Writing about you, is an effort to hold back homesickness

Sabtu, 31 Agustus 2019

Sebuah Usaha Mendikte Kerinduan


Lagi-lagi, malam ini, aku ingin berbicara tentang rindu. Sebenarnya,ingin kurenggut semua yang berporos pada rindu, tapi tak bisa. Seakan rindu adalah sukma dalam ragaku, darah yang mengalir dalam tubuhku. Akhirya ku biarkan saja, semaunya.

Tapi kadang, entah sengaja ayau tidak, rindu mengelupas semangat yang telah kubangun bertahun-tahun. Begitu saja. Meski sudah kuberikan dia segalanya, rindu kadang tetaplah sebuah perasaan yang mirip manusia kelaparan. Apa saja dimakan.

Pada situasi seperti ini, aku bicara pada diriku sendiri tentang bagaimana cara meneguhkan kembali benteng itu. Apa yang kurang selama ini. Haus bagaimana lagi agar jiwa tak mudah goyah. Dan kami kerap kali bertengkar tentang setuju-tidaknya kalau rindu dimusnahkan. Aku bilang tak perlu lagi ada rindu, karena banyak sekali korban olehnya. Tapi nuraniku berkata rindulah yang bisa mempertemukan kita dengan segala sesuatu, termasuk Tuhan.

Aku mengaku kalah. Dalam hal ini, rindu boleh bersejahtera mengemas kesilauanku pada cinta. Tapi jangan sampai dia seenaknya menggibas kesempatanku mempertahankan cita. Dan untuk yang kesekiankalinya, aku percaya pada nurani.

Aku sempat berfikir kapan kiranya rindu ini membuatku terbiasa. Karena bagaimanapun, sehebat apa seseorang, kalau rindu datang dengan ulahnya pasti kerepotan. Kalah dengan sendirinya. Lemah.
Dan untuk yang kesekian kalinya, aku berkata banyak soal rindu. Aku punya mimpi kalau suatu saat akan meneliti kerinduan. Meng-kaji rindu dari segala sisi keilmuan. Dan kurasa, aku pasti bisa. Rindu selalu terasa istimewa meski pernah menyanjungku dengan luka.

Dan malam ini, ada banyak kerinduan yang ingin kusemai. Banyak sekali. Dirimu, kau, sampean, dikau, kamu, engkau, koe, dan banyak lagi.
Entah siapapun dirimu, aku merindukanmu.



Jumat, 30 Agustus 2019

Sebuah Usaha Menjelaskan



Ini malam ke-sekian aku menulis soal rindu.  Dan kurasa, tak ada sela dan alasan untuk tidak bisa merasakan kerinduan. Tidak bisa mengelak, bagaimanapun rindu tetaplah rindu. Rasa yang muncul tiba-tiba, tanpa aba-aba. Meski kita belum siap pun, rindu tetap menyergap.

            Selaksa kisah yang menjadi hanyut dan bertalu-talu membuat kita semakin yakin, bahwa ada hal lain yang lebih bermanfaat ketimbang terus saja dirumpang rindu. Nyatanya, semua pasti punya kesibukan. Dan rindu, bukan secuil bagian dari kegiatan itu. Rindu hanyalah sebuah alasan kenapa seseorang tak ingin sendiri dan ditinggalkan. Rindu bukanlah dogma agar seseorang bisa mewujudkan segala yang ia inginkan.

            Lambat laun, seperti yang telah saya ucapkan tadi, bahwa akan ada saat dimana kita benar-benar dibuat hila oleh rindu. Selalu saja memikirkan apa dan siapa yang kita rindukan. Kegiatan inti selalu kalah. Padahal jelas-jelas tak ada manfaatnya bagi kita, malah menuat badan kurus dan pikiran mrupus.

            Dan pada akhirnya, rindu akan muncul sebagai spirit baru. Tranformasinya akan sangat cepat ketika benar penanganannya, penyikapanya. Rindu akan menjadi semacam pendongkrak dan pijakan kita meraih segalanya. Bahkan, rindu bisa serupa tuntutan agar kita berhasil menggapai sesuatu.

            Dari sekian banyak yang ingin saya katakan, ternyata intinya hanya satu. bahwa kunci keberhasilan dan penyikapan yang sebenarnya hanyalah ada pada hati. Selama kita mengizinkan hati kita tersakiti, maka kena juga. Kalau kita tak mengizinkan itu terjadi, maka ya terbebas.

            Begitupun rindu, selagi kita terus berusaha mendidik rindu dengan pergumulan yang baik, maka rindu akan muncul sebagai energi positif. Dan sebaliknya.

Sempai saat ini pun, bisa jadi tulisan ini tak akan pernah ada ujungnya. Aku berharap jika suatu saat kita bisa mengenang segala resa yang terasah menjadi kisah. Kita dapat menjiwai kembali larik-larik tawa yang berjalan apa adanya.


            Itu saja, untuk malam ini. Selamat Malam, Sayang...

