Jumat, 04 Desember 2020

Sumber Kalimat Yang Tak Akan Pernah Tamat

Jombang, 16 Oktober 2020 (23.43 WIB)

 


            Selepas takror, seperti yang pernah terjadi, Hengky bilang kepadaku kalau Kamil akan menemuiku. Aku mengiyakan dan kutunggu sambil bincang-bincang sama rekan-rekan soal banyak hal. Angin malam ini membekukan luka-luka lama dan menimbulkan luka baru yang lebih parau. Dan barangkai, ini adalah isyarat tentang entah apa yang bahkan aku sendiri belum bisa menerka dan menyadarinya.

            “Ada apa, Mil?”

“Hikam Nyating ta mboten?”

“Ndak ada kaya’e. Tapi mbuh maneh se. Soal jarang mbukak hp hari-hari iki. Ada tugas ta?”

“Nggeh. Mat Pem”

“Oala, ya ayo, kesana”

            Segera kami menuju balkon paling nyaman dekat bilikku. Dan sekali lagi, angin sungguh dingin. Menerjang omong dan harapan kosong yang selama ini mengambang dan mengambing hitamkan keadaan. Singkatnya, Kamil mengerjakan tugas. Dan karena, sekali lagi, anginnya dingin maka kuambilkan sejadah yang kemudian dibuatnya alas dan berbaringlah dia. Dan Kamil, lanjut mengerjakan tugas sambil cerita macam-macam. Oia, ada satu nama yang barangkali punya banyak andil dalam hari-harinya selama di pesantren: Mas Luthfi. Begitu Kamil memanggilnya. Entah iya atau tidak, yang jelas aku bisa manangkap itu. apa yang dari hati, pasti sampai pada hati melalui hati. Entahlah. Dan obrolan kami terhela sebab Kamil batuk-batuk kecil.

            Kutanya sejak kapan batu-batuk dan katanya baru tadi buyar kegiatan sebab belum minum air putih sama sekali karena jatah galon kamarnya diangkut ke kamar atas semua. Kakinya juga lecet sebab lomba voli dan futsal kemarin. Jari tangan kiri kesleo. Lalu aku masuk untuk kemudian minum sekalian mengambil minum buat Kamil.

            Dan angin, untuk yang kesekian kalinya aku katakan, begitu dingin. Menusuk kepenatan dan kenyamanan. Meremukan kesadaran dan kealpaan. Maka, satu-satunya yang kupeluk adalah tubuh cerita yang keluar dari mulutnya, juga dari hatinya barangkali. Maka, selepas mengerjakan tugas, cerita kami semain menjadi. Kesana-kemari, mencari sesuatu atau mempertahankan argumen tentang sesuatu.

            Kamil bilang kalau belakangan ini banyak ngeluh. Tidak masalah, pikirku. Sebab, keluhan yang diceritakan dan dipahami adalah bibit semangat dan keberhasilan. Yang kalau dipupuk, disiram, akan tumbuh segar. Yang kalau dipahami matang-matang, dibicarakan, akan bisa membawa semangat besar dan ketabahan.

            Juga soal kuliah. Yang dulu begitu uwuw untuk masuk birokrasi, sekarang banting setang sebab keadaan. Kamil bilang planning saat ini sementara adalah masuk pertanian. Dan bingung. Tentu aku mendukung apapun yang menjadi keputusannya. Dan aku bilang tentang apa yang pernah didawuhkan sang Guru bahwa bingung itu tandanya kita berfikir, dan itu bagus. Maka, arah pembicaraan kami selalu ku pantik agar ia bisa konsisten untuk mempertimbangkan matang-matang apa yang akan menjadi masa depannya.

            “Kulo niki pripun nggeh. Sanjange: lakukan apa yang ada di depanmu. Dan kulo pun melakukan niku, terus pripun? Nopo salah ketika kulo mikir tentang masa depan, mempersiapkan apa yang akan kulo jalani nanti?”

            Aku tersenyum meski sebenarnya hati dan otakku berfikir keras tentang jawaban apa yang tepat. Dan senyum, barangkali mampu menetralkan keaadaan, mendamaikan.

“Mangkane, redaksinya kan: Lakonono disek opo seng ono ndek ngarepmu. Sampean diniyyah kan? Takror kan? Kegiatan wajib lain sampean ikuti kan? Maka ya sudah. Selagi apa yang jadi kewajiban kita sudah berusaha kita penuhi, maka sah sah saja ketika kita planningin masa depan. Malah itu bagus”

Aku menghela nafas sambil berharap Allah merestui ucapan itu.

            Dan banyak hal-hal kecil yang sejatinya telah tumbuh besar dalam ingatan. Beranak pinak dan sebagian telah mati menjadi kenangan. Segala kekhawatiran, dukungan, doa, dan segala entah yang kembang –kempis melampaui igauan dan realita. Kamil bahkan kelepasan bilang bahwa dia barusan sakit. Sontak raut mukaku berubah kecut. Dan terusterang saja aku berusaha mempertahankan senyum dan muka senangku, tapi gagal. Kamil terus bercerita soal nggak enak makan dan lain sebagainnya. Dan aku merasa gagal sebagai yang selalu ada. Aku merasa bodoh sebagai yang selalu menggamang-gamangkan akan selalu mempertahankan kebahagiaannya. “Kenapa ndak bilang?” Dan kurasa, pertanyaan itu ndak perlu kuucapkan sebab jawabanya sudah bisa ditebak semua orang meskipun pada akhirnya pertanyaan itu memang telah ku ucapkan.

            Pada puncak keresahan dan gebu do’a, angin seperti berpihak padaku kali ini. Aku menghela nafas, dalam sekali, dan mulutku tiba-tiba bilang: SABAR. Ingin rasanya aku bilang bahwa niatkan semua ini sebagai tirakat, bahwa segala yang terjadi disini adalah cobaan dan bentuk ujian sampai mana kita bisa bertahan. Tapi urung kulakukan sebab terlalu bertele-tele.

Angin, sekali lagi memang berpihak padaku kali ini. Sepoinya menciptakan suasana bahwa sabar-lah solusi paling tepat untuk sementara waktu ini. Untuk memperlambat pikiran macam-macam.

“Rencana aku mau pulang desember, Mas”

Aduh! Kenapa waktu kian sempit. Kenapa bulan dan bintang kini berjatuhan menimpa bola mataku dan angin malam kembali membekukan? Dadaku sesak tiba-tiba. Pikiranku kini kemana-mana. Bukankah dulu kau bilang bahwa akan pulang Maret tahun depan? Kenapa malah maju? Aduh!

Tapi sekali lagi, aku akan berusaha lega sebab kalimat yang belakangan membuat liar pikiranku tenang; memang sudah waktunya.

Dan demi malam yang paling setia, aku akan menunaikan puisiku atas dirimu. Akan ku selesaikan rinduku sendiri, akan ku tunaikan resahku sendiri, akan ku buyarkan lamunanku sendiri, akan ku kobarkan semangatku sendiri; semata untuk kebahagiaanmu.

Dirimu akan lama disini, akan tetap ada sebagai sumber kalimat yang tak pernah tamat.

Kamil, 


0 komentar:

Posting Komentar