Writing about you, is an effort to hold back homesickness

Selasa, 28 Januari 2020

Ketika Pagi Buta: Kenapa tiba-tiba ada rindu?

            Pagi-pagi begini, aku sudah merindukanmu. Aku juga heran, tidak seperti biasanya. Bahkan jauh sebelum aku terbangun dan membuka mata. Sepertinya rinduku semakin parau. Atau paru-paruku mulai sesak dengan simpanan perasaan-perasaan lain. Aku bahkan belum begitu yakin dengan ini.
            Senang melihat rekan-rekanmu keluar bilik, mengenakan pakaian biru-biru sragam sekolah, rapi, rambut klimis, wajah berseri, atau mungkin juga wangi, kaus kaki, sepatu, dan dengan gagah melangkah menuju halaman sekolah. Ku kira kau akan lebih dari mereka.
            Dan aku merindukan menjadi sepertimu. Siswa yang setiap pagi punya kepercayaan diri tinggi dengan segudang harapan-harapan yang sudah menyerang kepala. Ah, masa-masa sekolah memang mengasyikkan. Dan kau akan tahu bagaimana sebenarnya nikmat sekolah ketika telah selesai sekolahmu itu. kau tinggal mengenang-ngenang kejadian apa-apa, atau kesibukan apa-apa. Sungguh, soal ini kau harus semangat. Buat kenangan yang bagus-bagus.
            Aku juga rindu cerita-cerita soal sekolahmu. Atau tugas-tugas menumpuk, yang selalu membuatmu menggemaskan ketika serius mengerjakan atau mencari bahan-bahan. Dan disela-selanya, bahkan setelah rampung, kau selalu menukaskan senyum. Dan aku, tentu saja, telah lebih dulu menjerat itu, atau menatap dan menetap di kedalaman matamu yang rayu. Sebelum nanti kau lengang, berpamitan.
             



Catatan Kecil Sebelum Tidur: selamat tidur

                Selamat malam, mata yang selalu ku pandang dalam-dalam. Aku tak berharap apa-apa malam ini selain kedua pasang indra itu telah terpejam. Berbaringlah sebagai bintang yang menyala-nyala diangkasa, melesatkan duka bersama mimpi-mimpi yang selalu kita tautkan. Lepaskan jerat fikiran yang membuatmu terjaga tanpa kau duga; yang membuat kita sama-sama mengerti, bahwa kejenuhan akan selalu siap menjadi sebab kita enggan berhelat. 
               
               



Senin, 27 Januari 2020

Tak Perlu Kau Baca (catatan kecil tentang perhelatan sebentar kami)

                Di shaf paling awal, ujung kiri, ternyata ada kau. Dua baris tepat di depanku. Wirid menggema bersahutan dengan pipit yang samar-samar mengikuti lantunannya. Khalayak, kita tahu, telah tergolek mesra. Angin silir-silir. Burung berkejaran. Daun-daun terlihat segar setelah menyesapi embun.
                Selepas kegiatan shubuh, aku berjalan melewati halaman luas dengan saluran air yang baru dibuat melintang dari timur ke barat. Telah parkir beberapa mobil ber-plat macam-macam. Sepertinya sejak semalam, terlihat dari kacanya yang ngembun. Sambil melangkah, ku sesap udara yang (anggap saja) sejuk. Membiarkanya masuk ke tubuh melalui hidung dan mulut. Alhamdulillah. Sejuk atau tidak, ini tetap anugerah yang hebat; kehidupan.
                Cinta adalah pasangan serasi antara duka dan bahagia. Betapapun pahit duka yang menyelimuti seseorang, akan tetap berakhir manis jika dilandaskan pada cinta. Tapi terkadang, cinta kerap dihadirkan sebagai tokoh yang semena-mena; antagonis. Sebuah konsep yang kaya akan kedamaian, ketenangan, kenyamanan, keindahan, keserasian, pengertian, tiba-tiba berulah magis karena empunya.
                Oh ya. Semalam kau mengajakku berhelat. Aku bingung sebenarnya. Ada apa? Kau tampak serius, tidak seperti biasanya. Singkatnya, kau membawa perbincangan kita pada polemik radikalisme. Kau bicara bahwa dalam waktu dekat ini, akan ada tugas membuat Paper sebagai syarat ujian akhir semester. Dan kau, ingin berusaha agar menjadi yang terbaik sebagai persembahan buat orangtuamu.
“Aku pengen memberikan yang terbaik buat orangtua, Mas. Dan tak fikir, ini kesempatan untuk mewujudkan itu".
                Sambil terus mendengarkan kau bicara, aku berdoa biar semua prosesnya lancar. Aku janji akan membantu sebaik mungkin untuk keberhasilanmu. Semangat!


*tak perlu kau baca, 

Kamis, 23 Januari 2020

The Key To Everything Is Understanding



                Gagal total. Berulang kali aku mencoba agar mendapat perhatian beberapa fihak, termasuk dirimu soal lelah, atau flu yang menyerang belakangan ini. Tapi tak ada gunanya pula aku menceritakan keluhan-keluhan itu. Bahkan, malah ada yang menimpali kembali dengan keluhan. Mengeluh dibalas mengeluh. Bisa kau bayangkan sendiri bagaimana rasanya.
            Pada suatau kesempatan, harusnya kita sadar bahwa setiap manusia pasti punya masalahnya masing-masing. Kesulitan yang kita anggap hanya menimpa kita sendiri, ternyata tidak benar. Orang lain pasti merasakan juga. Bahkan bisa jadi lebih parah dari kita, lebih rumit masalahnya. Maka, akan sangat egois jika kita hanya ingin di dengarkan tanpa mau mendengarkan.

Akan sangat egois jika kita hanya ingin di dengarkan tanpa mau mendengarkan.