Rabu, 28 Agustus 2019

Sebuah Usaha Melegakan



Di lain kesempatan, aku sempat merasa bahwa semua orang aneh. Perilakunya, ucapan, bahkan senyumpun terlihat aneh. Sebenarnya aku sudah berfikit matang-matang tentang ini. Benar atau tidak. Atau jangan-jangan hanya bayangan atau sekedsar alibi kerinduan? Belum tahu.
Sebelum tidur, untuk malam ini, agaknya aku perlu bicara banyak melalui tulisan. Tentang mimpiku kemarin, bersenggama dengan seseorang, berpindah-pindah tempat. Hingga aku bangun. Hanya mimpi. Tapi terasa nyata. Rasanya seperti sungguhan. Entahlah.
Juga beberapa beyang yang menyerupai rekanku lainnya. Tadi, aku dipertemukan oleh keadaan. Satu persatu. Yang mampu membangun daya puisiku. Yang bersedia menemani perjalanannku diujung kota itu. Aku tak berharap banyak sebenarnya. Hanya saja, semoga keakraban kami berbuah kebaikan, sekarang dan sampai kapanpun akan tetap bersama. Serasa.
ketika mendengar keluhan atau cerita-cerita manja darinya, aku malah merasa senang. Kedekatan itu benar-benar ada. Tapi kalau tak ada lagi keakraban itu, artinya keadaannya baik-baik saja, sepi selalu menerkam. Menberi kejutan yang tak sempat terfikirkan sebelumnya.
Bahkan aku sempat berharap agar aku menjadi seorang yang selalu kau butuhkan. Semata agar dirimu selalu kemari dan meminta bantuan. Mesra, bukan? Merampas kedekatan dengan cara memperkosa keadaan. Tentu mesra sekali ketimbang kisah cinta Dilan dan Milea yang diada-ada itu.
Dan sampai saat ini, lekuk senyum yang membuatku candu masih saja ada. Tidak bisa terhapuskan oleh apapun. Aku khawatir, saat aku tak berani mengucapkan apapun, lalu kau menjadi perihal rindu orang lain. Membuatku tak lagi bisa memandangmu leluasa. Tak lagi dapat memelukmu kisahmu dengan mesra. Aku khawatir, kau tak mengenal siapa aku dan siapa dirimu bagiku.
Wajar, jika aku meng-khawatirkanmu. Aku mencintaimu, sangat. Aku menyayangimu, lekat. Dan sampai saat ini, aku belum bisa berkata kepadamu tentang hal ini, bangsat!



Selasa, 27 Agustus 2019

Sebuah Usaha Mengungkapkan



Selamat Malam, seorang wanita yang begitu baik.

Sekitar empat tahunan hubungan kita. Bercanda, bercerita. Bahkan pada suatu kesempatan, kita pernah berbagi sedih. Sebuah anugrah indah yang pernah kurasakan, dirimu.
Melalui tulisan ini, aku ingin menyapaikan kegundahan yang berlarut-larut. Barangkali kau bisa memahami, dan aku bisa mengerti sampai mana kedekatanmu kepadaku. Dan kurasa itu lebih dari cukup sebagai jawaban kenapa lempar kabar kita tak sesering dulu.
Seingatku, aku selalu berhati-hati ketika berkata kepadamu. Kata-kata yang sesungguhnya tak patut, seingatku, tidak pernah kuucapkan kepadamu secara langsung. Sayang, pacaran, atau apalah. Kalaupun itu pernah, mungkin lewat puisi. Entahlah, itu seingatku. Karena aku sudah punya prinsip sedari dulu bahwa, jangan sampai aku pacaran. Mungkin ini terkesan aneh. Atau alibi agar aku bisa mengelak keyataan. Tapi benar, ini seingatku. Dan kita baik-baik saja. Dan kurasa, ini yang lebih berharga daripada memaksakan sebuah status.
Belakangan, aku mendengar kabar bahwa kau sudah punya, tentu aku bahagia meski belum tahu benar atau salahnya. Bagiku, bahagiamu adalah bahagiaku. Dan do’aku, selalu yang terbaik untukmu. Ini benar. Bukan seperti kata orang kebanyakan, beda.
Selanjutnya, inilah yang sebenarnya ingin aku tegaskan. Tentang kedekatan kita yang tak lebih seperti Layla dan Majnun. Bukan juha serupa dengan Yusuf dan Zulaikho’. Apalagi Dilan dan Milea. Kita tak ubahnya adalah langit dan bumi yang saling mendukung. Kita semacam daun dan tangkai yang meneduhkan
Untuk selanjutnya, semoga kita bisa saling menerima.



