin bagi diri mereka sendiri.

            Aku bersyukur karena kau menjadi partner rekan baikku, Irfanu itu. Aku yakin smua akan baik-baik saja seiring waktu. Dan soal tahun depan kau akan lanjut kemana, aku lepas. Ya, mau bagaimana lagi. semua pasti punya keinginan dan cita-cita. Tentu, bahkan dimulai saat aku mengenalmu, yang kulakukan adalah berdoa dan memohonkan yang terbaik selalu berpihak padamu.

 

Salam, Afwan.

Senin, 02 Maret 2020

 


Begina Begini

 “Tidak semua kebahagiaan akan dibalas kebahagiaan. Tidak semua kebaikan akan dibalas kebaikan”

 

“Semua manusia itu pasti mempunyai perasaan”

 

Kau tahu kenapa aku mengajakmu berangin malam ini? Tentu karena aku rindu. Tidak ada hal lain yang bisa menjawab itu kecuali meresapi kedalaman matamu. Kau nampak lelah malam ini. Aku merasa bersalah. Namun kau menolak ketika kusuruh istirahat, kau tetap ikut. Dan kita, telah berangin dalam gerah kerinduan yang sejak lama ku titipkan mendung.

Kau berkisah banyak tentang serunya seminar tadi. Kau menceritakanya dengan suara seolah-olah kau adalah pematerinya. Aku suka itu. dan sekaligus sebagai bukti bahwa daya tangkapmu teramat bagus.

Kemudian kau meresahkan soal rencanamu pulang. Kau meminta pendapat kapan kiranya waktu yang tepat. Aku meyakinkan agar bagaimanapun juga, kau harus izin. Minimal kepada pembimbingmu. Kau mengiyakan. Dan itu harus.

Aku menawarkan untuk mengantarmu besok malam. Mengantar ke halte bus. Kau bilang begini; ndak usah Mas. Malah merepotkan.

Aku kegirangan mendengar kau bilang seperti itu. Dan sungguh, kalau saja aku merasa direpotkanmu, mana mungkin kita boncengan malam ini? Kau selalu bersikap baik. Aku menghargai itu. dan sekali lagi, ku yakinkan bahwa tak ada kata merepotkan dalam kamus otakku. Apapun yang kau butuhkan, sebisa mungkin aku berusaha agar bisa mewujudkan itu.

Kau tahu kenapa?

Kurasa tak perlulah kau tahu alasannya. Kau cukup terus semangat menggapai mimpi-mimpimu itu. kau tak perlu mencemaskan soal merepotkan atau tidak kepadaku. Tak perlu.

“Semua manusia pasti punya perasaan, Mas!”

Iya, benar. Dan perasaanku kepadamu selalu sama; sayang.

“Aku ingat katae pemateri pas seminar tadi: tidak semua kebahagiaan akan dibalas kebahagiaan. Tidak semua kebaikan akan dibalas kebaikan”

Dan aku untuk kesekian kalinya, aku mengiyakan ucapanmu. Perlu kau tahu, bahwa tak sedikitpun aku berharap imbal balik darimu. Tidak. Kau tak perlu mengembalikan kebahagiaan atau apapun kepadaku. Cukup kau jalani harimu dengan ceria, semangat, sampai kau berhasil nanti. Sungguh, itu lebih dari cukup untuk dikatakan sebagai balasan.

 

 

30 Januari 2020

 


Prioritasnya lo!

 رمى نفعا فضرمن غير قصد, ومن البر ما يكون عقوقا

Kadangkala santunan, berubah menyakitkan

Seringkali sebuah budi, menyimpan penyesalan        

(Diwan mam Syafi’i)

 

“Sebelum aku mengenal cinta, kukira hanya pisau yang memberi luka”

Sujiwo Tejo

 

Benar kata sastrawan ternama (tapi aku lupa siapa), bahwa duka terbesar adalah munculnya rasa ingin memiliki. Rasa memiliki sesuatu berarti bersamanya, akan tumbuh rasa ingin berbuat apapun sesuka hati. Lalu bakalan muncul benih keegoisan di sana. Dan itu tidak patut terjadi. Kalaupun iya, maka bersiaplah menjadi manusia yang selalu merasa susah. Selalu merasa cemburu.