            Ironinya lagi, bersamaan dengan didengarnya keluhan kita, seringkali kita ini maunya sepaket dengan solusi, atau elu-eluan yang mendamaikan itu. Padahal, jika keluhan kita sudah ada yang mau mendengarpun itu sudah bagus. Orang sudah mau meluangkan waktu dan menyisihkan sedikit memorinya untuk cerita-cerita kitapun, itu sedah luar biasa. Tidak layak sebenarnya, jika kita terlalu berharap kepada orang, agar mau memberi masukan atau kata-kata bijak atas kepelikan yang kita bicarakan.
            Aku jadi ingat kata Salud dalam buku Ordinary People karya Andrea Hirata: Lebih baik dipukuli berdua dari pada dipukuli sendiri. Setidaknya, hal ini menggambarkan bahwa tidak ada manusia yang ingin sendirian dalam kesulitan. Apapun bentuknya. Selalu ingin teman. Setidaknya ‘mereka’ yang mau menjadi pelukan, sandaran, atau tempat berpulang bagi segala urusan-urusan yang meriuhkan. Beruntunglah, jika kau punya teman yang seperti itu. Berterimakasihlah, karena dia sudah rela turut menelan dukamu. Jika belum, jangan khawatir. Mari kita berusaha menjadi yang seperti itu. Yang mau menjadi pendengar baik bagi teman-teman kita, menjadi tempat mereka berbagi cerita.
            Ini bisa jadi langkah untuk menguatkan jiwa. Dari kisah macam-macam yang kita dengar, kita akan tahu bahwa hidup tidak hanya satu warna, tidak cuman tunggal rasa. Maka, sudah barang tentu, secara bertahap barangkali, kita akan memiliki automatically comprehension yang mampu menjadi benteng pertama kita. Bukankah kunci dari segala sesuatu adalah pemahaman?
            Dan kita, ini yang mulai ku sadari, akan naik turun secara bergantian. Sekarang aku merindukanmu, mungkin kau biasa-biasa saja. Siapa tahu, besok, balik kau yang merindukanku dan aku biasa-biasa saja. Tapi tenang, ini hanya spekulasi. Minimal, aku sudah sadar sejak awal bahwa inilah kehidupan, beginilah hubungan. Kelak, jika itu terjadi, aku akan berusaha terus mengimbangi. Membawamu pada situasi paling cerah bersama semangat yang kerap ku resap darimu.

            Oh, ya. Sebelum ku akhiri. Tulisan ini selesai siang ini, dan seharusnya tuntas tadi malam. Mungkin karena gejala rindu, belum sempat menulis aku sudah terpejam; kecapaian. Sudahlah.

Selamat Siang,

           




Rabu, 22 Januari 2020

Kau pun Akan Menjadi Kenangan


“Kita tidak pernah benar-benar sendiri”.
Begitu kata Fiersa Besari dalam buku Catatan Juang halaman 62.

            Waktu terus berjalan kedepan. Apa yang kita jalani adalah bentuk nyata dari masa depan. Aku sedikit menyimpang soal ini. Dalam benakku, masa depan bukan lagi besok, tapi telah dimulai saat ini. Masa depan bukan sekedar wacana-wacana atau pengharapan dengan berbagai rencana saja. Tapi hari ini, detik ini, telah dimulai yang namanya masa depan itu.

Masa depan bukan sekedar wacana-wacana atau pengharapan dengan berbagai rencana saja. Tapi hari ini, detik ini, telah dimulai yang namanya masa depan itu.

            Kau tentu tahu, bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mengabadikan peristiwa-peristiwa. Sesuatu yang dianggap berharga akan disimpan. Entah lewat foto, tulisan, atau hanya dengan mengingat-ingat. Alasannya dapat ku rumuskan menjadi dua. Adakalanya hal baik dan ada kalanya buruk. Yang baik, tentu berhubungan erat dengan yang namanya bahagia. Maka, seseorang ingin sekali menyimpan peristiwa membahagiakan itu, agar menjadi kenangan. Dan kelak, ketika jiwanya merasa hampa, ia buka kenangan bahagia itu sebagai pelelap tidurnya. Dan soal kenangan buruk, dapat kau pahami sendiri lah.
            Eh, sebentar. Aku yakin gambaranmu akan macam-macam. Maka akan ku arahkan, kurang lebih begini. Seseorang yang mau menyimpan peristiwa buruk, pastilah mereka yang punya kelapangan hati. Sebuah kemampuan untuk menangkap sisi baik dari keburukan. Dan ini seni. Tidak semua bisa melakukan ini. Orang yang seperti ini berarti telah berani menelan pahitnya pengalaman demi manisnya masa depan.
            Sebelumnya sudah saya bilang, waktu terus berjalan. Dan dalam perjalanan itu, tidak menutup kemungkinan, pasti ada lubang-lubang atau bebatuan yang sama. Kalau kita sudah tahu bagaimana ciri-ciri lubang itu, maka setidaknya, kita tidak akan terperosok dalam lubang yang sama. Dan pengalaman buruk, akan tersimpan sebagai pelajaran berharga, bahwa hidup adalah soal introspeksi.
            Pada berbagai kesempatan, termasuk malam ini, aku menimbang-nimbang tentang mereka yang pernah hadir sebagai bahagia, lalu lenyap menjadi duka. Meskipun tidak semua yang hilang adalah luka, tapi bagaimanapun bentuknya, perpisahan selalu berimbas nestapa. Sebenarnya aku tak pernah setuju dengan kata ‘pisah’. Namun, meski kemudian kami masih bisa bercengkama lewat surel, atau media online lainnya, waktu, sekali lagi, tak pernah bisa kembali. Semua akan terlewat begitu saja. Kami semakin menua, dan keakraban itu telah mendua. Lalu terciptalah kenangan-kenangan.

Meskipun tidak semua yang hilang adalah luka, tapi bagaimanapun bentuknya, perpisahan selalu berimbas nestapa.

            Dan secara langsung, tentu ini menyangkut tentang dirimu. Aku, sebenarnya, belum siap ketika esok kita akan bersenda menuai kenangan-kenangan itu. Aku juga belum yakin, kalau aku adalah bagian dari kenangan yang akan kau ingat kelak. Sebatas ini, aku berusaha meredam itu dengan mengingat andilmu membangkitkan semangatku. Dan kau tak perlu mengelak, karena senyummupun termasuk. Bahagiamupun, termasuk. Adamupun, termasuk.
            Nanti, ketika diantara kita terpaut sibuk yang memeluk kita masing-masing. Dan pada akhirnya tak sempat mengantarku – juga kamu – untuk berhelat, atau sekedar menyapa, maka aku akan selalu mengingatmu sebagai daya semangatku. Ini akan abadi, sebagai taruhan hidup dan mati.
            Tahun besok kau wisuda. Itu artinya akan ada dua kemungkinan yang pasti terjadi. Kau disini atau tidak. Aku sudah menyadari itu sejak mengenalmu. Bagiku (semoga kuat), disini atau tidak adalah sama. Yang terpenting bagiku adalah yang terbaik untukmu. Maka, tak pernah aku berdoa supaya kau tetap, atau agar kau begini, begini. Tak pernah. Yang selalu ku mintakan untukmu kepada Tuhan adalah yang terbaik untukmu.
            Pada paragraf paling akhir ini, aku menaruh banyak harap tentang semangatmu. Keberhasilanmu, bahagiamu. Dan, kau tahu, benar kata Bung Fiersa, bahwa kita tidak pernah benar-benar sendiri. Meski seluruh dunia menjauhi, kenangan akan hadir sebagai hangat yang selalu menemani. 