Rabu, 21 Agustus 2019

Sebuah Usaha Menenangkan Diri



Malam ini aku ingin bercerita tentang seseorang. Kami baru kenal, baru akrab. Belakangan, kami sering berhelat dalam kerja sama pembuatan kartu tanda santri. Hanya satu pekan. Tapi bagiku, itu lebih dari cukup untuk membuat kami akrab.
Aneh sebenarnya. Tapi inilah hidup. Bahwa, tidak perduli dari siapa pelajaran kehidupan bisa kita dapat. Dari seseorang yang umurnya jauh dibawah kita sekalipun. Tidak perduli. Barangkali dari mereka, kita akan mendapat sesuatu yang belum pernah kita dapatkan. Kita bisa mendengar cerita-cerita yang belum sempat kita dengarkan. Dan banyak hal. Sangat berharga.
Jauh sebelum ini, aku jadi ingat bagaimana sikap diamku beberapa tahun lalu. Lebih suka sendiri, sering berdiam diri. Bagiku, dulu, berbincang dengan orang adalah pantangan. Aku lebih senang mendengar ketimbang menjawab pertanyaan-pertanyaan. Aku lebih nyaman memperhatikan ketimbang diajak bercengkama.
Sampai saat ini, aku belum menemukan raut malas pada wajahnya. Auranya selalu semangat. Ceria,menyenangkan. Kalau pas serius, lekuk wajahnya menggemaskan. Terkesan manja. Hehehe.
Akhirnya, disatu kesempatan, aku mencoba bertanya tentang apa yang membuat dia selalu semangat. Dia menghela nafas sejenak. Berhenti mengetik sesuatu di laptop. Lalu memandangku serius. Seakan bertanya: ngapain kepo? WKWKWK. Tapi matanya indah.
Dia bercerita sedikit tentang kehidupannya sebelum masuk pesantren. Dia bilang, dirinya termasuk anak yang banyak tingkah. Disekolahnya dulu, terkenalnya begitu. Akhirnya entah karena apa, dia ingin masuk pesantren. Tanpa paksaan siapapun. Begitu katanya. Namun hemat saya, karena mas-nya dulu juga mondok, barangkali dia punya keinginan itu sejak lama.
Belum cukup dengan cerita itu, aku mencoba bertanya tentang hal lain. Salah satunya adalah soal cita-cita. “Apa cita-citamu?”. Kali ini dia menatapku dengan tersenyum:
 “Cita-cita, Mas?”. Aku meng-iyakan. Kemudian dia menjawab dengan tegas: “AKPOL”. Kami saling menatap. Sama-sama tersenyum. Dalam batin, aku berdoa semoga yang terbaik.
            Sejak saat itu, aku tak perlu lagi megutarakan alasan kenapa kami akrab. Kadang,  karena kamarku di lantai dua, tepat sebelah gerbang, seringkali aku melihat kebawah waktu jam buka. Kadang, dudapati dia berjalan keluar bersama rekan-rekannya, atau sendiri. Bahkan, sering juga ku tengok kamarnya dari atas sini. Membayangkan kiranya apa yang sedang ia lakukan sekarang.

Dan entah, setiap saat aku ingin selalu bersamanya. Tapi semua itu terbendung berbagai kenyataan dan kemungkinan. Kami punya kesibukan masing-masing. Aku juga sangat tidak tega jika kuajak dia ngobrol malam-malam setelah kegiatan. Pasti lelah. Besok pagi sudah sekolah. Pulangnya hampir jam 3-an. Padat sekali.
            Dan entehlah, aku hanya ingin bercerita saja. Barangkali dengan menuliskan sebagian kisah ini, ada hal baik yang bisa kita ambil. Barangkali. Dan tentunya, dikesempatan lain, aku akan kembali menceritakan bagian kisah lainnya.

Semoga bermanfaat. Terus semangat!



Selasa, 13 Agustus 2019

Surat Untuk Karib


Baru pertama kali ini aku menulis dipagi hari. Memang, belakangan lebih sering nulis malam-malam. Pas teman sekamar sudah tidur, atau hanya beberapa saja yang terjaga dan sibuk dengan pekerjaannya sendiri.

Oh, hampir lupa. Selamat Pagi!

                Dan aku pun tidak pernah menerka kalau kerinduan akan muncul pagi-pagi begini. Untungnya kegiatan kampus libur. Aku jadi bisa berbuat apapun demi melepas rindu. Mungkin dengan jalan-jalan setelah ini, makan, lari, mbaca buku, atau apalah, tidur mungkin.

                Tapi aku percaya kau sudah bangun pagi ini. Mengenakan baju rapi. Bersisir, dan mempersiapkan diri berangkat sekolah. Dan aku tau benar bagaimana raut mantapmu. Mengalahkan kapal laut yang siap mengarungi samudera, bahkan kau lebih tangguh dari itu.

                Aku masih ingat soal cita-citamu itu, Akpol. Betapa kau mantap menjawabnya saat kutanya. Tentu aku mengamini itu. Karena cita-cita adalah hal pertama yang harus dimiliki pelajar agar semangat.

