Writing about you, is an effort to hold back homesickness

Jumat, 29 November 2019

Tanpa Foto



                Entah suka atau tidak dengan tulisan ini. Aku hanya ingin mengakui kalau malam ini aku tidak lagi merasa kalah. Apalagi menang, tentu tidak mungkin. Tapi, biar ku pertegas lagi. Tidak ada menang atau kalah. Dalam kisah ini, perasaan harus bisa diikat dan dilumat dengan baik. Meskipun kadang perlu waktu yang lama, tapi nurani, aku yakin, akan selalu menunjukkan jalannya.
                Baru sadar aku, betapa tidak manusiawinya segala yang aku rasakan belakagan. Belakangan aku hanya menuruti ego. Ego yang menjadikan aku berfikir bahwa segalanya adalah tentangmu. Tentangmu yang selalu bisa membuatku semangat. Semangat yang setiap saat bisa lebur saat aku sedang rindu senyummu.
                Tidak wajar, bukan? Tapi untungnya kau selalu bisa mengerti (meski tak pernah bilang kepadaku, setidaknya aku tahu dari caramu bersikap). Kau selalu tahu posisi. Kau selalu bisa menempatkan sesuatu sesuai porsi. Kau selalu mengalah akalu aku tak enak diri.
                Tapi belakangan, kau tentu tahu, aku selalu mendramatisir segalanya. Ibarat memuji seorang putri yang jelita, aku mulai berpuisi. Dan itu yang mungkin saja tersingkap, aku mengindahkanmu terlalu kerap. Aku selalu mengait-kaitkanmu dengan semangat, nyaman, atau apalah. Seakan-akan kau harus bisa memahamiku. Seakan-akan, kau harus tahu perasaanku.
                Padahal, apa yang kita hadapi berbeda. Latar belakang kita berbeda. Pondasi kita berbeda. Dan aku, bahkan, seringkali menemukan hal-hal baru dan banyak alasan kenapa keu begitu teguh pendirian. Kau terlihat kuat dari segala umpat. Kau nampaknya bisa selalu tenang ketika desas-dasus menerjang. Tapi yang harus aku pastikan adalah, masa depan kita harus sama. Sama-sama bahagia. Sama-sama menikmati manis setelah berpahit-pahit.
                Dan umurmu sudah renta rupanya. Itu yang aku khawatirkan. Kalau-kalau kau jadi berjuang, pergi ke tempat lain. Dan usiaku memang sudah tua. Tetapi keegoisan itu nampaknya belum bisa hilang semuanya. Aku ingin kita tetap bersama. Seudara.
                Ah, sudahlah. Maafkan keegoisanku pada paragraf sebelum ini. Seharusnya tidak seperti ini caraku berteman denganmu. Seharusnya tidak setolol ini aku menyayangimu.
                Aku berharap. Dan kurasa, tulisanku memang selalu menyertakan harapan diparagraf paling akhirnya. Semoga kita selalu diberikan ketenagan hati dan fikiran. Kekuatan jasmani dan ruhani. Semoga, tak ada lagi penyakit-penyakit yang bisa merusak tujuan akhir sebuah pertemanan.