Selamat malam,





Selasa, 21 Januari 2020

There Is No Need For Concern


            Selamat larut malam. Aku bilang demikian sebab saat menulis ini, tepat pukul 00.23. Terlalu larut bagi manusia yang tak suka begadang. Akan ku bocorkan sedikit bahwa tulisan ini nantinya akan berupa-rupa. Dan kau tak usah membayangkan bahwa akan ada berbagai font yang ku pakai. Maksudku, bahasan dalam tulisan ini akan beraneka rasa.
            Petama, akan ku lanjutkan soal tulisan sebelum ini. Betapa kemudian realita selalu berkata demikian. Bahwa, apa yang telah terjadi sisipkan sebagai pelajaran. Ku rasa ini omong kosong. Dan pada saat yang sama ketika aku mengetik kalimat sampai disini, aku merasa lemah dihadapan kenyataan. Maka, betapa mirisnya keadaan dimana rencana berakar api. Sudahlah, ku rasa tak usah kita risaukan itu lagi. karena kebencian kita terhadap sesuatu, bisa saja membuat kita benci terhadap diri kita sendiri.

Kebencian kita terhadap sesuatu, bisa saja membuat kita benci terhadap diri kita sendiri

            Malam ini, sesuai janji, aku menunggu kedatanganmu sejak usai kegiatan tadi. Singkatnya kau hadir, seperti biasa, membawa semangat yang luar biasa. Kau tahu? Inilah kenapa aku selalu suka. Maka kau hadir sebagai rekan paling hangat, membuatku lelap membaca buku “Ordinary People” Karya Andrea Hirata dengan lahap. Tamat. Ditengah keseriusanmu menjelajah materi pelajaran sekolah di laptop, kau tahu, fikiranku terus saja menerka kiranya apa yang akan kutuliskan malam ini.
            Dan baru kutemukan jawabannya sejak aku mulai mengetik ini. Bahwa menulisn itu bukan cuman ilusi, tapi menulis adalah aksi. Percuma kita rancang sampai macam-macam kalau pada akhirnya hanya terus berputar dengan rapihnya rencana itu. Sama juga dengan rindu. Rindu itu aksi. Bukan hanya ilusi yang berlarut membuat kita semakin layu. Kalau seperti itu, rindu seakan-akan sama seperti virus atau sejenis penyakit. Bukan! Aku tidak setuju. Harusnya rindu itu aksi. Apa kiranya yang dapat kita hasilkan dari rindu itu. Semangat, misalnya. Atau karya. Itu hak kita sebagai perindu.
            Dan aku, sekali lagi, merasa ribuan kali lebih semangat. Aku merasa kita terpojokkan suasana. Malam yang begitu lengang. Juga suara angin yang sesekali berdesir menyerobot ventilasi dan jendela yang sengaja dibuka. Udara sedikit panas, hingga kau buka jaket putih kesayanganmu itu. Aku, sejak tadi, setelah menyelesaikan buku kuning karya Bung Andrea, terlentang bebas disebelahmu. Sambil memejamkan mata, membayangkan kau menjambak rambutku yang gatal. Seringkali, hal-hal yang kau anggap lumrah, mungkin bagiku adalah mustahak.
            Kita berkelakar tentang banyak hal. Sungguh, ini yang aku suka. Pun tadi aku bertanya apakah kau pernah punya target di tahun ini?. Kau, seperti biasa, sambil tersenyum lalu berkata bahwa belum sampai situ. Yang kau fokuskan adalah apa yang ada didepan mata. Bagaimana agar segala tugas dan kewajiban tuntas. Aku mengiyakan. Tak ada salahnya memang. Karena target hanya milik orang-orang yang belum yakin dengan langkahnya hari ini. Tapi aku yakin, seiring waktu kau pasti akan memiliki itu. Satu target hebat dalam hidupmu.
            Okelah, kita sudahi perhelatan kita kali ini. Aku yakin perhelatan seperti ini bukan tak ada manfaatnya. Meskipun aku sempat ragu, apakah bertahun-tahun yang akan datan kita selalu rekat. Ku harap rindu kerap menimpas keraguan itu.


