Writing about you, is an effort to hold back homesickness

Rabu, 31 Juli 2019

Kisah: "Rahasia Kang Santri"

@affa_esens
Dalam suatu kesempatan, Romo KH. M. Idris Djamaluddin bercerita tentang apa yang pernah dikisahkan oleh Abah Beliau, Romo KH. Moch. Djamaluddin Ahmad.
Romo Kh. Moch. Djamaluddin Ahmad, mondok di Tambakberas 6 tahun. Kemudian mondok di Mbah Baidlowi - Lasem 5 Tahun, lalu pulang. Disela-sela itu, beliau menyempatkan diri mondok di Tretek-Pare, Lirboyo-Kediri, Poncol-Sala tiga. Jadi, ilmu syari’atnya beliau dapatkan di Tambakberas, sedangkan ilmu tashawwuf dan haqiqatnya beliau peroleh di Mbah Baidlowi – lasem. Mbah Baidlowi itu terkenal orang yang sufi, ‘alim, ma’rifat, juga mursyid thoriqoh.

Kyai Djamal bercerita:
Dulu aku masuk pesantren Tambakberas kelas 5 Madrasah Ibtida' (MI). Karibku, sudah kelas 6 MI. Begitu aku sudah lulus kelas 4 Mu’allimin (lanjutan dari MI. dan dulu mu’allimin itu 4 tahun, sekarang 6 tahun), temanku ini masih kelas 6 MI. Jadi dia tidak naik kelas selama 6 Tahun.  Setelah itu, aku sudah ndak pernah ketemu.     

Suatu ketika aku diundang ngaji di daerah jawa tengah. Pondoknya besar, santrinya ribuan. Padahal pondok tambakberas, waktu itu, santrinya masih ratusan.

Aku kaget, ternyata yang menjadi pengasuh pesantrennya adalah teman saya di Tambakberas dulu, yang tidak naik kelas selama 6 tahun itu.

Akhire aku tanya:
 “Kang (sebutan akrab bagi santri), yang menjadi kebiasaanmu dipondok dulu apa? yang ajeg Sampean lakukan dulu apa? Kok bisa menjadi seperti ini?”

“Kang Djamal. Aku dulu dipondok bondo sikat. Bukan sikat gigi, tapi sikat kamar mandi. Jadi setiap hari, aku membersihkan kamar mandi masjid. Nyikati nggon pipise santri, ngersik’i lantai sing ngetel kuning iku. Kadang-kadang di gedor sama santri lain, ‘Woi, lek nang jeding ojo suwe-suwe. Gantian!!’
Hari ini kamar mandi ini, kemudian besoknya kamar mandi sebelah”

Dan itu beliau lakukan selama mondok di Tambakberas. Santri-santri lain ndak ada yang tahu. Bahkan saya sendiri, sebagai teman dekatnya saja tidak tahu kalau Istiqomahnya tiap hari seperti itu.


___________

بَرَÙƒَØ©ُ اْلعِÙ„ْÙ…ِ بِالْØ®ِذْÙ…َØ©ِ
Ternyata ilmu yang sedikit walaupun nggak munggah, nggak munggah iku mau, jadi barokah.

Barokah itu apa? Barokah iku mundak, mundak, mundak.

Mungkin ilmu yang dibawa Kang santri, teman kyai Djamal iku sedikit. Tapi karena barokah, jadi mundak, mundak, mundak, mundak.

Dipesantren kalau memberi makna lafadz baroka itukan mugi-mugi nambahi kebagusan.

Maka dari itu,
جَدَّ Ùˆَ Ùˆَرَعَ Ùˆَ Ø®َدَÙ…َ
“Bersungguh-sungguh, wira’i (berusaha meninggalkan hal-hal yang makruh dan syubhat. Apalagi haram), dan Kidmad (mengabdikan diri)”
Jadda, akhire pinter. Waro’a akhire manfaat. Khodama, akhire barokah.

Diantara kunci keberhasilan santri:
Dulu ada wali santri yang anaknya mondok di Muhibbin mbeling. Waktu sowan ke Mbah Kyai Husai Ilyas – Mojokerto, beliau nggujeng (tersenyum). Beliau dawuh:
 “Pak, samian lek mondokno anak nang Tambakberas, siji, kudu yaqin! Nomer loro, kudu ikhlas”.