                Ya, semoga

Senin, 25 November 2019

Sebuah Harapan Yang Tak Kunjung Usang


Dan kau selalu hadir dalam setiap tatap dan pejam. Seakan, semua tentangmu telah terekam dengan jelas dalam baris ingatan. Dan rindu, sebagai bias perkenalan kita, memaksa rekaman itu terus berputar, menyala-nyala tanpa jeda. Sehingga menggelayut dalam tatapanku yang kosong, menggema dalam lelapku yang lama.
Sesekali aku mengobrak abrik rekaman itu. Mencari cari dimana dan bagaimana awal mula kita bertemu lalu kau menikamku dengan entah yang membuatku terus betah. Sampai lama, aku belum bisa menemukan. Sampai keadaan menjadi bimbang. Tentang salah-bernar(kah?), tentang mau-tidak(kah?), dan segala kata kukira telah binasa. Aku tak bisa merasai apa-apa dan tak berharap apa-apa kecuali menemukan momen itu. Aku dan kau saling tanya nama (barangkali).
Dipersimpangan fikiran, aku menemukan petunjuk dimana masa itu berada. Nyaman. Tempat itu berplat; nyaman. Dimana ketika sesuatu telah menemukan kenyamanan sejak awal perjumpaan, maka tak ada satupun alasan untuk lengkap kecuali tetap. Tidak ada. Maka, aku terus menelusurinya. Menggunakan pendekatan fenomenologi, mungkin.
“Lha pripun loh?”
Beberapa kalimat telah berserah sebagai memorabilia. Ungkapan-ungkapan biasa yang biasanya diungkapkan orang-orang dengan biasapun menjadi luar biasa. Panggilan ‘Mas’, misalnya. Biasa bukan? Ketika remaja yang umurnya dibawahku memanggil dengan panggilan ‘Mas’. Biasa kan? Tapi tidak ketika itu dirimu yang mengucapkan. Menjadi berbeda ketika mulutmu yang mengusahakan sejak dalam fikiran.
Tidak ada yang bisa menghentikan bayang-bayang ini. Bahkan jika terbit matahari sempat terlambat sehingga hari sekian lama gelap. Atau lampu dipastikan tak bisa lagi menyala karena listrik telah binasa. Keadaan semacam ini tak lagi tabu. Bagi penikmat rindu (aku, dan barangkali juga kau) kesempatan semacam ini selalu menjadi sesal. Pasti ada satu-dua alasan yang disembunyikan. Misalnya;
“Aku sayang kau!”
“Aku, apalah.....”
Dan tak mungkin juga rasanya mengungkapkan itu secara gamblang. Maka, yang tergaris hanyalah harapan-harapan. Kemudianmenjadi bayang-bayang. Dan seterusnya, dan seterusnya. Dan sekali lagi, aku menyesalkan hal ini. Sebagai (ini kuberanikan paksa) orang yang menyayangimu sejak dalam fikiran, aku tak adil jika merusak kerukunan kita sejak dalam ingatan. Aku tak adil jika terus saja menggantungkan namamu sebagai yang senantiasa ku elu-elu padahal belum tentu kau mau. Dan aku memang tidak adil!
Kadang, rindu itu egois. Selalu ingin menang. Keinginannya seakan-akan harus terealisasi, tuntas. Tanpa alasan apapun, harus terwujud. Kadang rindu juga bijaksana. Mampu memperdalam (ini juga termasuk ungkapan yang kuberanikan paksa) sayang karena telah lama rumpang;berjarak, atau apalah.
Dan semoga, esok, entah esok yang keberapa lagi, aku dan kau tetap akrab dimanapun. Disini, puisi, cerita, status WA, instagram, blogspot, dan dimana saja, tetap akrab. Semoga!