Selamat malam, 

Senin, 20 Januari 2020

Bagian-Bagian Lain: Masih Soal Jiwa Yang Kuat



Karena beberapa faktor, kiranya tulisanku malam ini akan berhubungan erat dengan apa yang sebelumnya sudah ku serat. Tentu kau masih ingat. Dan bagaimanapun juga, manusia adalah makhluk sosial. Banyak orang dengan keinginan yang bermacam-macam.
Dan beruntung, hingga malam ini aku masih bisa merasakan nafas segar udara pesantren. Perhelatan banyak orang dari berbagai latar belakang membuat kesan ‘bersosial’ menjadi lebih kentara. Resiko ketidak cocokan tentu akan banyak sekali. Seperti daya tahan tubuh terhadap dingin, misalnya. Tiap orang tentu berbeda. Kadang kita kedinginan, orang lain justru sumuk. Dan sebaliknya.
Sampai kelewat, bahwa pembahasan kita malam ini adalah soal apa yang telah ku tulis sebelumnya. Perihal bahwa betapa pentingnya memiliki jiwa yang kuat. Aku yakin tak akan ada yang mengelak ini. Semua pasti mengiyakan bahwa memiliki jiwa kuat sama pentingnya dengan memiliki cinta yang kuat. Eak!
Jadi, begini. Apa yang kerap aku bicarakan sering kali adalah apa yang akan, masih, atau terus ku usahakan. Melulu aku berkata soal jiwa yang kuat, karena memang ada beberapa temuan yang (menurutku) tersebab karena 'kurang kuat' jiwa yang dimilikinya. Seperti pada kasus hangat belakangan ini. Salah satu rekan belajarku di kelas dikeluarkan dari pesantren – yang infonya – sebab dia ngepunk. Kesan pertama yang bisa ku sampaikan adalah bahwa, kenapa aku baru tahu? Se-lelet inikah aku mengenai informasi rekan-rekan sekelasku sendiri?
Namun secara perinci, mungkin, nanti akan kusampaikan ketidak setujuanku pada beberapa pihak yang pada akhirnya membuatku menerka pertanyaan besar orang tuanya. Kira-kira begini: “Aku mondokne anakku ini kan biar bisa faham agama. Biar tekun agamanya bisa diawasi lagsung oleh ustadz-ustaadznya. Tapi bagaimana ceritanya? Kok anak saya bisa sampai menjadi begini? Apa tidak di awasi? Apa dibiarkan saja?”
Dan pertanyaan itu nampaknya selalu menjejali fikiran saya. Lalu begini. Menurut analisa asal-asalan (tapi jangan mentah-mentah kau tolak), satu dari beberapa faktor yang mengakibatkan melencengnya tindakan seorang anak adalah soal pem-buly-an. Aku yakin, tak ada yang suka diejek temannya. Apalagi sampai pada taraf, ada-tiadanya sama saja. Sungguh, hal ini akan menjadi pemicu utama seorang anak merasa asing dengan lingkungan ‘baik’ nya. Sehingga dia akan mencari lingkungan lain yang sesuai dengan apa yang ia inginkan, juga yang menerimaya. Nah, pada fase ini, kalau memang mujur, maka anak ini akan baik-baik saja. Kalau ajur, maka yang terjadi adalah kelewat batas.
Kita tahu, khususnya di pesantren, tentu bullying seakan telah menjadi hal yang lumrah saja. Tapi dalam beberapa konteks, tampaknya akan sangat tidak adil jika hal itu tidak diimbangi dengan dukungan-dukungan moral. Akan sangat timpang jika tidak ada yang berperan sebagai penguat jiwanya. Siapa? Siapa lagi kalau buka seniornya? Kalau bukan ustadznya? Kalau bukan rekan terdekatnya?
Ini menjadi semacam pembahasan menarik, sebab, kalau dibiarkan saja pasti akan merambah dan membudaya. Oh ya, sebelum aku lanjutkan. Sebenarnya bukan urusanku membahas perihal ini. Hanya saja, fikiranku tak bisa lelap. Maaf saja jika ada salah sana-sini. Atau argumen yang memang sengaja tak kuberi dasar.
Kita lanjutkan. Disinilah pentingnya peran pembimbing bagi mereka. Juga koordinasi hangat antar semua lini. Pembimbing kepada tenaga pengajar, senior kepada pembimbing, dan lain sebagainya yang barangtentu sangat menunjang kestabilan itu. Kita seringkali masih mengesampingkan usaha agar jiwa mereka kuat......

Aduh, besok kita lanjut ya. Kepalaku sudah pening sekali.

Taip tidak lengkap rasanya kalau aku menganggurkan rinduku ini. Kepadamu, yang selalu menjadi alasanku terus semangat.
Selamat Malam...

Sebentar, ini terakhir. Aku hanya perlu menjelaskan bahwa malam ini hidungku terasa ngilu. Ini berarti aku akan berdoa, agar kau tak mengalami hal yang sama sepertiku.

Oke, selamat malam



Minggu, 19 Januari 2020

Biar Ototmu Kecil, Asal Jiwamu Besar


            Setelah buku “Tiba Sebelum Berangkat” karya Faisal Oddang habis kubaca pagi tadi, langsung ku ambil buku “Orang-Orang Biasa” karya Andrea Hirata. Sebelum ku buka dan mulai membaca buku kedua dalam bulan ini, aku menghela nafas. Masih teringat bagamana cerita aneh milik Faisal itu. Rangkaian kisah yang diserat berdasarkan sejarah dan dokumen-dokumen penting kebudayaan Sulawesi. Menarik sekali.
            Buku yang dari awal, sebenarnya, membuatku bosan. Namun ku paksa. Karena aku percaya kisahnya bakal bagus sebab penulisnya. Akhirnya benar, sampai tengah, ceritanya begitu menggetarkan. Membuat fikiran tak bisa tenang memikirkan nahasnya derita Mapata. Dan kau tahu, derita itu ia rasakan dari awal hingga akhir cerita. Dan benar-benar nelangsa. Kasihan. Dari situ, aku kiranya bisa mengambil beberapa pelajaran. Salah satunya adalah soal selektif dalam bergaul. Sisanya, ku kira tak perlu ku sampaikan disini.
            Harapanku, dalam buku kedua, milik Andrea ini, akan ku temui kisah-kisah inspiratif. Pembangkit semangat dan penggugah nurani agar terus berbuat baik. Oh iya, sebelum ku lanjutkan, akan ku sampaikan dawuh guru menulisku, Pak Zulianto. Aku masih ingat betul, beliau berkata: Kalau membaca itu sing mesisan. Bacalah tulisan orang-orang hebat.
            Malam ini, sampai pada halaman 67. Ini berarti akhir dari bab yang berjudul ‘Tidaklah Selamanya Sulit’, aku benar-benar menikmati. Ah iya. Namanya juga tulisan Andrea Hirata, siapa pula yang tidak menikmati tulisan dari penulis kondang ini. Dari awal membaca, sungguh ada saja hal-hal sederhana yang membuat aku sadar bahwa menghargai peristiwa sama pentingnya dengan menyelesaikan periatiwa.
            Sampai sini saja, ada banyak pesan yang tersampaikan. Diantaranya ada sangkut pautnya dengan apa yang telah ku tulis sebelumnya. Bahwa, orang-orang yang berotot kuat akan kalah dengan orang-orang yang berjiwa kuat. Tadi aku sempat kefikiran untuk bahan cerpenku selanjutnya. Tapi ku tinggal saja karena masih asyik membaca. Sekrang agak lupa. Seingatku, soal anak yang dibuli itu, yang dalam buku Andrea bernama Salud. Atau cerita Aini anak Mardinah yang bangkit dari tolol turunan. Sebab Bapaknya meninggal, ia jadi teguh bercita-cita sebagai dokter ahli. Kiranya seperti itu.