                Aku juga masih hapal, benar-benar hapal (karena memang sempat kucatat), tentang ceritamu sebelum disini. Ya, meskipun sekilas, tapi itu sangat menarik. Boleh, jika kau ingin menceritakan lebih. Hehehe.

                Seperti yang sudah pernah ku tulis, tentang Sebuah Usaha Merelakan. Maka rencanaku untuk menemuimu beberapa kali kubatalkan. Aku sengaja membiarkan waktu yang mempertemukan kita tiba-tiba, tanpa aba-aba. Karena kau punya rutinitasmu sendiri, dan sejatinya, aku juga.

                Kalaupun kupakasakan bertemu, berbincang, atau apalah, malah kasihan kau. Kegiatanmu padat. Terlebih sekolahmu pulang jam 3. Pasti kau sangat lelah. Penat.

                Tentangmu, aku tak bisa berkata banyak. Sebatas ini saja sudah cukup. Aku malah khawatir kalau kupaksa terus menulis, yang keluar hanya soal kerinduan. Tidak jelas.
Sudahlah,



Rabu, 07 Agustus 2019

Surat Untuk Zidan

  

                Selamat malam.
Bagaimana hari-harimu belakangan? Setelah pertemuan kita beberapa hari lalu, aku kembali merindukanmu. Sebenarnya bukan rindu, lebih kepada khawatir, atau apalah aku belum yakin. Biar mudah, kesebut saja rindu.

Kabarnya besok – libur hari besar – kau tidak pulang? Ikut temanmu ke Tuban, ya? Ah, aku tahu benar kedekatan kalian. Semacan dua jari yang bersebelahan. Tapi tetap, masing-masing dari kalian harus punya prinsip. Apalah terserah. Yang penting baik. Paling tidak, ada prinsip saling mengingatkan. Jangan salah dibiarkan saja. Kasihan. Kalau mau sukses, sukses bareng. Kalau mau bahagia, bahagia bareng. Kan akhirnya bisa seneng. Berteman karena Allah. Ya, kan?

Aku jadi ingat kisah Imam Abu Syuja’, pengarang kitab yang hebat itu. Bersama temannya, beliau punya niatan besar dalam mencari ilmu. Tapi karena kondisi biaya, keduanya tidak bisa. Akhirnya, dengan kecerdasan Imam Abu Syuja’, yang rela berkoran dijual sebagai budak agar rekannya bisa berangkat ngaji itu, beliau ditolong oleh Allah. Indah sekali persahabatan itu.

Bisa kamu baca ceritanya DISINI.

                Mau bagaimana lagi ya. Namanya juga baru kenal. Mau apa-apa juga kikuk. Tapi aku selalu terbuka, apapun yang sampean butuhkan, insyaAllah saya siap bantu. Yang penting semangat terus. Kalau ada masalahpun, sampen bilang. Anggap saya ini saudaramu.

                Oh, ya. Kalau ada waktu, ku ajak kau ziarah ke Surabaya. Sudah lama aku tidak kesana. Dulu, seusiamu, aku rutin pergi kesana. Lewat belakang, tempat penjual kitab-kitab itu. Minyak wangi, dan busana-busana. Seneng. Nuansanya enak, kayak di Arab. Hehehe. Kapan-kapan kita kesana ya.

                Dan, selamat malam. Aku harus segera menyelesaikan sesuatu yang perlu diselesaikan minggu ini. Tetap semangat, jangan lupa doakan kedua orang tuamu. Aku saksinya, mereka orang tua yang hebat!

Semangat!

                

Senin, 05 Agustus 2019

Sebuah Usaha Melepas Penat


"Kepada hari-hari yang dianugerahkan Tuhan..."

Hidup tidak sesulit yang kita bayangkan. Tapi juga tak sebercanda minion. Kita tahu bahwa, akan ada hari dimana segala permasalahan bisa kita hadapi dengan tenang dan lapang dada. Untuk mencapai itu, tentu ada banyak latihan-latihan pengolahan mental dan hati. Dan masing-masing persoalan dari berbagai masalah akan terjawab, diantara problema yang akan muncul nanti.

Musuh paling besar dan sangat berat adalah kemalasan. Bagaimana mungkin kita bisa mencapai target hidup kalau terus neburuti malas? Bahkan dikatakan bahwa, yang terhebat adalah yang paling bisa menahan hawa nafsunya, kemalasannya. Tentu berat. Lalu bagaimana? Cara terbaik adalah terus melawan malas itu. Menanamkan semangat dan keyakinan secara continu.

Dan, beberapa hari belakangan aku sering kalut. Suka tidur tapi sulit bangun. Tapi ada benarnya juga, tulisan-tulisanku sebelumnya yang membicarakan ridu itu. Kini tak perlu kupersoalkan lagi. Rindu kini datangnya tepat waktu, tidak sampai mengganggu aktivitas lain. Karena pada dasarnya, rindu hanya selingan. Semacam pendongkrak semangat, atau setidaknya pengisi kekosongan hati yang malang.