            Karena kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk mencintai kita. Tidak bisa. Mau kita berbuat apapun, mengeluarkan uang sebanyak apapun. Karena cinta bukan sebab apa-apa, bukan soal banyaknya harta. Cinta tumbuh bersama hati yang lapang, apa adanya. Bahkan terkadang, cinta tumbuh sejak pandangan pertama, sebelum seseorang melakukan apa-apa.

Bukankah akan sangat indah, jika orang menyukai kita apa adanya? Tanpa perlu ada sandiwara.

            Maka, akan sangat bijaksana jika yang kita lakukan adalah memperjuangkan mimpi-mimpi kita. Tanpa sedikitpun terusik soal cinta. Seharusnya cinta memperindah, bukan menyuramkan. Memberi semangat, bukan melumpuhkan. Dan pada saatnya nanti, cinta akan datang sebagai buah dari perjuangan kita. 


PUISI: Dunia Ini

 Dunia ini, tempat segudang keinginan-keinginan.

Apa yang benar-benar dibutuhkan, seakan tidak ada artinya jika disandingkan dengan keinginan.

Dan penyesalan, pasti datang belakangan.

 

Begitu terus,

Selalu sama

 

Dan sesuatu itu terasa sangat berharga, bila sudah tidak lagi ada.

 

Begitu terus,

Selalu sama 

 

This world, a place of myriad desires.

What is really needed, seems meaningless if juxtaposed with desire.

And regret, must come later.

 

And so on,

Always the same

 

And something feels very valuable, if it'snt there anymore.

And so on,

Always the same


Sebelas Duabelas

             “Gurauan yang telah bersinergi dengan aksi justru lebih mujur ketimbang rencana-rencana tanpa tindakan.”

Biar adil, aku akan mengawali ceritaku yang sama sekali jauh dari tiga gambar #sukaceritamu yang telah ku posting. Kau tentu juga tak peduli soal apa relasi antara gambar dengan tulisannya, bahkan jika gambar itu benar-benar ingin bicara. Yang ingin ku ajukan hanya alasan-alasan kenapa aku suka dengan #sukaceritamu ini.

            Begini,

             Bercerita punya hubungan erat dengan pengalaman. Memiliki pengalaman, berarti potensi besar untuk bisa bercerita. Dan jangan mengelak dari kenyataan bahwa kau punya pengalaman. Karena tidak mungkin makhluk hidup tanpa pengalaman. Yang ada malah pengalaman itu, berharga atau tidak. Hahaha.

            Tenang saja, aku cuman bergurau. Bagiku, tidak ada pengalaman yang tidak berharga. Semua peristiwa pasti memiliki makna. Jika bukan buat kita, pasti buat orang lain. Maka sekali lagi, tidak ada salahnya kita bercerita. Pasti ada saja orang yang #sukaceritamu dan dengan senang hati mengambil pelajaran berharga dari cerita itu.

            Soal ini, misalnya. Seperti kebanyakan murid-murid di sekolah, aku juga suka dengan cerita, apapun bentuknya. Daripada mencekik pikiran dengan teori-teori yang belum tentu relevan dalam kehidupan, aku lebih suka dengan hal yang riil, nyata.

            Singkatnya, aku ingin lebih tergerak untuk menuliskan kisah-kisah itu. Dan mencoba cara-cara baru, bagiku, adalah kiat untuk mempertahankan mood menulis.

Jangan lupa, aku #sukaceritamu !