Orang-orang yang berotot kuat akan kalah dengan orang-orang yang berjiwa kuat.
            Seperti biasanya, aku akan rehat kalau hampir tengah malam. Dan menuliskan entah apa sebelum kemudian memejamkan mata. Atau memikirkan sesuatu yang paling ku ingat seharian ini. Seperti soal kuatnya jiwa. Kadang juga ingat kamu. Senyummu, semangatmu, tawamu, dan manjamu saat mengadu resah itu. Manusia seringkali memang begitu. Memilih tidak sendiri untuk mengatasi persoalan-persoalan. Meskipun secara dhohir berkata; Aku sendiri saja, tapi hati kecilnya akan bilang bahwa; Berdua lebih baik. Atau mungkin kodradnya memang seperti itu? Kelebihan yang dipunyai manusia satu, diciptakan untuk menambal kekurangan manusia lainnya. Dan pada akhirnya, puncak kelebihan adalah milik Allah. Semua manusia pasti akan berserah dan meminta pertolongan kepada dzat yang maha kuasa itu. 

Kelebihan yang dipunyai manusia satu, diciptakan untuk menambal kekurangan manusia lainnya. 
            Setidaknya sejauh ini, yang kulihat darimu adalah semangat. Sehingga aku juga semangat. Jangan sampai kau menangis, dan aku akan bersumpah bahwa nanti, saat kau merasa jatuh, aku akan menguatkamu. Membuatmu bangkit dan tersenyum sebagai manusia yang bisa menebar semangat dan bahagia kepada manusia lainnya. Berjanjilah untuk ini! Karena, semestinya kau tahu, bahwa kebahagiaan sesungguhnya adalah tersenyum bersama-sama. Bukan tersenyum diatas penderitaan sesama. Begitu kan ya? Wkwkwk
            Baiklah, akan ku akhiri. Ini berarti mataku sudah berat sebelah. Fikiranku juga terlalu kenyang mengingatmu. Selamat malam. Selamat istirahat.  




Sabtu, 18 Januari 2020

Tonight I Will Tell About Yesterday



“I want to rest and to think of you. But my head turned into your bedroom long before i even knew your name”
(Aku ingin istirahat dari mengingatmu. Tapi kepalaku sudah menjadi tempat tidurmu jauh sebelum aku mengenal namamu).
- M. Aan Mansyur -

Kali ini aku akan bercerita tentang kemarin. Perhelatan panjang yang membawaku pada fase pengertian. Kemarin itu, seusai perjalanan kita yang menghabiskan – kurang lebih – tiga jam-an itu, aku benar-benar tidak bisa menulisakan apapun. Fikiranku seakan sibuk merenungkan apa yang telah kita perbincangkan.
            Kita melawan arah angin, menyelarasi jalan raya yang lengang. Menuju – pertama – loket pembayaran listrik. Disitu, saat aku melakukan transaksi, kau membolak-balik koran serius, sesekali tersenyum. “Mas, Mas! Nikilo konco dolenku! Aku menolah, menuju kearahmu. Dan kau menunjukkan berita utama pada koran itu. Ada gambar Bupati dikerubungi tim paskibra yang beberapa diantaranya adalah rekanmu. “Aku sueneng ningali rencang-rencang bahagia ngeten”. Aku mengiyakan, lalu menatapmu. Betapa aku juga senang melihatmu tersenyum begini, batinku.
            Lalu – kedua – kita beranjak. Meresapi angin dan bising knalpot. “Mau kemana lagi?”. aku membuka pembicaraan. Dan kau menjawab dengan jawaban yang selalu bisa kutebak. Memang itu jawaban yang kerap kau lontarkan saat kutanya soal tujuan. “Sudah makan?” Tanyaku basa-basi, meskipun sebenarnya tadi aku sudah melihatmu makan. Sudah, katamu. Sambil terus berjalan, aku bilang padamu bahwa kita akan menuju bakso tegal. Bukan makan, nyemil. Dan kau tak berhak menolak. Haha. Beberapa tahun terakhir, ku akui, ngobrol sambil naik motor adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Tidak ada duanya. Tidak kalah dengan nongkrong di kedai atau cafe mewah.
             Sambil nyemil pentol, kita tukar cerita. Kau bicara banyak soal hari-harimu, juga beberapa kepelikan yang kau rasakan sejak lama. “Kulo suwumpek ten pondok eh”. Begitu katamu. Aku mencoba menerka, barangkali karena padatnya kegiatan ya? Karena bagaimanapun juga, sekolahmu pulang jam setengah tiga sore. Lalu setengah jamnya lagi sudah ashar, lalu kegiatan, lalu maghrib, lalu kegiatan, lalu isya’ dan kegiatan, baru kau bisa rebahan. kira-kira begitu terkaanku. Kau kecapaian.
            Itu salah satunya, katamu. Sambil menyeruput es cincau susu, kau melanjutkan. Bahwa ada hal lain yang membuatmu kikuk. Yaitu semakin ketatnya peraturan. Dan yang menjadi permasalah bukan soal ketatnya, tapi penegakan peraturannya yang seringkali plin-plan. Kau bilang, memang, yang membuat peraturan jelas Guru Sepuh. Tapi penegak peraturan nyatanya yang membuat keikhlasan menjalankan aturan menjadi enggan. Ya itu tadi, seringkali plin-plan.
            Soal ini, aku lebih sering mendengarkan dan mengiyakan beberapa statementmu yang cocok. Aku sengaja begitu agar kau tau dengan sendirinya, bahwa tidak ada yang benar atau salah dalam perjalanan ini. Karena aku yakin. Bagaimanapun juga, kelak, kau akan mengetahui hal itu dengan sendirinya.
            Sambil mendengarmu bercerita, juga sesekali kau kulum senyum dibibirmu itu, aku memantapkan dalam hati bahwa aku tak akan berhenti mendoakanmu. Aku ingin yang terbaik untukmu. Maka, aku akan terus mendoakanmu.
            Sambil berkendara, waktu perjalanan pulang, kau bercerita bahwa dulu kau pernah ditawari orang permen berbahaya. Waktu itu, katamu, kau sudah kelas 6 Sd. Dan wajahmu masih teramat imut untuk anak seumuran itu. “Lha sak niki, masio pun kelas 2 Aliyyah tapi wajah tasek imut-imut ngeten. Heheh”. Kira-kira kau tersenyum saat mengucapkan hal ini. Maka kubalas senyum juga. Dalam batin, aku membalas, bahwa meski perawakanmu manis tapi jiwamu besar. Tidak masalah dengan postur tubuh, atau apapun yang nampaknya masih usia pisang. Yang kukenal, kau itu besar jiwanya. Dan aku belajar banyak hal darimu.
            Sebenarnya masih panjang ceritanya. Tapi kukira itu yang inti. Disamping juga malam ini aku benar-benar lelah. Entah kenapa, aku belum tahu pasti. Tidak seperti biasanya.