Kemudian, percaya atau tidak, hati memang perlu dibersihkan selalu. Setiap waktu. Dengan dzikir, tilawah, dan apapun itu yang berbau kebaikan. Karena pada dasarnya, baiknya fisik, jika tidak diimbangi dengan kejernihan hati akan oleng. Mudah ambruk.

Begitupun cinta dan kasih sayang. Tidak akan bisa akur kalau bukan dengan hati bening. Karena, seperti pada hadis, bahwa segala laku berpusat pada hati. Hati kita baik, maka segala yang kita lakukan, ucapkan, dengarkan, dan lain sebagainya juga akan baik. Begitupun sebaliknya.

Oh, ya. Soal melepas penat. Mungkin ini adalah salah satu yang saya lakukan. Berbicara dan terus mengkritik diri menggunakan tulisan. Semau saya, sepuasnya. Bagi saya, intropeksi itu penting sekali. Tentu untuk mengoreksi dan menakar seberapa diri kita hari ini. Kemudia tinggal lenjut dan terus meningkatkan kualitas diri.

Seperti yang kalian baca. Tulisan hari ini tidak melulu soal cinta ya. Karena daya cintaku berpindah di wattpad. Disamping itu, belakangan aku juga masih menggarap buku ke-2, Tuan Rumah. Dikeduanya, aku berusaha menjiwai soal cinta. Dan disini, kurasa tak perlu berlebihan. Jarang-jarang saja. Hehe.

Dan, apa yang aku tulisakan disini, berarti apa yang ingin aku tulis saat memegang laptop dan mulai mengetiknya. Seketika.

Semangat.   

Jumat, 02 Agustus 2019

Sebuah Usaha Melepas Kerinduan


 "Daripada aku menyesal telah membuang bayangmu, aku lebih memilih meyesal telah mengingatmu"


                Soal berbagai peristiwa yang sering tersekap oleh kegelapan hati, menggumpal pada titik kepenatan diri. Akan bisa terlupakan, dikit demi sedikit, dengan terus saja mengikuti apa yang seharusnya kita lakukan. Tanggung jawab, kesenangan, selingan, dan apapaun yang ingin dan bisa kita lakukan, lakukan! Selagi masih dalam koridor yang benar.

                Sebenarnya susah atau tidak, sedih atau tidak, rindu atau tidak, dan segala macam perasaan adalah dalam kendali kita. Jika kita ngijinkan itu terjadi, maka terjadi. Dan tentu saja, aku masih merawat baik-baik perihal rindu. Betapa, meski kadang menyiksa, rindu selalu terasa nikmat. Bahkan, selalu ada kerinduan-kerinduan baru. Atau setidaknya, rindu yang telah mengakar terus berkembang menjadi sebuah umpatan, syukur, atau sekedar tulisan-tulisan ringan.

                Tadi, selepas perhelatan milik rekan-rekan dilantai dua, aku sempat melihatmu berjalan menuju bilik. Menggunakan kaos belang kesukaanmu. Dan tentu saja, kali ini aku memanggilmu. Karena memang kau sendiri, tidak dengan teman-temanmu. Aku berusaha memanggilmu, tapi kau tak tau. Mungkin tidak mendengar, atau apa, aku belum bisa memastikan. Sampai pada akhirnya kau benar-benar memasuki bilik itu. Aku biarkan. Setidaknya dapat kupastikan kau ada.

                Dan selalu, perihal remeh seperti itu melekat dalam ingatan, angan-angan. Dan satu-satunya cara melepas itu dengan perlahan adalah menuliskannya ketika malam seperti ini. Memang, seperti yang telah aku sampaikan dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Bahwa malam selalu suka menari-nari, seakan selalu berupaya membuatku bisa nyenyak. Hitam pada langitnya, seringkali memberiku tawaran gambaran tentangmu.

                Kadang aku sempat berfikir, mau sampai kapan dirimu melekat dalam bayanganku?. Sempat aku ingin mengusirnya. Tapi angin bilang kalau membuang bayangmu adalah sesuatu yang sangat disayangkan. Aku meng-iya-kan. Daripada aku menyesal telah membuang bayangmu, aku lebih memilih meyesal telah mengingatmu.

Kepada, yang pernah meminjamkan
Separuh bagian dari hatinya.
Aku ingin berteimakasih
Telah memberiku banyak kasih

Luka-luka yang sempat ada
Telah ku olah menjadi kata
Suka-suka yang dulu selalu kita jaga
Kini ikut petualanganku menulis cerita-cerita

                Sampai pada titik dimana pehaman tak akan pernah menemukan induknya. Perhelatan kita, yang sebentar-sebentar itu rupanya telah membangunkan kesepianku. Meskipun setelah kau pergi, sepiku tidur lagi, aku tetap berharap bisa nyenyak. Kemudian dibangunkan olehmu. Kalau tidak, keturunanmu. Kalau tidak, olehlah orang yang mirip denganmu.