 

@tentangjarak2018

@tuanrumah2019

 


Sabtu, 25 April 2020

Yang Tak Terduga



 Juni 1996
Seharian perutku belum terisi apapun kecuali air. Hari itu pondok sepi. Anak-anak sudah pada pulang. Maklum, liburan panjang semester genap. Aku sudah terbiasa tidak pulang setiap liburan. Bahkan dalam rentang tahun 1989 sampe 2002, hanya 2 kali aku shalat iedul fithri dirumah. Selebihnya sholat dipondok dan baru pulang sore harinya setelah sungkem Romo Yai.
Jam 3 sore, Hani, santri yang hidmah ndriver Yai, sedang memarkir mobil kijang Yai didepan dalem. Itu pertanda Beliau akan tindak menghadiri pengajian ke luar kota. Dan benar dugaanku. Malam nanti, rencananya Yai ngaos ke daerah Widang-Tuban.
Aku yang saat itu lapar banget, tiba-tiba saja timbul keinginan nderek (jawa:ikut) Yai. Pikirku "nanti kalo pengajian selesai, prasmananya pasti sip dan tentu beliau bakalan ngajak makan sopir dan pendereknya. Asyik dapat makan gratis” (he he he )
Aku mendekati Hani yang saat itu ngelapi mobil "Han, aku nderekno yai oleh po ra yo?" kataku. 
"Beres, InsyaAllah oleh... Tapi aku tak matur disik" Jawabnya. Singkat cerita, akhirnya Romo Yaipun mengizini.
Kami bertiga berangkat ba’da maghrib. Rencananya panitia menunggu beliau di area pesantren Langitan. Sekitar jam 8 malam kami sampai di Ponpes Langitan. Disana ternyata sudah ada Gus Wafi (putra alm. Yai  Aman), belakangan ini baru aku ketahui ternyata panitianya adalah teman Gus Wafi. Lama sekali kami menunggu, bahkan sampai hampir jam setengah 10 malam panitia tidak datang juga. Entah karena apa, akhirnya  tidak satupun panitia yang datang. "ngene iki lho piye, janji janji dewe kog disulayani dewe. Wes Han, ayo moleh wae" Dawuh Beliau.
Mendengar Beliau dawuh begitu, semakin lemaslah aku. Bayangan prasmanan gratis dengan segala menu lezat, sirna seketika. Dalam hati aku bergumam "matiiii aku nek Yai gak sido ngaos, piye ikii nasibkuuu.... jek urip ta gaak aku menisuk". Aku masuki mobil dengan perasaan yang tidak karu-karuan. Mobilpun berjalan keluar Pondok Langitan. Beliau mendel dan Hani -pun diam. Meskipun kelihatan diam, tapi hatiku terus ngomel "iki nek gak sido prasmanan, mangan opooo, terus piye nasibe wetengku iki"
Allohu Akbar!!
Ketika grundelan hati tak bisa dipaksa berhenti, tanpa kuduga Beliau dawuh, "Sup, wetengmu luwe yo? Engko nok pasar Babat ayo mangan, timbang ati ngersulo, gak ilok"
Seketika itu perasaanku campur aduk. Malu karena batinku terbaca oleh beliau. Tapi juga senang, karena gak jadi kelaparan. (Wkwkwkw. Dasar santri bocor alus!)
"Han gole’o warung bebek utowo ayam goreng" Lanjut Beliau. Mobilpun berhenti. Kami bertiga masuk diwarung pinggir jalan pasar Babat.Yai pinarak sendiri menghadap ke utara. Aku dan Hani disamping kanan beliau menghadap kebarat. Tepat dibelakangku ada tiang iklan rokok yang cukup terkenal pada masa itu.
Sambil dahar, sesekali beliau dawuh dengan Hani. Aku sendiri meski ndredek, tetep berusaha tidak menyia-nyiakankan momentum indah bersama Beliau (sweet memory). Juga lezatnya paha dan jenggutru bebek goreng. ( wkwkwkwkwk ).
Namun, aku tersentak ketika tanpa ku duga Beliau dawuh "Sup awakmu kepingin kuliah yo.... ?" Aku diam tak menjawab. Kalau ku jawab “tidak” toh kenyataanya memang iya. Kalau njawab “iya” aku juga tidak berani. Akhirnya beliau meneruskan dawuhnya "gak usah kuliah disek, manuto wong tuwo, ngapalno quran". Aku terheran-heran. Darimana Beliau tahu kalo aku pingin kuliah? Kalau dari orang tuaku, bisa dipastikan setiap sowan mesti denganku dan tidak pernah sekalipun matur tentang itu. Beliau meneruskan dawuhnya "Sup delo’en tulisan iklan rokok sing tok sendeni iku..”YANG PENTING RASANYA BUNG”. Ilmu iku yo ngunu Sup, “YANG PENTING MANFAAT DAN BAROKAH NYA BUNG".
Dawuh Beliau yang terakhir benar-benar menghujam relung hatiku. Selama perjalanan pulang hatiku terus menggemakan dawuh itu. Beliau mengajariku untuk bisa membedakan mana bungkus, mana isi, mana wasail, mana maqosid, mana simbol, mana substansi.