Selamat malam,



Kamis, 16 Januari 2020

I Never Believe in Destruction!


Persetan dengan kebinasaan! Sejak beberapa hari kita tak bertemu, dendam yang kukira akan mengakar dan menjalar kepermukaan malah menjadi rindu. Aku justru kelewat batas kalau sudah mengingatmu. Duka kusangka bahagia, bahagia kunikmati layaknya tawa-tawa kita. Dan aku tidak pernah mau senasib dengan jera.
            Kau tak usah khawatir soal bagaimana kesehatanku. Walaupun sebetulnya itu yang kutunggu. Kau tanyai aku soal makan, mandi, atau hal-hal yang lumrah dilakukan ibu pada anak-anaknya yang dimanja itu. Ah! Maniak!
            Manusia selalu dendam dengan luputnya. Tidak ada yang benar-benar merasa nyaman dengan kesalahan. Kau tahu? Semakin jauh aku berlari darimu, semakin pula wajahmu melekat dalam ingatanku. Memang, aku telah mengaku kalah untuk banyak hal. Kau yang selalau banyak memberiku alasan agar terus berbenah. Kau yang kerap menempa egoku hingga pada akhirnya aku ingin lebih kuat.
            Kau tak boleh pergi! Persetan dengan kebinasaan!. Hingga pada malam-malam setelah tulisan ini merayap pada langit mimpiku, aku tak peduli kau baca atau tidak. Baik sekarang atau kapanpun, aku tak peduli. Aku menulis ini memang bukan untuk kau baca! Aku hanya ingin memberi kepastian kepada diriku sendiri bahwa aku mencintaimu. Bahwa aku menolak kebinasaan hanya karena ingin selalu bersamamu!


Selamat malam, 

_____
Aku tak pernah percaya pada kebinasaan.
Orang-orang yang sering kali kita lihat tak bernyawa itu, ternyata hanya pindahan
dan akan hidup kembali sebagai dirinya sendiri.
Tidak butuh basa-basi. Atau topeng-topeng penutup aib sengkuni.
Semua akan kentara sebagaimana semestinya.

Dan kau, barangkali, baru akan mengakui sebesar apa rinduku ini
setelah kita dipertemukan sebagai jiwa yang apa adanya.
Aku bisa melihat seisi tubuhmu meski kau tak mau,
kau bisa melihat milikku meski malu-malu

Lalu, haruskah kita tunggu bersama hari perpindahan itu?
Akankah kita hanya akan bercinta dalam cerita dan kata-kata?


لم أؤمن قط بالدمار.
الأشخاص الذين نراهم في كثير من الأحيان هامدين ، اتضح أنه مجرد نقل
والعودة إلى الحياة كما هو نفسه.
لا حاجة لمزيد من اللغط. أو غطاء قناع عار.
كل شيء سيكون واضحا كما ينبغي.

وأنت ، ربما ، سوف تعترف فقط كم افتقد هذا
بعد أن نجتمع معا كما الروح.
أستطيع أن أرى جسمك كله حتى لو كنت لا تريد ،
تستطيع أن ترى الألغام على الرغم من خجول

ثم ، يجب أن ننتظر معا ليوم النقل؟
هل سنجعل الحب في القصص والكلمات فقط؟

Afwan, 23.16 / 16 Januari 2020


Rabu, 15 Januari 2020

Soal Keberanian Untuk Memulai


            Mendung tiba-tiba mengepung langit sore yang mekar. Menggiring lamunan pada rintik-rintik hujan. Aku mengendus kesal sebab tingkahku sendiri. Rindu yang kukira sudah lulut malah berperan sebagai sengkuni. Sebenarnya aku tahu bahwa kau tak akan mau tahu soal ini. Hanya saja keadaan membuatku mengalah, dan kuputuskan menemuimu selepas isya’.
            Beriringan dengan hujan, aku berbaur dengan genangan air. Melangkah sekenanya menuju bilik yang barangtentu kau ada disana. Aku sudah titip salam lewat Tio untukmu. Sekedar meyakinkan  bahwa aku akan kesana dan kau harus ada. Tio ini, sekali lagi, adalah rekan paling baik dikelas. Aku mengenalnya sebagai pribadi yang baik. Kelak, aku akan meberi sesuatu untuknya.
            “Hei”. Sapa-menyapa. Lempar tawa. Dan kau bahkan bercerita soal keresahanmu pada beberapa hal. Soal gambar yang kau buat story itu. Katamu, itu iseng-iseng saja. Dimintai tolong sama mbak (yang aku belum begitu tahu itu siapa). Juga soal kameramu yang lensanya error itu. Sampai pada masalah tugas kita dua bulan yang akan datang.
            “Asline aku pengen mengembangkan, Mas! Tapi aku takut eh!”. Aku menangkap arah pembicaraanmu. Itu sama seperti apa yang pernah kualami dulu. “Ndak papa! Apa yang kau takutkan?”. “Ya takut ae”. “Ndak papa. Ini justru kesempatan besar buat kamu untuk melatih keberanian. Aku dulu juga sama, takut. Tapi kalau setiap akan mencoba terus saja takut, kapan kita berani?”
            Kau memanggut-manggut dengan bumbu senyum khas milikmu itu. Ah! Lagi-lagi aku ingin menikmati itu sendiri!. Kubuang pandangan kearah tempias hujan yang membasahi lantai didepan kami. Sembari meyakinkan diri bahwa tantangan paling mendasar dari segala sesuatu adalah berani mencoba! Termasuk soal ini, mengenalmu. Andai saja dulu aku tak kunjung berani menanyakan alamat rumahmu, atau namamu, pasti yang kubisa hanya terus membayagkan kedekatan seperti ini. Dan untungnya aku berhasil. Setidaknya untuk membuat kita saling kenal. Selebihnya, biar tinggal.