                Karena mungkin, semakin sering kita merindu, semakin kuat khayalan kita tentang segala seuatu. Tentang dikirimnya kau yang kedua, misalnya. Meski tak mungkin. Layaklah, jika khayalan tetap saja khayalan. Kemungkinan terjadi sedikit sekali.

Dan, selamat malam.

00.05 – 03 Juli 2019





Kisah: "Kehebatan Imam Abu Syuja', Sang Pengarang Kitab تقريب "


Imam Abu Syuja’, ulama’ yang masyhur. Pengarang kitab Taqrib yang terkenal itu.
Abu Syuja’ pernah menjadi  budak. Asal muasalnya, Abu Syuja’ punya seorang teman. Beliau dan temannya sama-sama memiliki هِمّة(cita-cita) yang tinggi terhadap ilmu. Tapi sayangnya, keduanya tidak punya biaya untuk belajar. Keduanya bingung. 

“Gimana ini. Pengen ngaji tapi ndak punya sangu (bekal)” Ungkap karib Abu syuja' bimbang.
"Bagaimana kalau kita pergi menuju pasar budak?" Sahut Abu syuja'
“Untuk apa?” tanya karib Abu Syuja’.
“Salah satu dari kita akan dijual untuk bekal mengaji”
“Baiklah”
Merekapun pergi menuju pasar budak. Sampai disana, untuk menentukan siapa yang dijual dan siapa yang pergi menuntut ilmu, Abu syuja’ mengajak temannya ber-suwit (cara mengundi untuk dua orang dengan cara mengadu jari). Ternyata Abu Syuja’ kalah. Berarti beliaulah yang harus dijual sebagai bekal temannya berangkat mengaji. Mengetahui hal itu, temannya langsung bicara:
“Ndak, Kang. Ndak, Kang. Kamu saja yang berangkat mengaji. Biar aku yang dijual menjadi budak”. Desak teman Abu Syuja’.
“Lho. Tidak. Aku saja. Nanti kamu yang berangkat mengaji”
“Jangan, biar aku saja yang menjadi budak”.
Keduanya saling berebut agar dirinya yang dijual sebagai bekal rekannya untuk mengaji.

Perhasabatan sesungguhnya ya seperti ini. Rela berkorban. Padahal sudah jelas jelas Abu Syuja’-lah yang harus dijual. Tapi temannya tidak mau hal itu terjadi. Begitupun sebaliknya. Abu syuja’ juga tidak mau jika temannya menjadi budak.

“Sudahlah. Sesuai kesepakatan, aku yang harus dijual. Dan kamu yang berangkat ngaji”. Pungkas Abu Syuja.

Akhirnya Abu syuja’ dibeli oleh pedagang pasar. Dan temannya berangkat mengaji berbekal hasil penjualan Abu Syuja’.

Selang beberapa waktu, Abu Syuja’ tak kunjung laku. Beliau itu badannya kecil, kurus, kurang gizi, jarang makan. Memang beliau orang melarat. Ditambah lagi beliau masih remaja. Umumnya, budak yang diperjual-belikan itu dewasa, kuat, berbadan sehat. Karena pekerjaan yang akan dilakukannya adalah berat-berat. Tapi tidak lama kemudian, ada seorang tua yang menawar Abu Syuja’.

“Berapa yang ini, Pak?”. Tanya orang tua itu kepada penjual.

“Kalo ini murah saja, Mbah. Balik modal. Dari pagi belum laku soalnya”

Abu Syuja’ pun dibeli oleh orang tua itu. Dan ternyata, yang membeli Abu Syuja’ itu adalah seorang Syaikh, guru, dan menjadi rujukan ummat dalam hal agama. Abu Syuja’ dibelinya bukan untuk disuruh melakukan pekerjaan berat seperti pada umumnya budak. Abu Syuja’ ternyata hanya diberi tugas untuk membersihkan perpustakaan milik Syaikh itu setiap hari.  Nyerbeti, membersihkan kitab-kitab milik syaikh biar tidak berdebu dan ada sarang laba-labanya. Sudah, itu saja. Ringan sekali.

Merupakan suatu anugrah. Lha wong Abu Syuja’, orang yang haus ilmu, malah ditugaskan membersihkan perpustakaan, tentu bukan hanya bersih-bersih. Beliau baca kitab-kitab itu mulai atas sampai bawah. Tiap membersihkan satu buku, sekalian dibaca. Perhalaman dibuka, dibersihkan sama dibaca. Khatam, ditata rapi. Ganti kitab yang lain. Dibersihkan sambil dibaca. Dan itu dilakukannya bertahun-tahun.

            Dan, masya’Allah. Dengan pertolongan Allah.
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
 Apa yang menjadi cita-citanya tercapai sekarang. Ternyata yang membeli Abu Syuja’ adalah Syaikh, mushonnif (pengarang kitab), seorang ulama’. Seringkali, Syaikh itu didatangi oleh jama’ahnya, ditamui masyarakat untuk bertanya seputar problema kehidupan.

