Writing about you, is an effort to hold back homesickness

Rabu, 30 Oktober 2019

Surat dari kebohongan (1)




Padahal, aku sudah mengecam bahwa aku tidak akan menulis kegalauan. Membosankan sebenarnya. Ada banyak hal lain yang masih harus ku kejar. Tapi, aku merasa gagal. Tidak menuliskan perasaan, bagiku sama dengan bunuh diri. Membiarkan cinta mengambang-angan, bagiku adalah pembunuhan paling sadis.
Beberapa hari lalu, aku sengaja mengundangmu. Aku bilang akan ada banyak hal yang ingin kuceritakan. Sebenarnya aku berbohong soal itu. Aku hanya ingin sendirian melihatmu tersenyum. Aku hanya ingin menuai ucapanmu, ceritamu, dan pertanyaan-pertanyaanmu. Dan benar saja, hari ini, beberapa menit kita seruang, sama sekali aku tidak bercerita. Aku hanya lempar tanya sekedarnya. Menyapa, dan sedikit menggoda.
Saat kita seangin, aku sudah memikirkan beberapa ungkapan ringan. Seperti; “Kita kenal sudah berapa lama, ya?” atau “Aku ndak nyangka kita bisa seakrab ini”. Tapi urung. Aku merasa belum berhasil mengambil hatimu. Aku masih merasa kalah.
Dan untuk selanjutnya, aku hanya ingin menyampaikan bahwa energi positif yang dibutuhkan orang itu berbeda-beda. Kadang seseorang menemukan energi positifnya pada suatu benda; buku, misalnya. Juga ada manusia yang menemukan energi positifnya pada orang lain. Dan pelik jika disuruh menjelaskan bagaimana teorinya.
Begitupun kau. Sejak beberapa bulan lalu kita tertaut keriuhan soal KTS, aku menangkap jiwa yang berbeda. Ada aku dalam dirimu. (Sampai sini, aku bisa menerka kau bakalan merasa aneh dengan tulisan ini). Tapi inilah adanya. Maka jangan heran jika saat semangatku lepas, kau yang membuatnya lekat. Saat fikiranku penat, kaulah yang menjadikannya selaras. Dan kehadiranmu selalu istimewa. Sebenarnya aku ingin lebih. Lebih dari hadir. Kita bercerita sampai larut, tidur pulas sampai kusut. Bahkan seludah! Tapi aku selalu gagal. Sampai pada satu kesempatan, aku benar-benar merasa kalah dan membuat puisi tengah malam yang selaras dengan ini.
Aku minta maaf, untuk malam ini, cerita yang aku janjikan belum bisa terkabulkan. Dan sebenarnya, segala yang telah kau baca, itulah yang ingin kusampaikan. Aku ingin berkata semua ini kepadamu dengan hangat. Tapi nyaliku ciut. Aku minta maaf. Bahkan aku berharap suatu saat kau datang membawa segelas air dan menegukkannya kepadaku. Aku bilang “terimakasih” dan kau balas “sama-sama, Mas”.

Selamat malam. Lekas istirahat. Terus semangat!

Jombang, 00.00. 31 Oktober 2019

Senin, 07 Oktober 2019

Sebuah Usaha Menjelaskan




                Mungkin kau bertanya-tanya aku ini siapa, tiba-tiba kenal dan berusaha agar terus bersamamu. Belum lagi soal puisi-puisi itu. Bahkan aku lupa kenapa kita bisa (menurutku) seakrab ini. Tapi seingatku, senyummu candu. Juga ceritamu yang berpadu dengan pandanganku pada pelipismu yang sobek itu.
                Sejauh ini, aku belum bisa menerka bagaimana tanggapanmu soal diriku. Belajar memahamimu adalah usaha yang tak akan pernah luntur. Sampai kemudian aku pernah merasa khawatir, bahwa yang paling aku rindukan adalah yang paling menyakitiku nanti. Yang paling dekat, yang paling berpeluang mengingkari.
                Untungnya, manjamu membuatku mampu menolak itu. Cukup dengan jujurnya sikapmu, aku bisa yakin. Terlebih beberapa hari lalu kau memukulku dari belakang. Tentu saja aku kaget. Tapi menjadi nikmat setelah ku tahu itu adalah dirimu. Sambil berlari dan mengernyitkan muka, ceria.
                Bersamaan dengan aku menuliskan paragraf ini, tiga semut merayap mendekatiku. Aku maniupnya, tapi mereka kembali lagi dengan arah yang sama. Lalu aku berdoa, semoga kelak, saat kau tak lagi memandang wajahku, aku bisa merelakanmu. Dan dengan sendirinya, kau hadir kembali dengan kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah terbayangkan.
                Untuk ini, tak ada nego dan aku tak akan ego. Soal bahagia semua bebas memilih dengan siapa dan seperti apa. Tapi yang kutulis sepanjang ini adalah soal rasa. Apa yang benar-benar aku rasakan kepadamu. Maka tak ada cara terbaik menolak rasa kecuali dengan mengungkapkan yang sebenarnya.

                Akhirnya, tak ada lagi kata yang mampu ku cerna tentangmu. Karena dirimu adalah jutaan bait puisi yang utuh.