#
Catatan kecil dari rekaman pengajian oleh Romo KH. M. Idris Djamaluddin.
Klik disini untuk mendengarkan. 




Sebuah Usaha Membenamkan

“Aku berusaha tidak mengingat, tapi wajahmu terlanjur lekat”



Perihal rindu, siapa juga yang akan tahu kapan datangnya, seberapa lama, dan bagaimana cara menetralisirnya.
                Dengan pertemuan kah? Kamu bisa jamin, kalau pertemuan adalah obat rindu? Bahkan banyak orang yang mengakui bahwa ketika bertemu pun, rindu belum tuntas. Lantas apa?
                Dan kita tidak bisa menentukan jawaban pastinya. Yang bisa hanyalah sang perindu. Dia akan tahu bagaimana sekiranya rindu yang ia rasakan paripurna. Karena sejatinya, perindu adalah sebuah alibi bagi sesuatu yang diinginkan seseorang terhadap orang lain. Maka, rindu menjadi semacam jelmaan ‘pengalihan’ istilah.
                Dan malam ini, sebenernya aku ingin bercerita banyak tentang rindu-rindu yang sempat bertamu dikepalaku. Aku ingin kembali mengenangnya, membesuknya barangkali masih banyak sisa-sisa rindu yang belum sempat terjamah. Tapi rasanya aku tak tega kepada malam. Malam selalu mau ku tempati merenung macam-macam.
                Rambutmu licin, sedikit pirang. Alis sobek (aku suka), bulu mata yang pas (tidak terlalu tebal juga tidak terlalu tipis), hidung yang indah, bibir mengkilat (seakan selalu basah), dan kesemuanya itu berpadu dalam dirimu.
                Belum lagi soal manjamu itu. Ah, bagaimana bisa aku berhenti mengingat itu. Aku mencoba memejamkan mata, tapi samar-samar senyummu mulai tergambar. Aku berusaha lebih terpejam, tapi samar suaramu membuatku tenggelam.
                Sampai akhirnya aku memutuskan untuk tetap berlarut-larut, tetap terpejam. Aku membiarkan semua tentangmu membuntuti malamku, dan aku menjelmakanya sebagai kenikmatan. Aku lebih khawatir lagi jika membuka mata tapi tak ada dirimu. Akan lebih sesak. Dan malamku hanya akan penuh dengan harapan-harapan hampa.
                Diantara tahapan yang terjadi, adalah keingin tahuanku soal dirimu. Bagaimana perasaanmu saat aku sedang rindu? Apakah sama? Atau malah tidak sama sekali? Dan pertanyaan itu selalu saja kubuang jauh-jauh. Berbahaya sekali jika kusisipkan, bahkan masih tersimpan. Akan sangat menggangu ketenanganku dalam merindukanmu.
                Masih banyak yang ingin kutuliskan. Aku berkeinginan untuk menuliskan semuanya. Sampai entah kapan akhiran dari tulisan ini, untukmu. Tapi tidak sekarang, nyicil. Besok masih ada hari. Dan semoga makin hari kita semakin membaik.

Maaf, bila rinduku berlebihan.   

Sebuah Usaha Merelakan

Kadang, untuk bisa meyakinkan diri saja sangat sulit. Bagaimana bisa meyakinkan orang lain?