Minggu, 24 November 2019

Mencari Angin Ketenangan



Barusan, setelah kegiatan malam, aku sengaja pergi kedepan bilikmu. Berbincang dengan rekan-rekan belajar. Bergurau sana-sini sambil sesekali kupandangi kamarmu barangkali kau ada. “Madosi Kamil nopo, Pak?” tanya Tio. “Iya”. “Larene tasek medal wau, Pak”. Aku mengangguk-angguk.
 Tio ini, salah seorang rekan belajar di kelas Diniyyah yang sregep. Meski masih usia MTs, dia bisa diajak mikir. Aku sering bicara banyak hal padanya tanpa takut dia salah tangkap. Dan bagusnya, anak berkulit putih itu bisa menanggapi dengan baik.
Sudah beberapa cerita aku layangkan kepada mereka. Salah satunya menyangkut soal bagaimana gambaran mondokku dulu. Sambil sesekali aku melongok kesebelah kanan, ada bilik yang ditempati Ghiffari, kawan baikku. Tapi sepi, tidak ada orang sama sekali.
“Sampean barengane Pak Azzam nopo, Pak?”
Pertanyaan semacam itu yang sering mereka lemparkan. Aku menanggapi seadanya sambil menerka kira-kira angin dari mana yang bisa membuat fikiranku tenang.
“Lha niko Kamil, Pak”
Dulur. Kau punya daya tarik tersendiri. Kurasa sudah banyak tulisanku menengenai dirimu. termasuk rimbunan puisi yang tak ada jelasnya sama sekali itu. Langkamu diterpa angin yang kemudian menerpaku. Benar saja, angin barusan adalah angin yang bisa menenangkan fikiranku; angin dari arahmu.
Mungkin ini salah satu efek sampin berusia banyak. Kadang, tiba-tiba fikiran terasa penuh. Tapi tidak menahu apa yang membuat fikiran penuh. Aneh. Dan bersyukur, aku bisa mengenalmu, yang kemudian membawaku kedalam talu-taluan rindu. Bersyukur, aku bisa mengenal seseorang yang bisa membuatku bangkit dan bersemangat kembali.
“Ngapain ten mriki, Mas?”. Tanyamu sambil senyum.
“Nyari angin”
Dan kau bicara bahwa kau jadi beli sepatu, online, “Kulo titip nggeh”.
Kau tahu, seketika itu aku berharap, bahwa setiap hari ada barang yang kau titipkan. Sehingga kita bisa bertemu setiap hari, tatap muka setiap hari. Dan senyummu, bisa kurampas setiap hari, kita bicara setiap hari. Sehingga, aku selalu semangat. Hari-hariku adalah hari yang hebat. Dan aku selalu suka berbicara denganmu, meski seringkali aku tak tahu harus berbicara apa.
“Tak ringkes-ringkes rien, Mas”
Lalu kau masuk ke kamarmu. Dan aku melanjutkan perhelatan. Kesana-kemari. Membahas liburan, dan sebagainya. Ujian, dan lain sebagainya. Sampai akhirnya lampu masjid telah wafat. Pertanda jam malam sudah tiba. Aku mempersilahkan mereka istirahat.
“Eh, Zak, mampir kamar 13 ya. Panggilkan Kamil”. "Siap"
Senafas kemudian,

“Ada apa, Mas?”
“Ndak ikut ta, Mil?”
“Mboten, Mas. Krasan ngken malahan”.
Tentu aku mengalah. Dan kau tahu, soal ini, aku selalu kalah, Mil. Kau selalu manolak ketika kuajak berhelat. Dan itu sah-sah saja. Karena memang kau punya keseharian sendiri, kau punya teman sekamar, kau punya kesibukan sendiri. Dan soal ini, sekali lagi, aku tak boleh egois, aku tak boleh memaksa bahwa kau harus selalu bersamaku meskipun itu yang aku mau. Itu sebabnya, dalam hal ini, aku selalu kalah. 


Tapi, tidak bisakah kau beri satu saja kesempatan untuk mau berhelat bersamaku? Satu saja..

Asal kau selalu semangat, aku pasti juga. Terlebih ketika kau bercerita tentang pandanganmu setelah lulus nanti. Antara melanjutkan ke Malang, Jogja, atau ke Bogor. Dan menetap disini selalu kau akhirkan. Wkwkwk. Itu bukan masalah besar. Buatku, yang terbaik untukmu.
Semangat terus, Mil! kau tadi juga sedikit mengeluh tentang banyaknya ujian. Diniyyah, takror, belum lagi ujian sekolah selama 12 hari dengan berbagai mata pelajaran yang bertubi itu. Kau mengeluh. Dan kau tahu, aku selalu menanti saat seperti ini. Kau menanggungkan kesedihanmu kepadaku, kau mengadukan kekesalanmu padaku. Karena rindu mampu mencerna itu semua menjadi telaga yang jernih airnya. Nikmat sekali. Aku merasa berjuta kali lebih dekat ketimbang sentuhan kulit kita waktu salaman. Bayangkan!
Dan kau harus semangat! kau harus ingat dengan cita-cita yang pernah kau kabarkan itu. Usaha harus sebanding dengan impian. Dan aku yakin kau bisa. Kau selalu kuat melewati berbagai persoalan, aku yakin itu.
Buktikan bahwa kau adalah Kamil yang aku kenal. Seseorang, yang namanya selalu disisipkan dalam munajat oleh Orangtua, guru, juga yang menulis cerita ini. Buktikan.


