Ternyata, belum cukup
dengan talu-taluan rindu. Rasa bersalah kemudian memberiku satu pertanyaan; “Dengan
apa kau akan membuktikan?”. Dan sudah barang tentu aku belum mampu menjawab
itu. Sebagaimana tanah yang selalu berada dibawah, terinjak-injak, ia tak bisa
mengelak kecuali hanya pasrah. Cara dia menolak adalah diam. Sampai dunia
bena-benar tahu kalau tanah adalah salah satu elemen paling penting yang
menopang kehidupan manusia. (apa pula hubungannya. Huft!)
Dan kini, aku ulangi
lagi, aku merasa bersalah telah merindukanmu. Aku merasa bodoh telah berharap
lebih pada perasaan yang absurd. Meskipun pada seluruh kata-kata yang pernah
kususun (walau sedikit-banyak adalah saduran) masih saja mengandung permohonan
agar kau sedia. Tetap menyimpan harapan terdalam agar waktu membawaku bersamamu
pada titik jenuh, yang memaksaku berkata tentang segalanya dengan jelas. Intuisi.
Setelah itu, mungkin, baru ku tahu bagaimana
rasa rindu seutuhnya. Bagaimana rasa sayang sepenuhnya. Dan kalaupun tidak,
maka aku akan mengerti seperti apa sakit yang melegakan. Seperti apa elegi yang
nyenyak dan mendamaikan.
Bukankah, hal paling indah adalah yang sebenarnya?
Sampai
detik ini pun, aku masih merasa kalah. Tapi bukan berarti aku menyerah. Kau
tahu? dari sekian banyak tulisanku adalah buangan emosi agar aku tenang. Adalah
luapan amarah agar kemudian aku bisa berdiri kembali menanyai segala tentangmu.
Perihal kekalahan, adalah bagaimana agar bisa kembali menyusun rencana.
Selamat malam,
Jombang, 01.55 / 04 November 2019
Jombang, 01.55 / 04 November 2019
Widiiiw
BalasHapus