                Dan pada kesempatan lain, aku memiliki keinginan agar karibku bisa meluangkan waktunya. Jalan-jalan, tukar fikiran, atau setidaknya mau menyapa. Belakangan aku heran. Bagaimana tidak? Setiap kali aku mengenal seseoang, seakan perkenalan itu adalah pintu menuju perpisahan. Singkat saja. Dan memang begitu.
                Seluruh proses sosial terasa seperti helaan nafas. Tarik-hempas, tapi sangat berharga. Terjadi berunglang kali, setiap hari. Tanpa kita ingin berhenti sedetikpun. Masa memang tak mau diajak kompromi. Sekali terlewat, lenyap sudah. Bahkan pada keadaan-keadaan yang memaksa kita agar cermat, pilah-pilih. Kadang, waktu juga tega merenggut kesempatan itu jika tak segera diselesaikan.
                Nyatanya, setiap orang punya kesibukan sendiri-sendiri. Bahkan ada beberapa kegiatan yang memang sama sekali tidak membutuhkan kita. Dan kita harus sadar dengan itu. Tidak mungkin seluruh waktunya bisa kita tangkap, kita ungkap. Karena memang, keadaan membawa manusia kepada situasi dimana dia butuh orang lain untuk bekerja, berusaha, berkarya. Dan semestinya, kita bantu dia dengan doa.
                Dan pada baris kesekian ini, aku menghela nafas panjang. Berusaha menenangkan fikiran. Bergulat dengan segala kemungkinan bahwa rindu itu akan muncul tiba-tiba, kapan saja. Dan yang menjadi tantangan baru kali ini adalah: rela. Menetralkan kekalahan atas ego kita sendiri. Merayakan kemenangan lawan dengan lapang dada.
                Sampai beberapa tahun terakhir, rupanya aku belum bisa menemukan ramuan yang pas agar saat ditinggal seseorang, bisa merasa lega: rela. Sampai saat ini, yang ada hanya khawatir sebelum berpisah dan kalut serut kalau hari itu benar-benar tiba. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kalau tiap tahun yang aku alami sama. Itu-itu saja, merasa kehilangan, merasa kalah, merasa tak ada artinya.
                Tapi sebagai manusia, tentu hal itu tak ingin terus terjadi. Baik, aku akui kalau untuk mencintai seseorang tak perlu cara khusus. Terlalu mudah. Tapi kalau merelakan, bagaimana lagi cara itu bisa didapatkan? Kadang, dalam situasi tertentu, aku belajar dari karibku. Tentang banyak hal, bagaimana dia menjamu kawan, berlawan, dan banyak hal. Tentunya soal rela. Tapi entahlah, perihal rela, aku belum bisa menirukan. Semoga lekas lega.

Sebuah usaha merelakan.


                 

Surat Untuk Muhammad Afwan

                Halo. Apa kabar? Katanya kau lagi pusing? Hal bodoh apa saja yang sedang dan selalu kau fikirkan? Ah, aku menyesal kenapa dirimu selalu saja begitu. Kapan mau berubah? Kapan mau jadi tangguh? Kapan bisa semakin tegar?

                Aku yakin, kau tak sekuat Dia yang sering kau resahkan itu. Lalu kau buat puisi sampai bermalam-malam. Bahkan hatimu tak sebanding dengan miliknya. Kau selalu saja khawatir padahal sudah jelas dia baik-baik saja. Kau tetap saja cemburu padahal sudah jelas dia bersamamu. Ayolah! Jangan buat malu aku, Wan!
                Kau juga tak setabah Dia yang sering kau perbincangan di buku catatan kecilmu itu. Aku tahu niatmu baik. Ingin dia baik-baik saja, lancar belajarnya. Tapi caramu yang salah! Sekali tak ketemu, fikiranmu mendadak batu, badanmu sayu. Itu sama saja kau menyiksa dirimu sendiri, Wan!
                Kenapa kau tak fokus saja pada apa yang sekarang berada didepanmu. Sebagai lelaki yang baru saja menginjak usia pendewasaan, bukankah lebih baik kau perbaiki hari-harimu dulu? Titik fokusmu adalah dirimu. Disamping memperhatikan orang-orang tersayangmu juga penting, kau tetap harus mengimbanginya dengan hal positif milikmu.
                Kau ingat kan, jika apa yang kita perjuangkan adalah perbaikan diri, maka cahaya kebaikan akan terpancar dari dalam hati kita. Dan secara tidak langsung akan menyebar, dirasakan oleh orang-orang disekitar kita.   
                Aku tahu, Wan, daftar nama-nama orang yang selalu saja berkutat dalam fikiranmu. Aku juga tahu siapa saja yang kau bisikkan setiap setelah sholat lima waktu. Aku tahu. Tentu aku turut mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga yang kau lakukan selalu dalam lindungan Allah, barokah, manfaat.
                Semangat wan! Selalu berbuat baik! Dan, jangan lupa selalu tersenyum J

Dari yang mustinya kau dekap, selalu lekat.
Dirimu sendiri



Kop Sae – Pujon , Malang. 27 Juli 2019