والله اعلم بالصواب


Rumahku Istanaku 23 Desember 2013.
Tulisan dan kisah Bapak. Yususf Hidayat



Kamis, 02 April 2020

Selepas Tiga Hari

Tiga hari belakangan adalah rangkaian peristiwa yang luar biasa. Perhelatan kita dalam team work menjadikan rinduku tuntas habis. Dan kurasa, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Tapi kau tahu, tidak ada kebersamaan yang benar-benar bersama. Tidak ada kebahagiaan yang benar-benar bahagia. Segala yang terjadi di dunia adalah sementara. Dan hari ini, adalah akhir kita satu meja. Setelah ini, kita akan sama-sama kembali mengunyah kesibukan masing-masing.
Aku bisa menerka, kau bakalan kembali dingin. Kembali lelah dengan padat jadwal kegiatanmu itu. Dan aku kembali selalu merindukanmu. Kembali berharap kita bisa berhelat nyenyak. Bagaimanapun juga, manusia selalu ingin memilih dimana tempat nyamannya. Dimana dia bisa meletak-leburkan keresahan-keresahan. Aku jadi ingat bagaimana kau tersenyum, kau ngalem, cemberut, raut lelah, ngantuk, marah, berargumen. Segalanya terasa begitu singkat, begitu melekat.
Dan kau tahu, segala sesuatu yang diakhiri dengan baik, pasti akan baik-baik saja.
Lupakan,

11 Maret 2020

Selasa, 28 Januari 2020

Ketika Pagi Buta: Kenapa tiba-tiba ada rindu?

            Pagi-pagi begini, aku sudah merindukanmu. Aku juga heran, tidak seperti biasanya. Bahkan jauh sebelum aku terbangun dan membuka mata. Sepertinya rinduku semakin parau. Atau paru-paruku mulai sesak dengan simpanan perasaan-perasaan lain. Aku bahkan belum begitu yakin dengan ini.
            Senang melihat rekan-rekanmu keluar bilik, mengenakan pakaian biru-biru sragam sekolah, rapi, rambut klimis, wajah berseri, atau mungkin juga wangi, kaus kaki, sepatu, dan dengan gagah melangkah menuju halaman sekolah. Ku kira kau akan lebih dari mereka.
            Dan aku merindukan menjadi sepertimu. Siswa yang setiap pagi punya kepercayaan diri tinggi dengan segudang harapan-harapan yang sudah menyerang kepala. Ah, masa-masa sekolah memang mengasyikkan. Dan kau akan tahu bagaimana sebenarnya nikmat sekolah ketika telah selesai sekolahmu itu. kau tinggal mengenang-ngenang kejadian apa-apa, atau kesibukan apa-apa. Sungguh, soal ini kau harus semangat. Buat kenangan yang bagus-bagus.
            Aku juga rindu cerita-cerita soal sekolahmu. Atau tugas-tugas menumpuk, yang selalu membuatmu menggemaskan ketika serius mengerjakan atau mencari bahan-bahan. Dan disela-selanya, bahkan setelah rampung, kau selalu menukaskan senyum. Dan aku, tentu saja, telah lebih dulu menjerat itu, atau menatap dan menetap di kedalaman matamu yang rayu. Sebelum nanti kau lengang, berpamitan.
             