Suatu ketika syaikh pergi. Ada orang datang, bermaksud untuk menanyakan suatu masalah. Dan Abu syuja’-lah yang menemui. Abu syuja’ berkata,

“Maaf, begini. Syaikh masih pergi. Kalau boleh, biar saya yang menjawab dulu. Dalam kitabnya syaikh yang pernah saya baca, masalah panjenengan itu jawabannya begini, begini, dan begini. Itu jawaban sementara dari saya. Kalau belum puas dengan jawaban itu, panjenengan bisa datang lagi kemari untuk menemui syaikh ketika beliau sudah datang”.

Dan itu terus terjadi. Setiap kali ada tamu, dan syaikh masih pergi, Abu Syuja’lah lebih dulu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sampai pada suatu ketika, syaikh bertemu dengan masyarakat yang bertanya tadi.

Alhamdulillah, syaikh. Kemarin saya datang ke ndalem panjenengan karena ada masalah yang harus segera dijawab, tapi syaikh tidak ada. Dan alhamdulillah sudah dijawab oleh santri panjenengan” Ungkap orang itu lega.

“Dijawab bagaimana? Pertanyaanmu apa?”

“Pertanyaan saya, begini. Dijawab oleh santri itu, begini, begini”

“Lho, benar”. Syaikh kaget, merasa heran.

Waktu syaikh bertemu dengan orang lain juga beitu. Sama. Syaikh semakin heran, lalu bertanya kepada jama’ahnya, “Santri yang mana, yang memberi jawaban itu? Aku nggak punya santri!”
“Begini syaikh. Anaknya ciri-cicinya begini, begini. Biasanya membersihkan perpustakaan”

“Lho, iku lak Abu Syuja’, budak ku”. Ungkap syaikh kaget.

Kemudian syaikh memanggil Abu Syuja’.

“He, Abu syuja’”

Dalem, Syaikh”

“Ada masyarakat bertanya kok kamu jawabi ngawur” Tegur syaikh kepada Abu syuja’

Nggeh, nyuwun agunge pangapunten, syaikh. Setelah kulo jawab, orangnya saya persilahkan datang lagi untuk sowan kepada syaikh”. Jelas Abu syuja’ menunduk.

“Sebentar. Kalau pertanyaannya begini, jawabannya apa?”

“Begini, syaikh”

“Kalo pertanyaannya begini, jawabannya apa?”

“Begini, syaikh”

“Lho. Benar itu. Kok bisa tau jawaban-jawaban itu bagaimana?”

“Kan saya diberi tugas bersih-bersih perpustakaan, syaikh”

“lha terus?” Tanya syaikh heran

Nggeh sekalian kitabe saya baca”

“Wes mari?” Sahut syaikh

“Sudah, syaikh. Buku di perpustakaan sudah Khatam semua”

Syaikh heran dengan Abu Syuja’. Karena zaman itu, budak identik dengan orang-orang yang bodoh. Tidak ada budak yang sampai mempunyai keinginan besar dalam ilmu. Karena yang diandalkan hanya ototnya saja. ‘ini aneh, kok ada budak seperti ini?’. Syaikh semakin heran. Lalu Abu syuja’ menceritakan kisah bagaimana dia bisa sampai menjadi budak.

Syaikh langsung terharu. “Subhaanallah. Kamu ini cukup untuk menjadi orang yang berfatwa. Dengan ilmu yang kau serap. Aku ijazahkan semua sanad keilmuan yang aku punya. Sudah, kamu aku merdekakan. Silahkan membuka majlis ilmu, kamu sudah pantas untuk itu”

Akhirnya Abu syuja’ bisa mengarang kitab Taqrib. Dan kamu tau bagaimana sejarah pengarangan dari kitab itu?
Abu syuja’ ketika selesai mengarang kitab Taqrib, saking ikhlasnya, beliau malah sama sekali tidak pernah mempromosikan kitabnya. Kitabnya di masukkan kedalam botol, botolnya ditutup lalu dibuang ke laut.
“Kalau memang kitab ini di ridhoi oleh Allah, pasti ditemukan oleh manusia dan akan dikembangkan” Begitu ungkap Abu syuja’ saat membuang botol berisi kitab karangannya itu.

Saking ikhlasnya. Tidak ingin pamer, tidak ingin ilmunya itu لجمع خُتم الدنيا , karena mengumpulkan kemulyaan dan sebutan nama baik. Dan nyatanya sekarang, hampir seluruh ma’had yang bermadzhab Syafi’i di Asia Tenggara menggunakan kitab Taqrib. Malahan, kitab yang digunakan untuk latihan belajar membaca kitab, pasti memakai Taqrib.

Itu berangkatnya, berawal dari وتعاونوا علي البرِّ والتّقوى . Saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Sampai rela menjual dirinya agar temannya bisa ngaji. Dibalas oleh Allah, diberi karunia membersihkan perpustakaan yang berisi banyak kitab.

