Seharian perutku belum terisi
apapun kecuali air. Hari itu pondok sepi. Anak-anak sudah pada pulang. Maklum,
liburan panjang semester genap. Aku sudah terbiasa tidak pulang setiap liburan.
Bahkan dalam rentang tahun 1989 sampe 2002, hanya 2 kali aku shalat iedul
fithri dirumah. Selebihnya sholat dipondok dan baru pulang sore harinya setelah
sungkem Romo Yai.
Jam 3 sore, Hani, santri yang hidmah ndriver Yai,
sedang memarkir mobil kijang Yai didepan dalem. Itu pertanda Beliau akan tindak
menghadiri pengajian ke luar kota. Dan benar dugaanku. Malam nanti, rencananya
Yai ngaos ke daerah Widang-Tuban.
Aku yang saat itu lapar banget,
tiba-tiba saja timbul keinginan nderek (jawa:ikut) Yai.
Pikirku "nanti kalo pengajian selesai, prasmananya pasti sip dan
tentu beliau bakalan ngajak makan sopir dan pendereknya. Asyik dapat makan
gratis” (he he he )
Aku mendekati Hani yang saat
itu ngelapi mobil "Han, aku nderekno yai oleh po
ra yo?" kataku.
"Beres, InsyaAllah oleh...
Tapi aku tak matur disik" Jawabnya. Singkat cerita,
akhirnya Romo Yaipun mengizini.
Kami bertiga berangkat ba’da maghrib.
Rencananya panitia menunggu beliau di area pesantren Langitan. Sekitar jam 8
malam kami sampai di Ponpes Langitan. Disana ternyata sudah ada Gus Wafi (putra
alm. Yai Aman), belakangan ini baru aku ketahui ternyata panitianya adalah
teman Gus Wafi. Lama sekali kami menunggu, bahkan sampai hampir jam setengah 10
malam panitia tidak datang juga. Entah karena apa, akhirnya tidak satupun
panitia yang datang. "ngene iki lho piye, janji janji dewe kog
disulayani dewe. Wes Han, ayo moleh wae" Dawuh Beliau.
Mendengar Beliau dawuh begitu,
semakin lemaslah aku. Bayangan prasmanan gratis dengan segala menu lezat, sirna
seketika. Dalam hati aku bergumam "matiiii aku nek Yai gak sido
ngaos, piye ikii nasibkuuu.... jek urip ta gaak aku menisuk". Aku
masuki mobil dengan perasaan yang tidak karu-karuan. Mobilpun berjalan keluar
Pondok Langitan. Beliau mendel dan Hani -pun diam. Meskipun
kelihatan diam, tapi hatiku terus ngomel "iki nek gak sido
prasmanan, mangan opooo, terus piye nasibe wetengku iki"
Allohu Akbar!!
Ketika grundelan hati
tak bisa dipaksa berhenti, tanpa kuduga Beliau dawuh, "Sup,
wetengmu luwe yo? Engko nok pasar Babat ayo mangan, timbang ati ngersulo, gak
ilok"
Seketika itu perasaanku campur
aduk. Malu karena batinku terbaca oleh beliau. Tapi juga senang, karena gak
jadi kelaparan. (Wkwkwkw. Dasar santri bocor alus!)
"Han gole’o warung bebek utowo
ayam goreng" Lanjut Beliau. Mobilpun
berhenti. Kami bertiga masuk diwarung pinggir jalan pasar Babat.Yai pinarak
sendiri menghadap ke utara. Aku dan Hani disamping kanan beliau menghadap
kebarat. Tepat dibelakangku ada tiang iklan rokok yang cukup terkenal pada masa
itu.
Sambil dahar, sesekali
beliau dawuh dengan Hani. Aku sendiri meski ndredek, tetep
berusaha tidak menyia-nyiakankan momentum indah bersama Beliau (sweet memory).
Juga lezatnya paha dan jenggutru bebek goreng. ( wkwkwkwkwk ).
Namun, aku tersentak ketika tanpa
ku duga Beliau dawuh "Sup awakmu kepingin kuliah yo.... ?" Aku
diam tak menjawab. Kalau ku jawab “tidak” toh kenyataanya memang iya. Kalau njawab
“iya” aku juga tidak berani. Akhirnya beliau meneruskan dawuhnya "gak
usah kuliah disek, manuto wong tuwo, ngapalno quran". Aku
terheran-heran. Darimana Beliau tahu kalo aku pingin kuliah? Kalau dari orang
tuaku, bisa dipastikan setiap sowan mesti denganku dan tidak pernah sekalipun matur
tentang itu. Beliau meneruskan dawuhnya "Sup delo’en tulisan iklan
rokok sing tok sendeni iku..”YANG PENTING RASANYA BUNG”. Ilmu iku yo ngunu Sup,
“YANG PENTING MANFAAT DAN BAROKAH NYA BUNG".
Dawuh Beliau yang terakhir
benar-benar menghujam relung hatiku. Selama perjalanan pulang hatiku terus
menggemakan dawuh itu. Beliau mengajariku untuk bisa membedakan mana bungkus,
mana isi, mana wasail, mana maqosid, mana simbol, mana substansi .
والله اعلم بالصواب