Catatan Kecil Sebelum Tidur: selamat tidur

                Selamat malam, mata yang selalu ku pandang dalam-dalam. Aku tak berharap apa-apa malam ini selain kedua pasang indra itu telah terpejam. Berbaringlah sebagai bintang yang menyala-nyala diangkasa, melesatkan duka bersama mimpi-mimpi yang selalu kita tautkan. Lepaskan jerat fikiran yang membuatmu terjaga tanpa kau duga; yang membuat kita sama-sama mengerti, bahwa kejenuhan akan selalu siap menjadi sebab kita enggan berhelat. 
               
               



Senin, 27 Januari 2020

Tak Perlu Kau Baca (catatan kecil tentang perhelatan sebentar kami)

                Di shaf paling awal, ujung kiri, ternyata ada kau. Dua baris tepat di depanku. Wirid menggema bersahutan dengan pipit yang samar-samar mengikuti lantunannya. Khalayak, kita tahu, telah tergolek mesra. Angin silir-silir. Burung berkejaran. Daun-daun terlihat segar setelah menyesapi embun.
                Selepas kegiatan shubuh, aku berjalan melewati halaman luas dengan saluran air yang baru dibuat melintang dari timur ke barat. Telah parkir beberapa mobil ber-plat macam-macam. Sepertinya sejak semalam, terlihat dari kacanya yang ngembun. Sambil melangkah, ku sesap udara yang (anggap saja) sejuk. Membiarkanya masuk ke tubuh melalui hidung dan mulut. Alhamdulillah. Sejuk atau tidak, ini tetap anugerah yang hebat; kehidupan.
                Cinta adalah pasangan serasi antara duka dan bahagia. Betapapun pahit duka yang menyelimuti seseorang, akan tetap berakhir manis jika dilandaskan pada cinta. Tapi terkadang, cinta kerap dihadirkan sebagai tokoh yang semena-mena; antagonis. Sebuah konsep yang kaya akan kedamaian, ketenangan, kenyamanan, keindahan, keserasian, pengertian, tiba-tiba berulah magis karena empunya.
                Oh ya. Semalam kau mengajakku berhelat. Aku bingung sebenarnya. Ada apa? Kau tampak serius, tidak seperti biasanya. Singkatnya, kau membawa perbincangan kita pada polemik radikalisme. Kau bicara bahwa dalam waktu dekat ini, akan ada tugas membuat Paper sebagai syarat ujian akhir semester. Dan kau, ingin berusaha agar menjadi yang terbaik sebagai persembahan buat orangtuamu.
“Aku pengen memberikan yang terbaik buat orangtua, Mas. Dan tak fikir, ini kesempatan untuk mewujudkan itu".
                Sambil terus mendengarkan kau bicara, aku berdoa biar semua prosesnya lancar. Aku janji akan membantu sebaik mungkin untuk keberhasilanmu. Semangat!


*tak perlu kau baca, 

Kamis, 23 Januari 2020

The Key To Everything Is Understanding



                Gagal total. Berulang kali aku mencoba agar mendapat perhatian beberapa fihak, termasuk dirimu soal lelah, atau flu yang menyerang belakangan ini. Tapi tak ada gunanya pula aku menceritakan keluhan-keluhan itu. Bahkan, malah ada yang menimpali kembali dengan keluhan. Mengeluh dibalas mengeluh. Bisa kau bayangkan sendiri bagaimana rasanya.
            Pada suatau kesempatan, harusnya kita sadar bahwa setiap manusia pasti punya masalahnya masing-masing. Kesulitan yang kita anggap hanya menimpa kita sendiri, ternyata tidak benar. Orang lain pasti merasakan juga. Bahkan bisa jadi lebih parah dari kita, lebih rumit masalahnya. Maka, akan sangat egois jika kita hanya ingin di dengarkan tanpa mau mendengarkan.

