Puncak kesadaran manusia adalah ketika ia berkomunikasi dengan Tuhannya. Mengadukan segala hal, memohon pertolongan, perlindungan, bahkan keberkahan. Kadang kita memang egois. Memikirkan segalanya sendirian. Lupa bahwa lelaku kita aa yang selalu memperhatikan. Barangkali inilah manfaat jatuh-bangun. Dimana kita akan ingat Tuhan disitulah puncak kesadaran.
Intinnya
disini, seperti yang telah terjadi dan sering kali memang begitu. Barangkali
yang paling menbedakan manusia kuat dengan lemah adalah hatinya. Seperti dua
orang yang sama-sama merasakan badannya sakit, tapi yang satu diam saja tidak
menceritakan kepada siapapun dan tetap melakukan aktifitas pun kewajibannya,
yang satu malah klimbruk dan sedikit sedikit mengaduh, bagaimana bisa betah
dengan sambatan? Setiap kita pasti punya masalahnya sendiri-sendiri. Ada yang
kuat menampung masalah lain, ada yang belum. Ada yang satu waktu mampu menampung
masalah lain, dan satu waktu sudah penuh. Maka, tidak ada tempat paling sakral
untuk mengadukan masalah-masalah selain malam. Tuhan selalu membukakan
pintu-Nya setiap malam. Menampung doa’doa dan pengharapan.
Berjalan
melewati jalan panjang dan gelap. Tidak ada pintu-pintu terbuka . Lampu teras pun hanya beberapa
yang menyala. Kau bisa bayangkan sendiri bagaimana cekamnya?. Lalu seperhela
nafas, entah berapa langkah lagi, di bawah lampu nyala milik sebuah rumah
mungil, ada selembar kertas tergeletak sembarangan di atas tanah. Meski antara
iya atu tidak, tapi aku yakinkan bahwa itu memang kertas.
Betapa setelah
bertahun-tahun aku rindu bacaan, Tuhan barangkali telah menyelipkan
keberuntunganku pada rumah itu. Rumah yang –barangkali- didalamnya terdapat
banyak buku sampai sesak dan pemiliknya melupakan selembar kertas yang bahkan
orang lain perlu puluhan tahun bisa mendapatkannya.
Aku
mendekati kertas itu, ku ambli lalu kubaca. Begini isinya:
“Dan malam ini, aku benar-benar merindukanmu. Aku
mengkawatirkanmu sejak Tuhan meletakkan perasaan bahwa kau adalah aku yang
lain. Aku mengkhawatirkan apakah malam ini kau tidur pakai alas? Apa kau tidur
pulan? Apa kau baik-baik saja? Aku bahkan sempat bertanya mengapa seperti ini?
Apakah pantas? Maka, segala pertanyaan itu selalu ku jawab dengan lantang bahwa
apa ayang aku bisa maka akan ku lakukan. Tuhan selalu merestui perbuatan baik,
bukan?
Dan
waktu yang kau remas sedemikian rupa telah merenggang belakangan ini. Sebab,
saban waktu aku selalu mencari bahan sekiranya apa yang kudu ku persiapkan
untuk merelakanmu. Dan bahkan aku sempat bertanya apaurusannya aku dengan
dirimu? Atau barangkali kau juga bertanya-tanya seperti itu: siapa aku bagimu.
Dan lagi-lagi aku selalu melantangkan jawaban yang sama bahwa selagi aku bisa
maka akan ku lakukan. Dan merelakanmu adalah hal baru dan memang pasti terjadi.
Maka wajar jika aku perlu mempersiapkannya.
Entahlah. Jika tulisan
mengenai dirimu akan menjadi pengekal kita. Hingga esok nanti, saat kita
sama-sama sibuk dan repot sendiri, dirimu akan hadir sebagai dongeng anak-anak.
Atau tokoh utama dalam kisah panjang suatu masa. Atau kau akan kerap
menodongkan senyum saat kesedihaku. Atau sebaliknya.
Entah jika suatu masa,
saat kita sama-sama tua dan dipertemukan kata dengan tangis yang sama dengan ocehan
yang sama dengan genangan yang sama dengan detak yang sama dengan aroma yang
sama dengan ingatan yang sama bahwa kata dan kita tak pernah putus asa.
Barangkali,”
0 komentar:
Posting Komentar