Selamat malam, Mil!

Rabu, 06 November 2019

Datang


                Sampai bingung aku mau menuliskan bagian yang mana, atau sudut pandang seperti apa. Mau kubuat senang, bisa. Dibuat sedihpun sangat bisa. Wkwkwk. Karena memang malam ini aku kalut sekali. Selepas kegiatan, sengaja aku keluar rumah membeli permen dan jajanan kecil ditoko depan. Aku berniat menghabiskan bacaanku yang tinggal seperempat terakhir malam ini.

                Tidak ada sama sekali kerisauan tentang dirimu. Sungguh, aku merasa lebih lapang. Tidak hadirnya kau, kuanggap sebagai kesempatanmu untuk beristirahat. Toh, masih ada fotomu dengan berbagai ekspressi yang memang aku simpan dalam file khusus. Meskipun beda, antara denyutmu dan (sekedar) fotomu, tapi kiranya itulah yang bisa membantuku menerka: sedang apa kau sekarang.

                Aku sedang fokus menatap tulisanku sendiri. Tiba-tiba, ada suara ketukan pintu yang keras, cepat. Aku segera menandanginya. Dan alangkah terkejutnya aku ternyata dirimu. Tentu aku senang. Kau datang disaat yang tepat. Tidak sangat berharap, juga tidak sangat ingin melupakanmu. Maka, kedatanganmu adalah dalam keberuntungan, bagiku, entah kau.

                Soal dua tulisan sebelumnya, ini dan ini, aku juga tak terlalu berharap kau membaca. Pun aku sudah menjelaskan, perihal menunggu kedatanganmu tidak melulu menyesakkan. Kau mengiyakan. Betapa kemudian kau merasa aku berlebihan, itu milikmu. Juga, aku sudah mempersiapkan terkaan itu yang barang tentu akan kau luncurkan kepadaku sewaktu-waktu. Berlebihan.

                Kapan kita semalam?

                Kau mencari bahan bacaanmu, sejuk sekali. Dan aku, tetap melototi buku tebal karya Pramoedya. Sesekali kutatap wajahmu; matamu. Sama-sekali kau tidak menoleh sebelum kuputuskan sambil memanggilmu, Mil!.

                Selepas kita berhelat, sebenarnya, aku ingin mengajakmu larut. Kita rebahan. Menutup mata sambil mulut senantiasa berkata. Kemudian lelah. Sebenarnya bisa kulakukan sendiri, tapi tidak kali ini. Aku ingin mengajakmu (kalau mau). Aku ingin benar-benar melawan dingin bersamamu. Tapi urung. Aku belum berani menanggung akibatnya jika saja kau jawab untuk yang kesekian kalinya;"Tidak!"

Kenapa? Untuk apa?
Aku belum yakin bisa menjawabnya.
                Kau tentunya tahu tentang ‘nyaman’. Untukku, aku hanya bisa mengusahakannya. Bagimu, kau bebas seperti apa menanggapinya.

Selamat malam,
dan sebentar, diakhir tulisan ini, masih saja kurasai hangat tanganmu sejak salam tadi. Juga senyummu, semakin dekat. Memberikan beribu semangat untuk aku terus melangkah. Apa mungkin kau juga sama?

Dan, kau harus semangat! 