Akan sangat egois jika kita hanya ingin di dengarkan tanpa mau mendengarkan.

            Ironinya lagi, bersamaan dengan didengarnya keluhan kita, seringkali kita ini maunya sepaket dengan solusi, atau elu-eluan yang mendamaikan itu. Padahal, jika keluhan kita sudah ada yang mau mendengarpun itu sudah bagus. Orang sudah mau meluangkan waktu dan menyisihkan sedikit memorinya untuk cerita-cerita kitapun, itu sedah luar biasa. Tidak layak sebenarnya, jika kita terlalu berharap kepada orang, agar mau memberi masukan atau kata-kata bijak atas kepelikan yang kita bicarakan.
            Aku jadi ingat kata Salud dalam buku Ordinary People karya Andrea Hirata: Lebih baik dipukuli berdua dari pada dipukuli sendiri. Setidaknya, hal ini menggambarkan bahwa tidak ada manusia yang ingin sendirian dalam kesulitan. Apapun bentuknya. Selalu ingin teman. Setidaknya ‘mereka’ yang mau menjadi pelukan, sandaran, atau tempat berpulang bagi segala urusan-urusan yang meriuhkan. Beruntunglah, jika kau punya teman yang seperti itu. Berterimakasihlah, karena dia sudah rela turut menelan dukamu. Jika belum, jangan khawatir. Mari kita berusaha menjadi yang seperti itu. Yang mau menjadi pendengar baik bagi teman-teman kita, menjadi tempat mereka berbagi cerita.
            Ini bisa jadi langkah untuk menguatkan jiwa. Dari kisah macam-macam yang kita dengar, kita akan tahu bahwa hidup tidak hanya satu warna, tidak cuman tunggal rasa. Maka, sudah barang tentu, secara bertahap barangkali, kita akan memiliki automatically comprehension yang mampu menjadi benteng pertama kita. Bukankah kunci dari segala sesuatu adalah pemahaman?
            Dan kita, ini yang mulai ku sadari, akan naik turun secara bergantian. Sekarang aku merindukanmu, mungkin kau biasa-biasa saja. Siapa tahu, besok, balik kau yang merindukanku dan aku biasa-biasa saja. Tapi tenang, ini hanya spekulasi. Minimal, aku sudah sadar sejak awal bahwa inilah kehidupan, beginilah hubungan. Kelak, jika itu terjadi, aku akan berusaha terus mengimbangi. Membawamu pada situasi paling cerah bersama semangat yang kerap ku resap darimu.

            Oh, ya. Sebelum ku akhiri. Tulisan ini selesai siang ini, dan seharusnya tuntas tadi malam. Mungkin karena gejala rindu, belum sempat menulis aku sudah terpejam; kecapaian. Sudahlah.

Selamat Siang,

           




Rabu, 22 Januari 2020

Kau pun Akan Menjadi Kenangan


“Kita tidak pernah benar-benar sendiri”.
Begitu kata Fiersa Besari dalam buku Catatan Juang halaman 62.

            Waktu terus berjalan kedepan. Apa yang kita jalani adalah bentuk nyata dari masa depan. Aku sedikit menyimpang soal ini. Dalam benakku, masa depan bukan lagi besok, tapi telah dimulai saat ini. Masa depan bukan sekedar wacana-wacana atau pengharapan dengan berbagai rencana saja. Tapi hari ini, detik ini, telah dimulai yang namanya masa depan itu.

Masa depan bukan sekedar wacana-wacana atau pengharapan dengan berbagai rencana saja. Tapi hari ini, detik ini, telah dimulai yang namanya masa depan itu.

