Sabtu, 25 April 2020

Yang Tak Terduga



 Juni 1996
Seharian perutku belum terisi apapun kecuali air. Hari itu pondok sepi. Anak-anak sudah pada pulang. Maklum, liburan panjang semester genap. Aku sudah terbiasa tidak pulang setiap liburan. Bahkan dalam rentang tahun 1989 sampe 2002, hanya 2 kali aku shalat iedul fithri dirumah. Selebihnya sholat dipondok dan baru pulang sore harinya setelah sungkem Romo Yai.
Jam 3 sore, Hani, santri yang hidmah ndriver Yai, sedang memarkir mobil kijang Yai didepan dalem. Itu pertanda Beliau akan tindak menghadiri pengajian ke luar kota. Dan benar dugaanku. Malam nanti, rencananya Yai ngaos ke daerah Widang-Tuban.
Aku yang saat itu lapar banget, tiba-tiba saja timbul keinginan nderek (jawa:ikut) Yai. Pikirku "nanti kalo pengajian selesai, prasmananya pasti sip dan tentu beliau bakalan ngajak makan sopir dan pendereknya. Asyik dapat makan gratis” (he he he )
Aku mendekati Hani yang saat itu ngelapi mobil "Han, aku nderekno yai oleh po ra yo?" kataku. 
"Beres, InsyaAllah oleh... Tapi aku tak matur disik" Jawabnya. Singkat cerita, akhirnya Romo Yaipun mengizini.
Kami bertiga berangkat ba’da maghrib. Rencananya panitia menunggu beliau di area pesantren Langitan. Sekitar jam 8 malam kami sampai di Ponpes Langitan. Disana ternyata sudah ada Gus Wafi (putra alm. Yai  Aman), belakangan ini baru aku ketahui ternyata panitianya adalah teman Gus Wafi. Lama sekali kami menunggu, bahkan sampai hampir jam setengah 10 malam panitia tidak datang juga. Entah karena apa, akhirnya  tidak satupun panitia yang datang. "ngene iki lho piye, janji janji dewe kog disulayani dewe. Wes Han, ayo moleh wae" Dawuh Beliau.
Mendengar Beliau dawuh begitu, semakin lemaslah aku. Bayangan prasmanan gratis dengan segala menu lezat, sirna seketika. Dalam hati aku bergumam "matiiii aku nek Yai gak sido ngaos, piye ikii nasibkuuu.... jek urip ta gaak aku menisuk". Aku masuki mobil dengan perasaan yang tidak karu-karuan. Mobilpun berjalan keluar Pondok Langitan. Beliau mendel dan Hani -pun diam. Meskipun kelihatan diam, tapi hatiku terus ngomel "iki nek gak sido prasmanan, mangan opooo, terus piye nasibe wetengku iki"
Allohu Akbar!!
Ketika grundelan hati tak bisa dipaksa berhenti, tanpa kuduga Beliau dawuh, "Sup, wetengmu luwe yo? Engko nok pasar Babat ayo mangan, timbang ati ngersulo, gak ilok"
Seketika itu perasaanku campur aduk. Malu karena batinku terbaca oleh beliau. Tapi juga senang, karena gak jadi kelaparan. (Wkwkwkw. Dasar santri bocor alus!)
"Han gole’o warung bebek utowo ayam goreng" Lanjut Beliau. Mobilpun berhenti. Kami bertiga masuk diwarung pinggir jalan pasar Babat.Yai pinarak sendiri menghadap ke utara. Aku dan Hani disamping kanan beliau menghadap kebarat. Tepat dibelakangku ada tiang iklan rokok yang cukup terkenal pada masa itu.
Sambil dahar, sesekali beliau dawuh dengan Hani. Aku sendiri meski ndredek, tetep berusaha tidak menyia-nyiakankan momentum indah bersama Beliau (sweet memory). Juga lezatnya paha dan jenggutru bebek goreng. ( wkwkwkwkwk ).
Namun, aku tersentak ketika tanpa ku duga Beliau dawuh "Sup awakmu kepingin kuliah yo.... ?" Aku diam tak menjawab. Kalau ku jawab “tidak” toh kenyataanya memang iya. Kalau njawab “iya” aku juga tidak berani. Akhirnya beliau meneruskan dawuhnya "gak usah kuliah disek, manuto wong tuwo, ngapalno quran". Aku terheran-heran. Darimana Beliau tahu kalo aku pingin kuliah? Kalau dari orang tuaku, bisa dipastikan setiap sowan mesti denganku dan tidak pernah sekalipun matur tentang itu. Beliau meneruskan dawuhnya "Sup delo’en tulisan iklan rokok sing tok sendeni iku..”YANG PENTING RASANYA BUNG”. Ilmu iku yo ngunu Sup, “YANG PENTING MANFAAT DAN BAROKAH NYA BUNG".
Dawuh Beliau yang terakhir benar-benar menghujam relung hatiku. Selama perjalanan pulang hatiku terus menggemakan dawuh itu. Beliau mengajariku untuk bisa membedakan mana bungkus, mana isi, mana wasail, mana maqosid, mana simbol, mana substansi.

والله اعلم بالصواب


Rumahku Istanaku 23 Desember 2013.
Tulisan dan kisah Bapak. Yususf Hidayat



0 komentar:

Posting Komentar