            Entahlah, setidaknya, untuk beberapa hari terakhir aku merasa damai. Sambil mendalami pengertian bahwa, tidak semua harapan musti diperjuangkan. Tidak semua cinta musti dipertahankan. Besok, kita lanjutkan tulisan ini dengan dasar cerita-ceritamu, rautmu, senyummu. Juga dengan ketulusan yang selalu berusaha kuperbenah.

            Selamat tidur, 

Selasa, 14 Januari 2020

Dalam Tulisan Ini, Tidak Ada Kejelasan. Jadi, Tak Perlu Kau Baca!



            Dua hari ini hujan belum turun. Dan sore sudah terlewati seperti sedia kala. Langit merah dengan senja yang manja. Tapi bagaimanapun juga, mendung adalah peristiwa yang sedikit-banyak ku rindukan. Mengenai syahdunya air hujan membasuh daun-daun, juga atap dan segala yang menetap.
            Bersamaan dengan itu, hari-harimu sepertinya menyenangkan. Tak pernah lempar kabar berarti tawamu semakin mekar, dan lapangku semakin lebar. Aku bahkan tak pernah sanggup melihatmu diam tanpa kuluman di bibirmu. Atau kerutan-kerutan manja yang mengakar pada setiap ceritamu. Jangankan sekali, selamanyapun aku sanggup menjadi duka yang bisa membahagiakanmu.
             Kau jangan khawatir. Bukankah aku selalu bilang bahwa jika kau butuh apa-apa, bilang aku. Tentu aku akan membantu. Aku tak ingin kau kerepotan dan terlalu riuh memintal keadaan. Kau tidak sendiri. Ada kita. Dan barangkali, akulah yang perlu kau khawatirkan. Aku selalu berharap setiap detik adalah dirimu. Detak jarum jam menyebut namamu. Bahkan hembusan nafas atau aliran darahku mampu merapal keadaan kita masing-masing.
            Dua hari ini kau telah lempar senyum. Dan aku menimpali senyum juga seperti seharusnya. Hati gundah dengan rindu yang luluh. Tapi bagaimanapun juga, temu adalah candu yang telah banyak membekaskan haru. Menyoal tingkah yang menawarkan banyak hal, juga nama dan hati yang rebah.
            Selamat malam, kusampaikan. Karena angin sepertinya lelah kupaksa membuntutimu. Tapi ia tak pernah bilang. Aku tahu hal ini dari gerah yang bertolak meski angin kencang. Akakn kubiarkan segalanya mengambang sebagai angan-angan. Tapi aku yakin, suatu saat pasti akan kuucapkan dan kau khusyuk mendengarkan.
            Senyummu. Oh, senyummu! Jangan sampai kau bawa hal itu pada kebinasaan. Kau tahu? Bulan tak akan berpijar tanpa bantuan mentari. Langit tak akan gemilang tanpa adanya bintang. Sepertinya kita senasib soal ini. Saling berkaitan.
“Berkaitan bagaimana?”

“Tidak tahu!”

Senin, 13 Januari 2020

Leksikon Kerinduan



            Sebenarnya sudah lama aku merencanakan hal itu. Bahkan bisa kulakukan setiap hari, kalau aku mau. Tapi pertimbanganku, itu berlebihan. Bisa saja ku titipkan salam lewat Tio, rekan sekamarmu yang juga temanku dikelas diniyah. Atau lewat Ma’arif. Atau lewat siapapun yang bisa saja kumintai tolong menyampaikan salamku kepadamu. Tapi kembali lagi, ku rasa itu berlebihan.
            Kau selalu baik, aku tabik. Sehingga aku mengurungkan banyak niat kebodohan hanya karena agar kau selalu senang. Tenang dengan sejawatmu, tanpa perlu memperdulikan sikap-sikap yang tak perlu. Ah, kau bahkan selalu tak peduli dengan rayuanku. Kau selalu tahu porsi, bersikap baik dan bicara berisi.
            Sampai aku lelah karena terus merasa kalah. Segala perasaan yang berkutat pada rindu selalu – seakan-akan – memaksaku untuk kita bertemu. Dan itu melelahkan. Memeras fikiran dan menjemur perasaan pada kefana’an. Kau bahkan tetap seperti sedia kala. Tak pernah fikir panjang menyoal kegilaan yang tentunya tak berguna.
            Sebagai bayarnya, aku mendoakanmu. Selalu. Aku ingin kau tersenyum dan semangat.      Aku ingin kau menjadi hebat. Bukankah itu yang diharapkan dari seorang pecinta kepada yang dicintainya? Menyoal perhelatan, senyum dan cerita, itu bonus. Sebagai penenang gundah. Akan sangat magis andai saja hal itu kita tolak. Disamping kita sama-sama faham bahwa manusia memang tercipta sebagai makhluk yang memiliki keinginan masing-masing.
            Terakhir, kemarin malam. Sungguh, aku telah bersabar dalam penantian-penantian. Atau berserah kepada rindu yang tak lagi punya iman. Niatku sudah bulat untuk mengirim salam kepadamu. Hah! Tapi urung lagi! aku baner-benar tidak mau kau tidak enak hati. Aku tak mau hadir sebagai pengganggu dalam hidupmu. Tapi rindu ini terus mendesak!
            Selang beberapa waktu, tanpa sengaja, kita bertemu. Kau membawa bingkisan untukku entah apa. meskipun pada akhirnya akan kubuka dan ku makan. Terimakasih, sungguh. Soal ini, aku mengaku bodoh untuk menuliskannya. Aku tak bisa mengungkapkan betapa senangnya diriku, betapa tuntas luka rinduku yang lalu.
            Aku ingin kita selalu baik sebagai manusia yang baik-baik.


Jumat, 10 Januari 2020

Selamat! Kau Telah Meloloskanku Dari Sekarat!