            Kau tentu tahu, bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mengabadikan peristiwa-peristiwa. Sesuatu yang dianggap berharga akan disimpan. Entah lewat foto, tulisan, atau hanya dengan mengingat-ingat. Alasannya dapat ku rumuskan menjadi dua. Adakalanya hal baik dan ada kalanya buruk. Yang baik, tentu berhubungan erat dengan yang namanya bahagia. Maka, seseorang ingin sekali menyimpan peristiwa membahagiakan itu, agar menjadi kenangan. Dan kelak, ketika jiwanya merasa hampa, ia buka kenangan bahagia itu sebagai pelelap tidurnya. Dan soal kenangan buruk, dapat kau pahami sendiri lah.
            Eh, sebentar. Aku yakin gambaranmu akan macam-macam. Maka akan ku arahkan, kurang lebih begini. Seseorang yang mau menyimpan peristiwa buruk, pastilah mereka yang punya kelapangan hati. Sebuah kemampuan untuk menangkap sisi baik dari keburukan. Dan ini seni. Tidak semua bisa melakukan ini. Orang yang seperti ini berarti telah berani menelan pahitnya pengalaman demi manisnya masa depan.
            Sebelumnya sudah saya bilang, waktu terus berjalan. Dan dalam perjalanan itu, tidak menutup kemungkinan, pasti ada lubang-lubang atau bebatuan yang sama. Kalau kita sudah tahu bagaimana ciri-ciri lubang itu, maka setidaknya, kita tidak akan terperosok dalam lubang yang sama. Dan pengalaman buruk, akan tersimpan sebagai pelajaran berharga, bahwa hidup adalah soal introspeksi.
            Pada berbagai kesempatan, termasuk malam ini, aku menimbang-nimbang tentang mereka yang pernah hadir sebagai bahagia, lalu lenyap menjadi duka. Meskipun tidak semua yang hilang adalah luka, tapi bagaimanapun bentuknya, perpisahan selalu berimbas nestapa. Sebenarnya aku tak pernah setuju dengan kata ‘pisah’. Namun, meski kemudian kami masih bisa bercengkama lewat surel, atau media online lainnya, waktu, sekali lagi, tak pernah bisa kembali. Semua akan terlewat begitu saja. Kami semakin menua, dan keakraban itu telah mendua. Lalu terciptalah kenangan-kenangan.

Meskipun tidak semua yang hilang adalah luka, tapi bagaimanapun bentuknya, perpisahan selalu berimbas nestapa.

            Dan secara langsung, tentu ini menyangkut tentang dirimu. Aku, sebenarnya, belum siap ketika esok kita akan bersenda menuai kenangan-kenangan itu. Aku juga belum yakin, kalau aku adalah bagian dari kenangan yang akan kau ingat kelak. Sebatas ini, aku berusaha meredam itu dengan mengingat andilmu membangkitkan semangatku. Dan kau tak perlu mengelak, karena senyummupun termasuk. Bahagiamupun, termasuk. Adamupun, termasuk.
            Nanti, ketika diantara kita terpaut sibuk yang memeluk kita masing-masing. Dan pada akhirnya tak sempat mengantarku – juga kamu – untuk berhelat, atau sekedar menyapa, maka aku akan selalu mengingatmu sebagai daya semangatku. Ini akan abadi, sebagai taruhan hidup dan mati.
            Tahun besok kau wisuda. Itu artinya akan ada dua kemungkinan yang pasti terjadi. Kau disini atau tidak. Aku sudah menyadari itu sejak mengenalmu. Bagiku (semoga kuat), disini atau tidak adalah sama. Yang terpenting bagiku adalah yang terbaik untukmu. Maka, tak pernah aku berdoa supaya kau tetap, atau agar kau begini, begini. Tak pernah. Yang selalu ku mintakan untukmu kepada Tuhan adalah yang terbaik untukmu.
            Pada paragraf paling akhir ini, aku menaruh banyak harap tentang semangatmu. Keberhasilanmu, bahagiamu. Dan, kau tahu, benar kata Bung Fiersa, bahwa kita tidak pernah benar-benar sendiri. Meski seluruh dunia menjauhi, kenangan akan hadir sebagai hangat yang selalu menemani. 