الجزاء على جنس العمل
Balasan Allah, ya sesuai dengan jenis amalnya. Abu Syuja’ rela dijual agar temannya bisa belajar, dibalas oleh Allah dengan dipertemukannya Abu syuja’ kepada syaikh dan bisa membaca sekian banyak kitab yang ada diperpustakaan.  


*dicatat dari pengajian Romo KH. M. Idris Djamaluddin. Masjid Al-Muhibbin, Kamis, 4 Juli 2019
Klik DISINI untuk mendengarkan. 


Kamis, 01 Agustus 2019

Surat Untuk Diriku, Hari ini


Malam ini, dan untuk kesekian kalinya, aku ingin bercerita lewat tulisan. Meskipun sebelumnya aku lebih sering merangkum kisahku lewat puisi, malam ini tidak. Aku ingin berbicara banyak, bertele-tele, sampai jariku lelah, fikiranku pasrah. Aku ingin lebih leluasa dengan apa yang kutuliskan. Aku ingin lebih mengalir dengan apa yang sedang terfikirkan.
Dan malam ini, aku merasa kedinginan, lagi. Dingin sekali. Apa-apa yang ada disekitarku, semakin kudekati semakin dingin. Lantai, pintu, meja, kursi, cermin, sisir, pena, buku-buku, bahkan manusia yang sejatinya menawarkan hawa panas malah terasa dingin. Menggigil.
Beberapa hari ini aku sering mondar-mandir. Seakan tidak puas dengan setiap keadaan. Terasa sendiri meski dalam keramaian. Apakah ini yang dinamakan kekosongan? Melakukan apapun terasa tak ada artinya, tidak bisa fokus. Dan aku berusaha menangkis pemahaman bahwa pada akhirnya aku akan merasa pasrah, berserah pada angan-angan hampa.
Baru saja, dari balik pagar besi lantai dua, aku melihat kau keluar. Sebenarnya aku tergerak untuk memanggilmu, tapi aku mengurungkan itu karena kulihat kau tertawa lepas degan teman-temanmu. Kau berjalan mantap mengenakan jaket putih kesukaanmu itu. Untungnya angin menerpaku. Membuat aku bernafas panjang, dan samar-samar kudengar kalimat ‘yang sabar, yang tegar’.
Sepertinya, malam memang selalu punya cara membuat orang rindu. Meski tanpa bintang sekalipun. Bulan, lampu, atau apalah, sepertinya tak bisa mempengaruhi bagaimana orang itu bisa atau tidak bisa rindu.  
Tapi sebentar, ceritaku  belum usai. Tadi, sekitar jam setengah sebelas, aku tergerak mengikuti perhelatan yang ada di ndalem kesepuhan. Sampaiku disana, aku dibuat heran dengan jama’ahnya. Rata-rata rekan santri. Dan aku merasa malu sebenarnya. Selama ini belum bisa rutin mengikuti perhelatan itu seperti mereka.
Dan sepertinya memang benar, bahwa kalau kita berkumpul dengan orang-orang baik, maka secara tidak langsung ‘nur’ kebaikan yang dipancarkan akan nmengenai kita. Dan itu benar kurasakan. Keresahan hati sedikit terkelupas. Kepenatan jiwa lamat-lamat pudar.
Sampai akhir perhelatan itu, aku baru sadar ternyata karibku pernah bilang, kalau dia juga berusaha untuk rutin mengikuti perhelatan itu. Diantara kerumunan orang, aku mencoba mencarinya, barangkali ada. Tapi hampir sepi, dia belum juga kelihatan. Aku berusaha memantapkan lagi kalau dia pasti hadir. Aku yakin dia orang baik. Dan benar saja, tak lama setelah aku duduk dan minum air minerale, aku melihatnya baru bangkit dari dalam musholla.
Dan lagi-lagi aku membiarkanya. Tidak menyapanya. Karena, seperti tadi, dia terawa-canda dengan teman-temannya.
Mungkin akan ada tanya: Kenapa aku bersikap seperti itu? Apa salahnya sekedar menyapa?
Begini,  setiap orang tentu punya prinsip sendiri-sendiri bagaimana dia bersikap pada karibnya. Begitupun aku. Aku berasumsi bahwa kebahagiaan karibku, dngan siapapun, adalah kebahagiaanku juga. Dan kurasa sudah cukup, jika dia terlihat senang dengan temannya. Tanpa akupun, kurasa akan baik-baik saja.
Dan meski begitu, semakin aku berusaha mendiamkan, semakin pula rinduku tertawan. Aku memang tega menawan rindu dalam –dalam. Menjaganya sekuat aku bisa. Sampai pada akhirnya rindu itu bicara: “Keluarkan aku!”maka aku akan mencoba membuatnya keluar. Entah dengan tulisan, angan-angan, pertemuan. Entahlah.
Kurasa cukup untuk malam ini.dan jangan salah, tulisan ini happy ending lho ya 😁