Selamat malam, 

Selasa, 05 November 2019

Menunggu



                Sudah jam 23.50. Terlalu gelap untuk menunggu kehadiran yang kau janjikan beberapa hari lalu. Terlepas dari rasa bersalah, aku ingin benar-benar jera dengan segala yang kerap kau tempa. Karena, walau bagaimanapun, aku tetaplah manusia yang selalu berharap tentang apa-apa yang pernah kau ucap.

                Sengaja, aku keluar dari kamar menyangking sandal, menuruni anak tangga. Berjalan searah cahaya hasil sorotan satu-satunya lampu bilik yang menyala. Duduklah aku diteras sambil menyalami angin dan desiran debu yang dibawanya, juga sepi. Dari sini, aku bisa dengan jelas melihat bilikmu yang lampunya hidup-mati (terlihat seperti bergurau). Nafasku berhembus kencang, berharap bisa terbang menerpa lehermu. Dan untuk yang terakhir, tidak ada cahaya. Benar-benar dimatikan.

                Tentu aku khawatir. Tidak sudi aku kau dibinatangkan. Sungguh, walau aku tak ikut punya tubuh, geram adalah saksi bahwa fikiranku gaduh. Dan kau, barangkali menjadikan peritiwa itu sebagai bahan bercanda. Dan sialnya, walau bagaimanapun, aku tak suka.

                Atau barangkali, fikirku, kau sengaja membuatku menunggu. Agar jejak jemariku segera menengadahi huruf-huruf tua. Barangali. Tapi kau belum tahu rupanya, bahwa semua itu telah memeras rasionalitas. Barang tentu, fikiranku terjerat bahkan tenaga terserak. Baiklah, setidaknya berguna. Ada-tiadamu menjadikanku lebih peka dengan peristiwa. Diam-bicaramu meluapkan kefasihan dalam menerka. Dan kau, adalah sepilihan kisah yang selalu berakhir tega.

                Pada bait ke lima ini, pukul 00.10. Terlalu larut untuk memanjakan bayangmu yang kusut. ini waktunya aku tidur. Seperti biasa, melemparimu rindu melalui doa. Semoga kau juga. Agar setimpal dengan ulahmu, membuatku menungu. 




Minggu, 03 November 2019

Ketika Sadar



Ternyata, belum cukup dengan talu-taluan rindu. Rasa bersalah kemudian memberiku satu pertanyaan; “Dengan apa kau akan membuktikan?”. Dan sudah barang tentu aku belum mampu menjawab itu. Sebagaimana tanah yang selalu berada dibawah, terinjak-injak, ia tak bisa mengelak kecuali hanya pasrah. Cara dia menolak adalah diam. Sampai dunia bena-benar tahu kalau tanah adalah salah satu elemen paling penting yang menopang kehidupan manusia. (apa pula hubungannya. Huft!)
Dan kini, aku ulangi lagi, aku merasa bersalah telah merindukanmu. Aku merasa bodoh telah berharap lebih pada perasaan yang absurd. Meskipun pada seluruh kata-kata yang pernah kususun (walau sedikit-banyak adalah saduran) masih saja mengandung permohonan agar kau sedia. Tetap menyimpan harapan terdalam agar waktu membawaku bersamamu pada titik jenuh, yang memaksaku berkata tentang segalanya dengan jelas. Intuisi.
             Setelah itu, mungkin, baru ku tahu bagaimana rasa rindu seutuhnya. Bagaimana rasa sayang sepenuhnya. Dan kalaupun tidak, maka aku akan mengerti seperti apa sakit yang melegakan. Seperti apa elegi yang nyenyak dan mendamaikan.

            Bukankah, hal paling indah adalah yang sebenarnya?

            Sampai detik ini pun, aku masih merasa kalah. Tapi bukan berarti aku menyerah. Kau tahu? dari sekian banyak tulisanku adalah buangan emosi agar aku tenang. Adalah luapan amarah agar kemudian aku bisa berdiri kembali menanyai segala tentangmu. Perihal kekalahan, adalah bagaimana agar bisa kembali menyusun rencana.

Selamat malam, 

Jombang, 01.55 / 04 November 2019