“Kita tidak pernah benar-benar sendiri”.
Begitu kata Fiersa Besari dalam buku Catatan Juang halaman 62.
Waktu terus
berjalan kedepan. Apa yang kita jalani adalah bentuk nyata dari masa depan. Aku
sedikit menyimpang soal ini. Dalam benakku, masa depan bukan lagi besok, tapi telah dimulai saat ini. Masa depan
bukan sekedar wacana-wacana atau pengharapan dengan berbagai rencana saja. Tapi
hari ini, detik ini, telah dimulai yang namanya masa depan itu.
Masa depan bukan sekedar wacana-wacana atau pengharapan dengan berbagai rencana saja. Tapi hari ini, detik ini, telah dimulai yang namanya masa depan itu.
Kau tentu tahu,
bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mengabadikan peristiwa-peristiwa. Sesuatu
yang dianggap berharga akan disimpan. Entah lewat foto, tulisan, atau hanya
dengan mengingat-ingat. Alasannya dapat ku rumuskan menjadi dua. Adakalanya hal
baik dan ada kalanya buruk. Yang baik, tentu berhubungan erat dengan yang
namanya bahagia. Maka, seseorang ingin sekali menyimpan peristiwa membahagiakan
itu, agar menjadi kenangan. Dan kelak, ketika jiwanya merasa hampa, ia buka
kenangan bahagia itu sebagai pelelap tidurnya. Dan soal kenangan buruk, dapat
kau pahami sendiri lah.
Eh, sebentar. Aku yakin
gambaranmu akan macam-macam. Maka akan ku arahkan, kurang lebih begini. Seseorang
yang mau menyimpan peristiwa buruk, pastilah mereka yang punya kelapangan hati.
Sebuah kemampuan untuk menangkap sisi baik dari keburukan. Dan ini seni. Tidak semua
bisa melakukan ini. Orang yang seperti ini berarti telah berani menelan
pahitnya pengalaman demi manisnya masa depan.
Sebelumnya sudah
saya bilang, waktu terus berjalan. Dan dalam perjalanan itu, tidak menutup
kemungkinan, pasti ada lubang-lubang atau bebatuan yang sama. Kalau kita sudah
tahu bagaimana ciri-ciri lubang itu, maka setidaknya, kita tidak akan
terperosok dalam lubang yang sama. Dan pengalaman buruk, akan tersimpan sebagai
pelajaran berharga, bahwa hidup adalah soal introspeksi.
Pada berbagai
kesempatan, termasuk malam ini, aku menimbang-nimbang tentang mereka yang
pernah hadir sebagai bahagia, lalu lenyap menjadi duka. Meskipun tidak semua
yang hilang adalah luka, tapi bagaimanapun bentuknya, perpisahan selalu berimbas
nestapa. Sebenarnya aku tak pernah setuju dengan kata ‘pisah’. Namun, meski
kemudian kami masih bisa bercengkama lewat surel, atau media online lainnya,
waktu, sekali lagi, tak pernah bisa kembali. Semua akan terlewat begitu saja. Kami
semakin menua, dan keakraban itu telah mendua. Lalu terciptalah
kenangan-kenangan.
Meskipun tidak semua yang hilang adalah luka, tapi bagaimanapun bentuknya, perpisahan selalu berimbas nestapa.
Dan secara langsung,
tentu ini menyangkut tentang dirimu. Aku, sebenarnya, belum siap ketika esok
kita akan bersenda menuai kenangan-kenangan itu. Aku juga belum yakin, kalau
aku adalah bagian dari kenangan yang akan kau ingat kelak. Sebatas ini, aku
berusaha meredam itu dengan mengingat andilmu membangkitkan semangatku. Dan kau
tak perlu mengelak, karena senyummupun termasuk. Bahagiamupun, termasuk. Adamupun,
termasuk.
Nanti, ketika
diantara kita terpaut sibuk yang memeluk kita masing-masing. Dan pada akhirnya
tak sempat mengantarku – juga kamu – untuk berhelat, atau sekedar menyapa, maka
aku akan selalu mengingatmu sebagai daya semangatku. Ini akan abadi, sebagai
taruhan hidup dan mati.
Tahun besok kau wisuda. Itu artinya akan ada dua kemungkinan yang
pasti terjadi. Kau disini atau tidak. Aku sudah menyadari itu sejak mengenalmu.
Bagiku (semoga kuat), disini atau tidak adalah sama. Yang terpenting bagiku
adalah yang terbaik untukmu. Maka, tak pernah aku berdoa supaya kau tetap, atau
agar kau begini, begini. Tak pernah. Yang selalu ku mintakan untukmu kepada
Tuhan adalah yang terbaik untukmu.
Pada paragraf
paling akhir ini, aku menaruh banyak harap tentang semangatmu. Keberhasilanmu,
bahagiamu. Dan, kau tahu, benar kata Bung Fiersa, bahwa kita tidak pernah
benar-benar sendiri. Meski seluruh dunia menjauhi, kenangan akan hadir
sebagai hangat yang selalu menemani.
Selamat malam,