Selamat malam,





Selasa, 21 Januari 2020

There Is No Need For Concern


            Selamat larut malam. Aku bilang demikian sebab saat menulis ini, tepat pukul 00.23. Terlalu larut bagi manusia yang tak suka begadang. Akan ku bocorkan sedikit bahwa tulisan ini nantinya akan berupa-rupa. Dan kau tak usah membayangkan bahwa akan ada berbagai font yang ku pakai. Maksudku, bahasan dalam tulisan ini akan beraneka rasa.
            Petama, akan ku lanjutkan soal tulisan sebelum ini. Betapa kemudian realita selalu berkata demikian. Bahwa, apa yang telah terjadi sisipkan sebagai pelajaran. Ku rasa ini omong kosong. Dan pada saat yang sama ketika aku mengetik kalimat sampai disini, aku merasa lemah dihadapan kenyataan. Maka, betapa mirisnya keadaan dimana rencana berakar api. Sudahlah, ku rasa tak usah kita risaukan itu lagi. karena kebencian kita terhadap sesuatu, bisa saja membuat kita benci terhadap diri kita sendiri.

Kebencian kita terhadap sesuatu, bisa saja membuat kita benci terhadap diri kita sendiri

            Malam ini, sesuai janji, aku menunggu kedatanganmu sejak usai kegiatan tadi. Singkatnya kau hadir, seperti biasa, membawa semangat yang luar biasa. Kau tahu? Inilah kenapa aku selalu suka. Maka kau hadir sebagai rekan paling hangat, membuatku lelap membaca buku “Ordinary People” Karya Andrea Hirata dengan lahap. Tamat. Ditengah keseriusanmu menjelajah materi pelajaran sekolah di laptop, kau tahu, fikiranku terus saja menerka kiranya apa yang akan kutuliskan malam ini.
            Dan baru kutemukan jawabannya sejak aku mulai mengetik ini. Bahwa menulisn itu bukan cuman ilusi, tapi menulis adalah aksi. Percuma kita rancang sampai macam-macam kalau pada akhirnya hanya terus berputar dengan rapihnya rencana itu. Sama juga dengan rindu. Rindu itu aksi. Bukan hanya ilusi yang berlarut membuat kita semakin layu. Kalau seperti itu, rindu seakan-akan sama seperti virus atau sejenis penyakit. Bukan! Aku tidak setuju. Harusnya rindu itu aksi. Apa kiranya yang dapat kita hasilkan dari rindu itu. Semangat, misalnya. Atau karya. Itu hak kita sebagai perindu.
            Dan aku, sekali lagi, merasa ribuan kali lebih semangat. Aku merasa kita terpojokkan suasana. Malam yang begitu lengang. Juga suara angin yang sesekali berdesir menyerobot ventilasi dan jendela yang sengaja dibuka. Udara sedikit panas, hingga kau buka jaket putih kesayanganmu itu. Aku, sejak tadi, setelah menyelesaikan buku kuning karya Bung Andrea, terlentang bebas disebelahmu. Sambil memejamkan mata, membayangkan kau menjambak rambutku yang gatal. Seringkali, hal-hal yang kau anggap lumrah, mungkin bagiku adalah mustahak.
            Kita berkelakar tentang banyak hal. Sungguh, ini yang aku suka. Pun tadi aku bertanya apakah kau pernah punya target di tahun ini?. Kau, seperti biasa, sambil tersenyum lalu berkata bahwa belum sampai situ. Yang kau fokuskan adalah apa yang ada didepan mata. Bagaimana agar segala tugas dan kewajiban tuntas. Aku mengiyakan. Tak ada salahnya memang. Karena target hanya milik orang-orang yang belum yakin dengan langkahnya hari ini. Tapi aku yakin, seiring waktu kau pasti akan memiliki itu. Satu target hebat dalam hidupmu.
            Okelah, kita sudahi perhelatan kita kali ini. Aku yakin perhelatan seperti ini bukan tak ada manfaatnya. Meskipun aku sempat ragu, apakah bertahun-tahun yang akan datan kita selalu rekat. Ku harap rindu kerap menimpas keraguan itu.


Selamat malam,