            Berbohongnya tindakan kita terhadap perasaan kita sendiri, dengan alasan apapun, ternyata tetap saja merugikan. Malah lebih parah ketimbang resiko yang kita perkirakan kalau saja kita turuti perasaan itu. Selain pada dasarnya berbohong memang tidak baik, terkadang ego itu perlu dipertimbangkan. Tidak melulu kemauan kita harus dituruti. Tidak selalu apa yang kita hindari musti kita musuhi. Kau mungkin tahu, kemana arah perbincangan ini.
            Mulanya aku keras kepala. Aku bertekad tidak akan menemuimu dengan cara apapun. Mengunjungi bilikmu, atau menyandarkan pertemuan kita pada keperluan-keperluan yang sebenarnya tidak penting. Bakan ketika melihatmu, sudah kuyakinkan, tidak akan kusapa dirimu. Terkesan seperti benar-benar membencimu memang. Tapi aku percaya, dengan semakin membencimu, kelak, aku akan lebih menghargaimu.
            Tapi aku salah soal itu. Tidak ada baiknya segala sesuatu yang berbau kebencian. Terlebih yang kulakukan adalah memaksa. Aku memaksa diriku agar membencimu. Aku memaksa kakiku agar tidak melangkah menujumu. Aku juga memaksa mataku agar lekas berpaling ketika melihatmu. Tapi segala usaha itu semakin membuatu sesat; sesak.
            Meskipun aku berjalan dengan langkah kuat, tapi setiap tapak adalah tangisan. Akupun kerap menyalahkan diriku sendiri kalau sudah mencari keburukanmu. Setelah kupikir-pikir, bukan itu langkah yang tepat. Kau tahu, bagaimanapun juga, berhelat denganmu baik-baik adalah cara terbaik. Dan kau perlu tahu, kuperoleh segudang pemahaman ini darimu. Tentang bersikap sewajarnya. Jangan berlebihan dalam berharap. Dan banyak hal.
            Maka dalam beberapa kesempatan, ketika waktuku luang dan aku ingin menemuimu, ku temui saja dirimu. Tanpa perlu berbohong dan membuat bertele-tele alasan agar terliat kuat. Tidak perlu seperti itu. Karena definisi rapuh adalah membohongi diri sendiri. Dan mengaku rapuh adalah bentuk nyata dari kebodohan.
Karena definisi rapuh adalah membohongi diri sendiri. Dan mengaku rapuh adalah bentuk nyata dari kebodohan.
            Nyatanya, semua baik-baik saja. Kau tetap tersenyum seperti sebelumnya. Bahkan lebih mekar dan tentu sangat menyenangkan melihat kulum bibir itu. Juga tingkahmu, ucapanmu yang singkat-singkat seperti dalam chatingan kita itu. Aku suka sekali. Aku bersyukur telah merindukanmu. Aku bersyukur karena darimu, aku belajar dan menemukan jawaban atas masalah-masalah yang menyerang perhelatan kita.

            Intinya, selamat berbahagia untuk diriku sendiri. 

Senin, 06 Januari 2020

Setelah itu,



            Liburan semester telah usai. Dan sudah kuniatkan, bahwa harus ada pelajaran berharga yang bisa kudapatkan. Dari apa – siapa saja. Termasuk darimu. Hahaha. Sungguh, aku tidak berbohong soal ini.
Dalam kamus otakku, kau termasuk orang yang cuek sekali. Dan sikap itu, ku rasa sangat kental hingga mendarah daging. Dalam artian, mau bagaimanapun kondisinya, mau dengan siapapun kau bercengkrama, itulah dirimu. Tapi hebatnya, kau respondsive sekali. Secara sosial kau lebih jago dibandingkan diriku.
            Satu yang paling aku ingat, selepas aku mengirimkan pesan panjang sekali dan kau membalas singkat-singkat. Tentu aku sedikit kecewa, dan sengaja ku kirimkan emotikon yang bisa mewakili kekecewaanku itu. Tapi, sekali lagi, yang paling kuingat setelah aku mengirim emotikon itu adalah jawabanmu. Kira-kira begini: “Maaf ya, Mas. Gak enak ya chatingan sama aku?”.
            Aku bingung seketika. Mau tertawa itu takut dosa. Mau nangis itu juga ngapain. Akhirnya aku renungkan jawaban itu. Sampai akhirnya kesimpulanlah yang menyatakah bahwa aku yang salah. Akulah yang terlalu egois, menuntut agar pesan ghaib itu selalu dibalas. Setiap aku sapa, kau harus sapa balik. Setiap kuberi semangat, itu berarti kau harus beri semangat balik. Akhirnya aku berniat minta maaf.
            Sebelum kuputuskan untuk mengirim kata: maaf ya, aku berfikir lama tentang kemungkinan-kemungkinan yang pasti terjadi. Seperti; minta maaf untuk apa? dan lain sebagainya. Sesuatu yang tak ingin itu terulang lagi. Oh, ya. Ini sampai jadi puisi loh. Begini:
Aku ingin sesekali merasa bosan telah menjadikanmu segalanya. Aku ingin minta maaf tanpa kau tanyai kenapa.
            Akhirnya, fix, ku kirim kata maaf itu. Wow!! Dan benar saja, selang beberapa jam kaupun membalas: buat?
            Aku sempat heran untuk beberapa hari. Dan pesan itu belum juga kubalas. Aku berfikir ini salah siapa. Kok sampai bisa ditebak begini. Apakah saking bodohnya aku, tiba-tiba minta maaf tanpa sebab yang jelas. Atau memang kau yang kurang peka. Hahaha. Sudahlah, aku tak terlalu mempermasalahkan ini. Lagi pula, setelah kejadian ini, kau memposting foto dengan caption yang mak tes tes.
Kira-kira begini: “Bersikap bodo amat terhadap orang yang amat bodoh”
            Sejalan dengan ini, beberapa hari sebelum kembali (ini artinya liburan hampir habis). Aku mencoba mengambil sesuatu yang lebih darimu. Bahwa, tidak ada gunanya memikirkan sesuatu yang tak perlu dipikirkan. Berskaplah biasa saja, jangan berlebihan. Jangan juga terlalu berharap, biar tidak sakit kalau yang kita harapkan tidak kesampaian.
            Dan di akhir tulisan ini, berarti sudah hampir seminggu setelah kita kembali se-jagat, kita belum bertemu. Dan demi mengaminkan perkataanmu itu, juga janjiku agar tidak lagi rapuh, sengaja aku tidak mencari-carimu. Tidak menemuimu. Karena aku tahu, hari-harimu akan lebih padat ketika semua kegiatan sudah aktif seperti ini. Aku takut mengganggu jam istirahatmu. Aku takut mencampuri jam berhelatmu dengan rekan sebayamu.

            Bukan masalah, jika sampai sebulan, bahkan berbulan-bulan kita tak bertatap muka. Lagi pula, kau tak pernah lepas dari pelukan doaku.